19. Kepingan Masa Lalu

246 33 3
                                    

9 Tahun yang Lalu

"Azka, kamu nanti warnain pohonnya yang rapi, yah. Jangan sampe keluar garis," ucap bocah berusia 8 tahun sambil melihat ke arah adik kembarnya yang sedang mewarnai dengannya.

Aksa dan Azka adalah kembar identik yang hanya berbeda 8 menit. Walaupun keduanya kembar identik, akan tetapi kepribadian keduanya bertolak belakang. Azka yang berbicara jika perlu saja dan Aksa yang banyak berbicara juga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.

"Azka! Kan, udah dibilangin warnainnya yang rapi! Ini keluar garis tahu," kesal Aska sambil menatap kembarannya.

Azka yang ditatap hanya menatap balik dengan mata polosnya, "Cuman sedikit. Bisa ditimpa warna putih," jawab Azka.

"Ih, tapi kan jadi jelek. Nanti nilai kita nggak bisa dapet 100." Aksa melihat gambar yang sedang diwarnai keduanya dengan cemberut.

"Maaf, aku udah berusaha pelan warnainnya," Azka berkata pelan sambil menunduk. Takut kembarannya semakin marah.

Aksa yang melihat Azka terlihat menyesal langsung berusaha menenangkan dirinya.

"Oke, deh. Nggak papa. Cuman sedikit. Biar aku yang warnain sisanya. Kamu tulis nama kita aja di pojok atas," pinta Aksa.

Azka yang disuruh pun menurut dan menulis nama dia dan kembarannya di pojok atas kertas. Ini tugas pelajaran seni yang diberikan guru tadi di sekolah. Karena ukuran kertasnya besar dan otomatis banyak yang harus diwarnai, jadi guru menyuruh untuk berkelompok. Kelompok dipilih berdasarkan rumah siswanya yang saling berdekatan. Maka dari itu Aksa dan Azka satu kelompok.

"Udah selesai." Aksa menatap hasil kerjaannya dengan bangga. Begitu juga dengan Azka.

"Azka, kita kasih lihat Mama, yuk," ajak Aksa.

Azka yang diajak terlihat ragu-ragu mendengar ajakan saudara kembarnya. "Mama lagi sibuk. Nanti dimarahin," jawabnya.

"Kita cuman sebentar aja, kok." Aksa langsung berdiri sambil membawa kertas hasil mewarnainya ke tempat Mama berada. Mau tak mau Azka mengikutinya dari belakang.

Mereka berdua menemukan Mama di dapur sedang menyesap kopi dan juga tumbukan hasil rontgen yang entah apa itu.

"Mama, aku sama Azka abis warnain ini," ucap Aksa senang sambil menunjukkan kertas tersebut.

Mama hanya melihat sepintas dan berucap, "Oh ya." Lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Tidak dipungkiri timbul raut kekecewaan di raut wajah Aksa. Aksa tidak menyangka Mamanya hanya merespon dengan singkat. Azka yang sudah menduganya hanya tersenyum tipis lalu mengajak Aksa pergi dari situ.

Saat sampai di kamar keduanya, Aksa meletakkan kertas tersebut dengan asal di lantai. Azka memungutnya dan meletakkan dengan rapi di meja belajar keduanya.

"Azka, Mama nggak sayang kita," ucap Aksa.

Azka kaget mendengar penuturan Aksa. "Nggak. Mama lagi sibuk jadi nggak bisa lihat hasil mewarnai kita," bantah Azka.

"Nggak cuman hari ini. Mama emang nggak pernah liat ke arah kita. Bahkan Mama nggak pernah datang ke sekolah buat ambil rapot kita berdua." Aksa menenggelamkan tubuhnya di antara selimut.

Jauh di lubuk hati terdalam, Azka sebenarnya sangat ingin membenarkan ucapan kembarannya. Tapi ia berusaha berpikir bahwa Mama sayang pada dia dan Aksa. Buktinya mereka masih bisa hidup tercukupi di rumah ini.

"Nggak gitu. Mama sayang sama kita. Cuman Mama emang sering sibuk sama kerjaannya aja. Kamu, kan tahu, Mama dokter. Mama di luar sana bantu orang yang sakit. Mama sering sibuk, tapi Mama banyak bantu orang. Itu berarti Mama hebat," ucap Azka dengan mata berbinar.

"Bener juga, yah. Mama nggak papa sibuk. Tapi Mama di luar sana bisa bantu banyak orang."

Lalu Azka naik ke ranjang yang sama dengan Aksa dan tidur bersisian.

"Aksa, Mama, kan, sibuk terus. Jadi jarang di rumah. Tapi kamu jangan jadi Dokter kaya Mama juga, yah? Nanti kita jarang ketemu," ucap Aksa sambil memiringkan badannya menghadap ke Azka.

Azka ikut memiringkan badannya untuk menatap balik Azka, "Walaupun nanti aku jadi Dokter, kita tetep berdua terus nanti."

"Kita sama-sama terus, yah, Azka" ucap Aksa sambil memejamkan matanya.

----

Kepingan memori itu adalah hal yang paling diingat Azka hingga sekarang. Nyatanya, Aksa yang pergi meninggalkan dirinya. Sampai sekarang Azka berusaha melupakan bahwa ia pernah punya kembaran. Azka selalu ada untuk Aksa, begitupun sebaliknya. Bagaimana bisa ia melupakan sosok Aska? Bahkan sosok kembarannya kini ada di dalam dirinya.

Bisa-bisanya ia melupakan fakta tersebut. Bisa-bisanya ia bahagia di sini, sementara separuh jiwanya hilang. Apakah ia pantas untuk hidup?

Tubuhnya tiba-tiba terasa hangat. Ada Papa dan Abangnya yang memeluk dirinya. Entah sejak kapan pipinya basah dengan air mata. Azka mengeratkan pelukan keduanya. Sungguh, ia tidak mau ditinggalkan lagi.

Air matanya terus jatuh tanpa bisa dikontrol. Azka pikir ia sudah baik-baik saja. Tapi nyatanya, ia selama ini hanya lari dari masalah yang ada. Ia pikir ia bisa melupakan semuanya dengan datang ke rumah Papanya. Tapi ternyata semuanya sama saja. Masa lalu terus menghantuinya. Tidak akan pernah usai sebelum ja menyelesaikannya sendiri.

"Jangan takut, Ka. Kita sama-sama laluin ini semua, yah," ucap pelan Papa di sela-sela pelukan.

"Abang juga nggak akan ninggalin kamu sendirian," kali ini Mahen yang berucap.

Mungkin Azka harus mulai berdamai dengan masa lalu. Mungkin Azka harus bangkit saat ini. Ia sudah lelah dengan semuanya.

Kepada baskara, berikan sinar hangatmu untuk menerangi setiap langkahku ini. Aku ingin semuanya cepat usai.

---

Malam semuanya. Terima kasih sudah menemani Azka malam ini (◍•ᴗ•◍)

Jakarta, 22 Mei 2022
Hoho tanggal cantik juga, nih.

(1) Aksara Azkara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang