20. Bangkit

240 34 5
                                    

Guk!

Suara gonggongan anjing menjadi musik penyambut Azka saat sampai di rumah.

"Archie!"

Azka membawa Archie untuk duduk di pangkuannya. Ia mengelus-ngelus bulu lembut Archie. Rasanya sudah lama ia tidak bertemu buntelan bulu hidup itu.

Azka dibolehkan pulang dari rumah sakit pagi ini. Dirinya belum sembuh total, tapi sudah bisa untuk rawat jalan di rumah. Hari ini ia akan istirahat total dan besok kembali ke sekolah.

"Ka, Abang berangkat kuliah dulu, yah. Kamu sama Papa di rumah, Papa ambil cuti hari ini," pamit Mahen sambil mengusap surai Azka.

Azka hanya mengangguk dan kembali fokus pada Archie. Entah kenapa rasanya Archie sudah semakin besar sekarang. Dulu saat pertama kali sampai di rumah ini Archie masih sangat bayi.

Archie yang diusap-usap oleh Azka hanya memejamkan matanya keenakan. Archie juga merindukan Azka sepertinya.

"Azka, sini sarapan dulu," panggil Papa dari arah dapur.

Sambil menggendong Archie, Azka menghampiri Papa.

"Archie udah makan belum, Pa?"

"Belum, Archie baru diambil dari penitipan hewan juga tadi sebelum jemput kamu. Kemarin-kemarin nggak ada yang jaga soalnya," ucap Papa sambil membuka bungkus bubur ayam yang tadi dibeli di jalan pulang.

Azka berjalan menuju rak penyimpanan khusus makanan Archie. Archie yang seolah paham akan diberi makan langsung menyalak dengan senang. Azka menuangkan makanan kering Archie ke wadah makan khusus si buntelan bulu itu dan menurunkan Archie. Saat Archie ingin memakannya, Azka menghentikannya.

"Archie, wait!"

Archie sudah dilatih berbagai macam trik oleh Mahen. Azka juga sering melakukannya pada Archie. Lihatlah, kini Archie duduk dengan menurut di depan makanannya. Menunggu aba-aba dari Azka.

"Wait, wait. Eat!"

Archie langsung makan dengan cepat. Azka tersenyum melihatnya, mengelus kepala Archie beberapa kali, lalu mencuci tangan dan sarapan bersama Papanya yang sudah menunggu.

Azka melihat sarapannya yang berupa bubur ayam itu. Tanpa kacang tentunya, Azka alergi kacang. Ternyata Papa mengingatnya, ada secercah kehangatan yang timbul di hatinya.

Azka menaburkan kerupuk di atas bubur dan tidak mengaduknya. Azka bukan tim bubur diaduk, menurutnya akan aneh rasanya jika semua ornamen dalam bubur tercampur.

"Pa, besok Azka sekolah, yah?" kata Azka disela-sela kegiatan makannya.

"Kalo emang udah ngerasa sehat boleh aja," jawab Papa.

"Udah sehat. Azka ketinggalan beberapa pelajaran," ucap Azka penuh keyakinan.

"Besok Papa anter tapi."

"Hmmm, oke, deh."

Selanjutnya obrolan terhenti dan hanya berisi ayah dan anak yang fokus makan. Setelah selesai, Papa membuang bungkus bubur tersebut dan mengeluarkan obat yang harus dikonsumsi Azka. Azka mengernyit saat melihat ada beberapa obat asing.

"Itu obat apa aja, Pa?"

"Ini yang baru kamu liat, obat dari psikiater kamu," jelas Papa.

Melihat Azka yang kebingungan, Papa melanjutkan penjelasannya. "Sekarang kamu konsultasinya udah ngga sama Om Putra. Om Putra menganjurkan kamu ke psikiater, karena kamu butuh obat dan terapi. Nama psikiaternya Kak Deon. Kak Deon udah tahu gimana kondisi kamu dari Om Putra, makanya dia kasih kamu beberapa obat. Sabtu ini kita ketemu dia. Oke?" ucap Papa pelan.

Azka sempat ragu beberapa saat, tapi pada akhirnya ia mengangguk. Saat selesai meminum obat, Azka beranjak untuk ke kamarnya dengan Archie. Sedari tadi Archie sudah menunggu di samping kaki Azka. Tapi niatnya terhenti saat Papa menyuruhnya mendekat.

"Azka, kamu jangan terlalu banyak pikiran, yah. Sekarang kesehatan kamu yang paling utama. Baik fisik maupun mental. Papa selalu ada buat kamu. Papa nggak bisa liat kamu terbebani banyak hal. Sekarang fokus sama sekolah dan terapi kamu aja, yah?, janji?" ucap Papa.

Azka tidak menyangka Papa akan berucap seperti itu. Betul, kini kesehatannya memang yang paling utama. Baru-baru ini ia sadar bahwa dirinya terus-terusan lari dari masa lalu.

"Janji," jawab Azka.

Papa mengusap surai Azka beberapa kali. Lalu menyuruh Azka beristirahat. Azka mengajak Archie untuk ikut bersamanya ke kamar.
Sesampainya di kamar, Azka mengunci kamarnya dan melihat pantulan dirinya di cermin.

Aksa. Aksara Ferdinan. Wajahnya sama persis dengan Azka, kembarannya itu. Azka mengusap wajahnya yang terpantul di cermin.

"Aksa..." ucapnya lirih.

"Maafin aku."

Azka beranjak dari depan cermin dan merebahkan dirinya di kasur. Archie mengikutinya dan tidur di samping lengan Azka. Sebenarnya ada banyak sekali pikiran yang berkecamuk di otaknya. Akhir-akhir ini masalah datang bertubi-tubi.

Azka menghela napasnya berat. Iya, dia harus bangkit. Ia tidak mau terus-terusan begini. Hal yang harus ia lakukan sekarang adalah mencoba berdamai dengan masa lalu. Berdamai dengan masa lalu artinya ia harus siap membuka lembarannya. Hal itulah yang paling ia benci.

Semoga psikiater barunya bisa membantu. Walau Azka tahu semuanya tergantung pada dirinya. Melihat kejadian kemarin, Azka sadar ia tidak sendirian, ia punya Papa, Bang Mahen, Je, dan juga Kevin.

"Archie, kamu juga mau temenin aku selamanya, kan?" tanya Azka sambil mengangkat Archie ke arah langit-langit dengan posisi dirinya yang masih telentang di kasur.

Guk! Guk!

"Aku jawab sebagai 'iya'"

Azka tersenyum dan memejamkan matanya untuk istirahat.

Lewat aksara, tolong tuliskan takdir yang indah-indah selanjutnya. Azka sudah mau berusaha.

---

Hai! Aku hampir lupa hari ini Selasa. Walaupun bab ini pendek, tapi setidaknya bisa mengisi hari kalian. Terima kasih sudah menemani Azka di bab ini ( ˘ ³˘)♥. Sampai ketemu lagi.

Jakarta, 24 Mei 2022
Aku yang akhirnya bab 1-5 di ACC dosen pembimbing.

(1) Aksara Azkara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang