16

57 9 0
                                    

Xingmei hanya bisa menangis menunggu dokter melakukan tindakan pemeriksaan dan segala macamnya pada Zongxian. Terlihat dari jendela bahwa kondisi Zongxian terbilang cukup drop dan sepertinya akan ada tindakan operasi. Minghao langsung mendekap tubuh Xingmei untuk menampung kesedihan Xingmei. Beberapa lama kemudian, dokter ke luar dari ruangan tempat Zongxian dimasukkan dan Xingmei langsung menghampiri dokter.

"Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?" tanya Xingmei sedikit tidak sabaran.

"Apa anda sudah tahu kalau Tuan Zongxian menderita penyakit jantung sudah lama?" tanya dokter yang kemudian dijawab anggukan oleh Xingmei pertanda ia sudah tahu.

"Jantungnya kumat lagi dan kami segera lakukan tindakan. Sebenarnya bisa saja membaik, asal tidak ada hal yang membuatnya syok bahkan stress. Tuan Zongxian saat ini mengalami koma." jawab sang dokter membuat tubuh Xingmei seketika lemas bahkan hampir saja terjatuh jika Minghao tidak segera menangkapnya.

"Ayah koma?!" tanya Xingmei lemas sementara dokter hanya menunduk menyesal.

"Kami akan melakukan yang terbaik untuk Tuan Zongxian. Untuk saat ini, anda dan keluarga harap mendoakannya. Tuhan tidak pernah tidur dan diam. Saya permisi." pamit dokter diikuti dua suster yang membantunya tadi.

Air mata Xingmei semakin menetes lebih banyak. Minghao yang sejak tadi di sebelahnya memeluk Xingmei sambil mengelus rambutnya. Seharusnya suaminya yang melakukan ini, tapi malah lelaki lain yang ada di sisinya. Setelah dirasa tenang, Minghao dan Xingmei kembali duduk di bangku di depan ruangan Zongxian.

"Aku jadi teringat saat ayahku meninggal. Waktu itu aku baru saja selesai ujian sekolah menengah. Aku yang seharusnya senang karena mendapat peringkat tertinggi harus kehilangan ayahku."

Minghao mendengarkan cerita Xingmei dengan serius karena ia merasa terpukul. Nasib Xingmei benar-benar miris dan bisa-bisanya ia tetap bersikap ceria.

"Aku juga teringat, ayah dengan suara yang terbata-bata memintaku untuk segera menikah. Tapi ibuku sempat menentang. Ibu ingin aku kuliah di luar negeri dan mendapat gelar sarjana agar nilai-nilai tertinggiku di sekolah dapat kumanfaatkan. Tapi akhirnya ibu mengerti apa alasan ayah memintaku untuk menikah. Ayah ingin menimang cucu sebelum ia meninggal. Dan lelaki satu-satunya yang ayah percayai bisa menjadi suami yang baik untukku hanyalah putra dari Tuan Zongxian, Wen Junhui. Bisa-bisanya ini yang kudapat. Kalau ayah masih hidup, dia pasti akan sedih. Ayah jadi belum sempat menimang cucu karena Tuhan sudah memintanya pulang, Wen Junhui tidak sebaik yang ayah pikir. Kasihan ayah..." lirih Xingmei.

Melihat air mata Xingmei yang kembali bercucuran, Minghao langsung mengambil tisu yang ia bawa lalu ia usap air mata gadis itu secara perlahan dengan tatapan yang bahkan Xingmei tidak mengerti arti tatapan itu.

"Jangan menangis kalau kau tidak ingin aku juga menangis." itulah yang Minghao katakan untuk menenangkan Xingmei.

"Aku yatim piatu. Ibuku meninggal menyusul ayah karena bus yang membawa ibu pulang jatuh ke jurang dan tak ada yang selamat. Hidupku hancur. Ibu bahkan belum sempat melihatku kuliah dan lulus dengan hasil memuaskan, ayah juga belum sempat menimang cucu. Hidupku tidak tahu akan bagaimana ke depannya. Harapanku sekarang hanya ada di Junhui dan Tuan Zongxian. Tuan Zongxian sudah kuanggap ayah kandungku sendiri."

"Aku turut bersedih. Kumohon tenangkan dirimu, kita harus mendoakan Tuan Zongxian semoga cepat sembuh." Minghao membawa Xingmei ke dalam pelukannya. Tak peduli saat ini ia sedang memeluk istri orang lain. Suaminya tidak ada di sini. Dia justru sibuk dengan wanita lain. Siapa lagi yang akan memeluk gadis ini kalau bukan dirinya?

Marriage Without Love | Jun SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang