29. Lari

220 35 1
                                    


Mahen masuk ke dalam mobil bersamaan dengan Papanya. Kedatangan mereka ke rumah sakit untuk mencari Mamanya sia-sia. Resepsionis tadi bahkan mengatakan kalau Mamanya sudah beberapa bulan resign dari sana.

"Pa, apa nggak sebaiknya kita lapor polisi. Mereka bisa bantu kita," usul Mahen saat mobil sudah mulai melaju.

Papa menghela napas. "Kita nggak ada bukti yang kuat kalau Azka ada sama Mama, Hen. Kamu tahu sendiri, kan polisi sekarang kaya gimana kerjanya? Lagian bakalan aneh kalo kita lapor seorang anak yang diculik Mamanya sendiri."

Mahen diam-diam menyetujui perkataan Papanya itu. "Tapi kita nggak ada pilihan lain, Pa."

"Ada. Sekarang kita datengin rumah Mama kamu. Tadi Papa sempet minta resepsionis rumah sakit buat ngasih tahu alamat rumah Mama kamu yang baru. Untung aja dikasih walau cuman bilang kalau Papa mantan suaminya."

Mahen bernapas lega mendengar penuturan Papanya, mungkin tadi dia sudah keburu kalut sampai tidak mendengar perbincangan Papa dan resepsionis itu selanjutnya. "Ayo, Pa, kita ke sana." Tanpa disuruh pun Papa sudah melaju ke alamat rumah baru mantan istrinya itu.

---

Ceklek

Suara pintu kamar Azka yang terbuka. Tampak sosok Mamanya memasuki kamar. Azka yang tadi pikirannya sedang dipenuhi bagaimana cara kabur di sini langsung tersadar dari lamunannya.

"Azka, makanannya udah diabisin?" Mama menghampiri Azka yang sedang duduk di meja belajar, lalu melihat sepiring makanan yang masih sisa separuh. "Kok, nggak diabisin?"

"Azka udah kenyang, Ma," jawab Azka tanpa melihat sosok Mamanya. Azka selalu takut saat berhadapan dengan Mamanya, tapi kali ini rasanya menjadi dua kali lipat.

Mama tersenyum di samping Azka. "Nanti siang kamu harus habisin makanan yang Mama kasih. Malamnya kamu ikut Mama lagi."

"Azka mau diapain kali ini?" tanya Azka takut-takut sambil menunduk. Sebuah tangan dingin milik Mamanya mencengkeram pipinya untuk mendongakkan kepala Azka. "Mama butuh ginjal kamu. Klien Mama bakalan bayar besar untuk kita."

Seketika tubuh Azka gemetar. Apa? Ginjal? Apa Azka tidak salah dengar?. "Sebenarnya itu semua buat siapa, Ma?" Azka memberanikan diri bertanya.

"Yang itu kamu nggak perlu tahu. Kamu cukup nurut apa perintah Mama aja. Nanti Mama bagi kamu persenan uangnya." Azka menggeleng. "Azka nggak butuh itu semua, Ma..... Azka mau pulang."

PLAK!

Satu tamparan mendarat di pipi Azka. Kencang. Bahkan kepalanya sampai terteloh ke samping. Denyut nyeri dan panas seketika menghinggapi Azka. Sudah lama. Sudah lama sekali dirinya tidak mendapatkan pukulan manis dari Mamanya. Rasanya masih sama. Sakit di hatinya jauh lebih nyeri daripada sakit di fisiknya.

"Ngomong sekali lagi begitu, Mama nggak akan segan-segan ngelakuin yang lebih. Pulang kemana? Ini rumah kamu!" Mama berjalan cepat keluar kamar lalu menutupnya dengan bantingan keras. Terdengar suara pintu dikunci dari luar.

Azka hanya bisa membisu di tempatnya. Matanya menerawang jauh ke depan sana. Hidupnya kembali lagi ke titik awal. Ia pikir dirinya sudah cukup jauh berlari meninggalkan kehidupan lamanya. Ia sudah bersusah payah untuk lari dari semua ini. Tapi kenapa pelariannya menjadi sia-sia. Ia kembali ke titik awal lagi.

Aksa, aku harus bagaimana?

---

Mahen dan Papa sudah sampai di depan rumah Mama. Rumah bergaya modern dengan aksen kayu itu terlihat kosong dari luar. Mahen dan Papa segera turun dan berdiri di depan pagar. Saat Papa ingin membuka pagar itu, Mahen menghentikannya.

(1) Aksara Azkara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang