11. Kenyataan Baru Untuk Azka

306 43 5
                                    

Azka membuka pintu rumahnya, meletakkan Archie yang tertidur di tempat tidur khusus bayi anjing tersebut. Lalu bergegas ke kamarnya untuk membersihkan diri.

"Azka udah pulang?" tanya Mahen yang sedang sibuk dengan gitarnya.

Melihat sang Abang yang sedang memegang gitar membuat Azka teringat jika ia ingin meminta tolong untuk mengaransemen lagu. Azka memutar arahnya dan ikut duduk di samping Mahen.

"Bang, Azka boleh minta tolong?" tanya Azka.
"Minta tolong apa?" tanya Mahen sambil mengerutkan alisnya. Selama tinggal bersama ini pertama kalinya Azka meminta bantuan.
"Abang, aku kan pernah cerita mau tampil nyanyi di acara tahunan sekolah, tema acaranya harus Indonesia banget gitu. Jadi, Abang mau nggak aransemen lagunya biar nggak terlalu kekinian?" jelas Azka panjang lebar.

Mahen tertawa sebentar. Ia pikir adiknya itu ingin meminta tolong hal yang sulit. Ternyata hanya meminta tolong untuk mengaransemen lagu. Itu bukan hal yang sulit bagi Mahen. Musik adalah sebagian hidupnya.

"Boleh, dong. Lagunya mau pake lagu apa?"
"Je belum milih lagunya."
"Ya udah, nanti kalo Je udah ngasih tau lagunya, langsung kirim ke Abang, yah," pinta Mahen yang dijawab anggukan Azka.

Setelahnya makhluk berbulu yang tadi sudah tidur kini mendekati Azka dan duduk di pangkuannya.

"Eh, udah wangi aja kamu. Oh iya, ini anjingnya mau dikasih nama apa?" tanya Mahen sambil mengangkat Archie dan memainkannya selayaknya bayi.

Mahen sudah tahu kalau tadi Azka membawa Archie untuk dirawat oleh Kevin. Sebelum pergi, ia sudah mengirim pesan ke Mahen dan juga Papa agar tidak mencarinya.

"Tadi dikasih nama sama Je. Namanya Archie. Artinya pemberani. Kata Je soalnya Archie nggak takut walau dibawa ke tempat asing. Tadi Archie juga langsung akrab sama Ollie, anjingnya Kevin."
"Bagus juga Archie. Kamu udah akrab kayanya sama Je dan Kevin," Mahen memancing Azka untuk bercerita.
"Iyah, aku suka temenan sama mereka. Mereka baik," jawab Azka singkat sambil melihat Archie yang kini sudah berlari kesana kemari.

Terdengar suara mobil terparkir di garasi. Sepertinya Papa pulang, begitu pikir Azka. Benar saja, tak lama Papa masuk dan melihat kedua putranya di ruang tengah.

"Eh, Azka baru pulang juga? Mandi dulu sana. Pasti belum makan. Ini Papa bawa nasi goreng," kata Papanya sambil meletakkan bungkusan nasi goreng di meja makan.
"Buat Mahen ada nggak, Pa?" tanya Mahen sambil mendekat.
"Ada, yang karetnya dua. Super pedes kan?"
"Ih mantap banget pokoknya."

Selebihnya Azka tidak mendengar ucapan keduanya lagi. Ia bergegas mandi sebelum kemalaman dan mengganti bajunya dengan piyama, lalu menuju ruang makan. Azka duduk di tempatnya dan langsung diberikan bungkusan nasi goreng oleh Mahen. Azka melihat porsi nasi goreng itu terlalu besar untuknya.

"Bang, kebanyakan," ucap Azka pada Mahen.
"Kebanyakan? Sini kasih ke Abang aja separuhnya. Dengan senang hati Abang terima," kata Mahen kegirangan.
"Kamu tuh yah, Hen. Heran Papa. Nggak pernah kenyang kayanya," kata Papa yang sudah selesai makan dan sedang menikmati teh hangat.
"Loh, nggak boleh nolak rejeki, Pa. Lagian kan Mahen masih masa pertumbuhan," Mahen berucap lalu menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.
"Masa pertumbuhan dari mana. Yang ada adik kamu itu yang lagi masa pertumbuhan. Azka kamu harus banyak makan, badan kamu itu kurus banget."

Azka menggelengkan kepalanya tanda menolak. Sekarang sudah pukul 8 malam, dibilang makan malam juga sudah agak terlambat. Sementara jam 10 saja dia sudah mengantuk. Jadi, Azka sengaja tidak mau makan banyak-banyak.

Papa hanya membiarkan Azka dan kembali sibuk dengan ponselnya. Begitu pula dengan Mahen yang terlihat sedang asyik chat entah dengan siapa. Azka hanya diam memakan nasi gorengnya. Dulu, saat masih tinggal dengan Mama ia dilarang untuk makan sambil bermain ponsel. Katanya tidak bagus, jika sedang makan harus fokus terhadap makanan itu. Selain itu juga tidak sopan kalau sedang makan bersama orang lain. Mengingat Mama membuat nasi gorengnya terasa hambar. Ia ingin memberikannya lagi ke Mahen tapi pasti nanti akan dimarahi. Jadi, ia makan saja pelan-pelan.

"Azka, kamu udah denger dari Abang kamu, kan?" tanya Papanya tiba-tiba.
"Dengar apa?" Azka kebingungan.
"Kamu harus konsultasi ke psikolog," ujar Papa pelan.

Mahen seketika berhenti makan dan meminum air putih. Mahen ikut menatap Azka dengan hati-hati menunggu reaksi adiknya. Azka terdiam ditatap oleh dua orang tersebut. Ia lupa. Ia pikir tidak jadi karena tidak pernah dibahas lagi. Bahkan sampai perban di pergelangan tangannya sudah diganti jadi yang lebih kecil.

"Memangnya harus banget Pa?" tanya Azka yang seketika sudah tidak nafsu untuk melanjutkan makannya.
"Harus. Dokter yang nyaranin waktu kamu di rumah sakit."
"Azka baik-baik aja. Azka nggak kenapa-napa kok. Kenapa Azka harus ke psikolog?" Azka mulai gelisah.
"Kamu nggak baik-baik aja, Ka. Ada yang salah dari kamu," ucap Papanya tegas.

Azka yang mendengarnya mulai panik. Mahen memegang tangan Papa pelan seolah-olah mengisyaratkan untuk berbicara pelan dengan Azka.

"Gini, Ka. Kalo kamu emang baik-baik aja. Sekarang Abang tanya, kamu inget nggak malam sebelum kamu ada di rumah sakit. Kamu inget nggak apa yang terjadi sama tangan kamu?" Mahen mengambil alih pembicaraan. Mungkin jujur dari sekarang adalah hal yang tepat. Walau bagaimanapun Azka harus tahu kenyataannya.

Azka tersentak mendengar pertanyaan itu. Sampai sekarang Azka masih tidak tahu apa yang terjadi. Akhirnya Azka menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Mahen.

"Kalo Abang bilang malam itu kamu ke dapur buat ambil pisau dan nyayat tangan kamu sendiri. Apa kamu inget?" Mahen bertanya dengan sangat hati-hati.

Seketika Azka membulatkan matanya saat mendengar penuturan Mahen. Dia? Menyayat tangannya sendiri?. Tidak mungkin. Untuk apa?. Azka hendak menjawab lagi, tapi tiba-tiba bayangan malam itu terlintas acak di kepalanya.

Kepalanya pusing dan juga sakit. Azka memegang kepalanya dengan erat. Ia melihat dirinya sendiri yang terbangun saat tidur, berjalan menuju dapur, dan menyayat tangannya tanpa ragu-ragu.

"Arghhhhhh," Azka berteriak kesakitan saat ingatan itu bertubi-tubi muncul di kepalanya.
"Azka, tenang dulu," Papa langsung berdiri mendekati Azka dan berusaha menenangkannya. Begitu juga Mahen yang menarik tangan Azka untuk tidak memukul-mukul kepalanya.

Dalam ingatannya, Azka melihat genangan darah yang dengan cepat terbuat di lantai. Ironinya darah itu miliknya.

Selesaikan

Suara siapa itu?. Azka menggelengkan kepalanya cepat saat suara-suara itu muncul lagi di kepalanya.

Kamu sendirian, Azka

Azka sudah tidak bisa berpikir dengan benar sekarang. Tubuhnya bergetar hebat dan napasnya mulai sesak. Suara-suara itu semakin kencang di telinganya. Itu bukan suara Papa dan juga Mahen. Suara siapa itu?. Azka hampir saja tenggelam pada suara itu sebelum pipinya terasa panas dan ia kembali pada kenyataan.

Azka membuka matanya dan melihat Papa dan juga Mahen yang panik melihat Azka.

"Azka! Kamu kenapa, nak?" kata Papa sambil memeluk Azka dan mengelus punggungnya untuk menenangkan.

Seketika rasa mual mendominasi dirinya. Rasanya ia ingin muntah. Azka bangkit dari duduknya dan berjalan dengan susah payah ke kamar mandi. Ia nyaris saja jatuh jika tidak ditahan Mahen. Saat sampai di kamar mandi Azka memuntahkan semua isi perutnya. Setelahnya tubuh Azka terasa sangat tidak bertenaga. Ia merasakan badannya melayang seperti diangkat oleh seseorang. Lalu diletakkan di kasurnya.

Azka tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Ia bingung dan ketakutan. Azka meminum segelas air yang diberikan Mahen. Setelahnya ia menangis seseunggukan karena teringat hal yang baru saja terjadi. Apa yang terjadi barusan?. Ia kenapa?. Apa betul ia menyayat pergelangan tangannya sendiri?.

Papa membawa Azka dalam pelukannya. Berusaha menenangkan Azka dengan mengatakan 'semuanya akan baik-baik saja'. Tapi Azka sendiri sejujurnya tidak yakin, apakah ia akan baik-baik saja. Karena tubuhnya sudah kelelahan, tak lama Azka tertidur. Terakhir kali sebelum benar-benar masuk ke alam mimpi. Ia mendengar Papa berbicara pada Mahen.

"Hen, besok kita bawa Azka ke psikolog. Papa khawatir."
"Iya, Pa. Besok Mahen ikut juga"

Lewat Aksara, bisakah kamu hanya menulis hal-hal yang bahagia saja dalam hidupku?. Aku lelah.

---

Hai, sesuai janji, aku balik lagi yeay (◍•ᴗ•◍)❤
Gimana menurut kalian bab ini?, apakah perasaanku sampai ke kalian?.
Lanjut nggak, nih? ᕙ( ͡◉ ͜ ʖ ͡◉)ᕗ

Jakarta, 19 April 2022
Aku yang lagi rebahan

(1) Aksara Azkara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang