14. Malam Panjang Bersama Mahen

273 37 3
                                    

Azka mengetuk pintu kamar Mahen. Setelah pulang dari pantai, Je sudah memutuskan lagu apa yang akan mereka bawakan nanti. Lagu berjudul Dekat di Hati milik RAN menjadi pilihannya. Je merasa lagu tersebut easy listening dan pasti diketahui oleh semua orang. Lagu dengan nuansa cinta tersebut diyakinkan dapat memikat satu sekolah Nusa, tentu saja paras tampan ketiganya akan dimainkan di sana.
Maka dari itu Azka kini berniat memberitahu Mahen perihal lagu yang sudah terpilih itu.

Tak lama setelah Azka mengetuk pintu, terdengar suara langkah dari dalam dan terlihat Mahen yang muncul dari balik pintu.

"Kenapa, Ka?" tanya Mahen.

"Abang, Je udah kasih tahu lagunya. Abang sibuk?" Azka bertanya balik karena melihat komputer Mahen yang menyala dari balik pintu. Sepertinya Mahen sedang mengerjakan sesuatu.

Mahen menggelengkan kepalanya, "Enggak, Abang lagi main-main aja, kok. Ya udah sini masuk." Mahen membuka pintu kamarnya lebar dan membiarkan Azka masuk.

"Jadinya lagu apa?" tanya Mahen sambil duduk di kursi yang berada di depan komputernya. Sementara Azka masih berdiri sambil memperhatikan isi kamar Mahen, ini pertama kalinya ia masuk ke dalam. Biasanya hanya melihat sekilas saja.

"Lagunya RAN yang Dekat di Hati," jawab Azka sambil duduk di kursi samping Mahen.

"Oh, kirain Abang bakalan pilih lagu yang baru rilis. Oke, Abang coba aransemen, yah. Sebelumnya cari instrumennya dulu."

Azka hanya mengangguk-ngangguk saja mendengar Mahen sambil melihat apa yang dilakukannya.

"Tadi main kemana?"

"Ke pemancingan sama pantai. Tadi sunset-nya cantik," cerita Azka.

"Wah, seru tuh. Naik apa kalian bertiga?" Mahen mengajak ngobrol Azka sambil mengutak-utik komputernya.

"Naik mobil, sopirnya Je yang nyetir."

Mahen hanya mengangguk paham. Setelah itu keheningan melanda keduanya. Azka menurunkan lengan piyamanya karena pendingin ruangan kamar Mahen berada di 16 derajat. Mahen yang melihatnya langsung menaikkan suhu pendingin ruangan.

"Abang, boleh nanya enggak?" tanya Azka dengan suara ragu.

Mahen menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Azka, "Kenapa?"

Azka ragu sejenak. Sebenarnya ada hal yang mengganjal di pikirannya sejak ia pertama kali menginjakkan rumah Papanya ini. Tapi ia terus memendamnya karena merasa itu hanyalah bayangan negatifnya saja. Tapi semenjak ia memiliki masalah yang sampai mengharuskan ke psikolog, ia kembali ragu dan juga takut.

Azka menghembuskan napas panjang lalu membuka mulutnya, "Papa nggak marah sama aku, kan?". Akhirnya keluar juga pertanyaan yang selama ini Azka khawatirkan.

Mahen bingung mendengar pertanyaan adiknya itu, "Memangnya marah karena apa?"

"Mmmhhh... Gara-gara aku bikin masalah dan ngerepotin," Azka meremas-remas jarinya tanda cemas.

Mahen mengangguk paham. Pertanyaan Azka berkaitan dengan kejadian kemarin.

"Azka, Papa nggak marah sama sekali sama kamu. Justru Papa khawatir banget sama kamu. Papa panik banget waktu ngeliat kamu berdarah-darah malem itu. Abang liat sendiri betapa Papa sebenarnya panik tapi berusaha tenang malam itu," Mahen berucap pelan sambil menatap ke arah adiknya yang kini terlihat sangat kecil dan butuh perlindungan.

"Tapi gara-gara aku, Papa pasti repot karena aku nambah beban pikirannya," suara Azka sudah bergetar. Ia merutuki dirinya sendiri yang malah merepotkan Papa dan juga Mahen. Kalau tahu begitu lebih baik ia tidak usah ke rumah ini sejak awal.

(1) Aksara Azkara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang