32. Apakah Aku Boleh Bahagia? (2)

285 36 1
                                    

"Vin, Azka udah ketemu. Tadi pagi gua chat Abangnya. Azka bener sama Mamanya," ucap Je pagi-pagi saat baru saja sampai di kelas. Je langsung menghampiri Kevin untuk memberi kabar tentang Azka.

"Beneran, trus gimana keadaan dia? Baik-baik aja, kan?" tanya Kevin sambil menutup buku catatan yang tadi sedang dibacanya.

Raut wajah Je tampak mendung, "Nah, itu dia, Vin. Mamanya Azka selama ini ternyata buronan polisi yang dalang dari penjualbelian organ secara ilegal. Azka hampir aja jadi korbannya. Sekarang Azka ada di rumah sakit, kemarin dia kena luka tusuk. Semalem keadaannya kritis, tapi sekarang kata Bang Mahen udah lumayan stabil. Kita bisa jenguk nanti pulang sekolah," jelas Je panjang lebar. Kevin hanya bisa ternganga mendengar penjelasan Je barusan. Peristiwa yang menimpa Azka bukanlah persitiwa biasa, pasti peristiwa ini akan menimbulkan trauma baru bagi sahabatnya itu.

"Gua bener-bener enggak tahu mau bilang apa lagi, Je. Gua speechless," Kevin baru membuka mulutnya setelah beberapa detik Je selesai menjelaskan.

"Itu juga reaksi gua waktu baca chat dari Bang Mahen. Yang penting nanti kita ke sana jenguk Azka, kata Bang Mahen juga Azka banyak diem karena trauma."

Saat bel pulang berbunyi, Je dan Kevin segera bergegas ke rumah sakit tempat Azka berada dengan menaiki mobil Je. Kevin sampai rela bolos les untuk bisa melihat kondisi Azka. Je dan Kevin membeli buah untuk diberikan kepada Azka di supermarket depan rumah sakit. Kebetulan mereka bertemu dengan Mahen di supermarket tersebut. Tampak kantung mata yang tebal di bawah mata Mahen. Je dan Kevin prihatin melihatnya. Wajar karena ada banyak hal yang menimpa keluarganya akhir-akhir ini.

"Hai kalian. Yuk bareng ke kamar Azkanya. Azka banyak istirahat dari tadi pagi. Dia cuman bangun kalo dapet mimpi buruk. Kata psikiaternya, hal ini wajar soalnya kesehatan mental Azka sejak sebelumnya memang enggak bagus," jelas Mahen pada Je dan Kevin saat sedang berjalan ke kamar Azka.

"Nanti Abang mohon jangan tanya-tanya soal kejadian kemarin, yah. Kalian cerita yang seneng-seneng aja. Walau nanti Azka enggak respon banyak enggak apa-apa tetep kalian ajak ngobrol aja. Azka butuh temen buat support."

"Siap, Bang," jawab Je mewakili dirinya dan juga Kevin.

"Udah sampe, ini kamarnya." Mahen membuka kamar Azka. Di sana terlihat Azka dalam keadaan sudah bangun, tetapi tatapannya kosong sambil menatap ke langit dari balik jendela. Je dan Kevin turut sedih melihat kondisi sahabatnya itu. Mahen membiarkan Je dan Kevin masuk tanpa dirinya. Mahen lebih baik menunggu di luar sambil berjaga-jaga barangkali panic attack Azka kambuh. Tadi pagi saat sadar dan dipindahkan ke ruang rawat biasa, Azka sempat meracau dan terus-terusan memanggil nama kembarannya.

"Hai, Ka, kita dateng, nih," sapa Je sambil mendekat ke arah Azka diikuti Kevin. Azka menolehkan kepalanya ke arah Je dan Kevin yang datang. Senyum tipis mengembang dari bibir Azka.

"Nih, gua sama Kevin dateng bawain buah. Dimakan nanti, yah." Kevin meletakkan keranjang buah di meja samping kasur Azka.

"Makasih," ucap Azka lirih. "Aku ketinggalan pelajaran banyak, yah?" tanya Azka.

"Banyak banget. Kelas kita ada beberapa ulangan harian dari kemarin. Makanya lu cepet sembuh biar bisa masuk sekolah normal lagi. Oh, iya Aci titip salam. Tadinya dia mau dateng, tapi kaya biasa, dia harus bikin proposal sama rapat," Je berceloteh sambil memperhatikan kondisi Azka. Baru beberapa hari Je tidak bertemu Azka, tapi kenapa banyak sekali yang berubah dari diri Azka? Pipinya tirus, matanya terlihat lelah, dan tidak ada aura positif yang keluar dari diri Azka.

Azka hanya menganggukkan kepala mendengar perkataan Je. Dirinya kembali menatap lurus ke depan dengan kosong. Sejak sadar, Azka lebih sering terdiam dan melamun. Terlihat seperti banyak sekali pikiran yang ada di kepalanya, tapi Azka juga terlihat tidak mau berbagi.

Kevin menepuk bahu Azka. "Ka, pokoknya kalo ada yang mau diceritain lu bisa percaya sama gua sama Je. Kita bakalan selalu ada buat lu." Azka menatap Kevin dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Aku kenapa masih hidup, yah?" Pertanyaan yang tidak diduga-duga keluar dari mulut Azka. Tak urung Je dan Kevin dibuat terkejut.

"Karena lu belum waktunya untuk mati. Karena di sini masih banyak yang sayang sama lu. Bokap lu, Abang lu, juga gua sama Kevin. Lu enggak boleh ngomong begitu. Emangnya lu udah enggak mau hidup lagi?" Je sedikit emosi saat mendengar penuturan Azka barusan. Kevin memegang bahu Je untuk menenangkan sahabatnya itu.

"Aku ngerasa kalo setiap harinya takdir selalu mendorong aku buat menjauhi kebahagiaan. Semuanya cuman dibuat repot sama kehadiran aku. Mending aku mati aja enggak, sih?" Mata Azka berkaca-kaca saat menanyakan hal tersebut pada Je dan juga Kevin.

"Siapa yang bilang kalo orang di sekitar lu cuman direpotin sama lu? Siapa yang bilang? Gua enggak pernah merasa begitu. Gua seneng punya sahabat satu lagi kaya lu. Selama ini enggak banyak yang mau temenan sama gua. Tadinya gua cuman punya Kevin, tapi sekarang gua juga punya lu. Begitu juga lu, Ka. Tadinya lu enggak punya temen, kan? Tapi lihat sekarang, lu punya gua sama Kevin. Dan lu dengan teganya bilang kalo lu lebih kepingin mati? Pikirin orang yang nantinya bakalan merasa kehilangan lu, Ka. Pikirin gimana perasaan orang-orang yang selalu sayang sama lu. Orang yang selalu ada buat lu." Je mengambil napas sejenak lalu kembali melanjutkan perkataannya, "Lu itu sebenernya enggak pernah sendirian, Ka. Lu aja yang selalu ngerasa demikian!"

Azka terdiam mendengar penuturan panjang lebar dari Je. "Bener, Ka. Lu enggak boleh bilang begitu. Lu belum waktunya mati dan harusnya lu bersyukur. Kalo lu mau mati, tunggu aja, suatu saat juga bakalan giliran lu, kok. Lu belum mati sekarang karena tugas lu di bumi belum selesai. Lu pengen bahagia, kan? Lu harus bisa cari kebahagiaan lu dulu di dunia baru lu boleh pergi dengan tenang." Kevin ikut membuka suara.

Tanpa sadar air mata satu persatu meluncur dari pipi tirus Azka. Benar. Dirinya tidak pernah sadar. Bahwa dirinya tidak pernah sendirian. Dia selalu bersama dengan Papa, Bang Mahen, Je, Kevin, dan bahkan juga Aksa. Ia tidak boleh mati sekarang, seperti kata Kevin, ia harus mencari kebahagiannya dulu.

"Gua pernah baca di sebuah buku. Kalo hidup lu sekarang sedih terus, itu tandanya lu lagi ngehabisin jatah sedih lu. Emang rasanya sulit tapi nanti ke depannya enggak akan ada kesedihan lagi di hidup lu. Lu bisa nikmatin kebahagiaan tanpa diganggu sama kesedihan," ucap Je lagi sambil menggenggam tangan Azka.

Air mata Azka turun semakin deras. Tangannya digenggam oleh Je dan Kevin. Hangat. Dirinya tidak sendirian. Tidak pernah sendirian. Dirinya saja yang selama ini terlalu buta untuk melihat semua ini. Benar, dirinya berhak mencari kebahagiaan.

"Makasih, Je...Kevin"

Mulai hari ini Azka berjanji pada dirinya. Azka akan menjalani hari-hari dengan pikiran dan hati yang positif. Ia belum mau mati. Ia tidak bisa mengubah masa lalu, tapi ia bisa menentukan masa depan Azka yang akan ia jalani ke depannya. Aksa, aku harap kamu tenang di sana. Kini semuanya sudah berakhir.

Dari balik pintu, Mahen ikut terharu melihat ketiga sahabat itu. Azka-nya telah kembali seperti semula. Mulai hari ini juga ia berjanji untuk tidak akan membiarkan Azka terluka lagi.

Kepada Azkara, kamu berhasil. Kamu berhasil melangkahi batu ujian dalam hidupmu. Kini saatnya kamu mencari kebahagiannmu sendiri.

---

Hai, maaf kemarin aku enggak update. Kemarin aku lagi enggak enak badan, jadinya aku up hari ini. Btw, ini belum tamat, yah. Masih ada satu bab lagi terus ada outro. Oh iya, karena aku lihat antusias cerita ini besar. Aku jadinya memutuskan untuk langsung publish cerita "Jemari Je". Kalo kalian lupa, buku "Aksara Azkara" ini bagian pertama dari trilogi AsJeVin. Jadi, ditunggu aja kisah dari Je.

Terima kasih sudah menemani Azka hari ini, sebentar lagi Azka bakalan nemuin kebahagiaannya. Jadi, tetap temani Azka sampai hari itu tiba. <3

Jakarta, 26 Juni 2022

(1) Aksara Azkara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang