19

90 10 0
                                    

Selama perjalanan pulang, Xingmei selalu dihantui rasa khawatir 2 kali lipat. Pertama, kondisi Zongxian. Kedua, Junhui. Xingmei mengerti perasaan Junhui. Antara rasa bersalah dan takut terjadi sesuatu pada Zongxian. Bagaimana tidak, jika hal buruk terjadi pada Zongxian, Junhui tidak sempat meminta maaf dan akan dihantui rasa bersalah seumur hidupnya karena telah durhaka pada ayahnya sendiri.

Xingmei mengusap pelan bahu Junhui. Pelipisnya dibasahi keringat yang membuat sang istri langsung menyekanya. Junhui sedang menyetir dan Xingmei harus mencoba agar konsentrasi Junhui tidak hancur.

"Kumohon jangan seperti ini, Junhui. Kita berdoa saja semoga semuanya baik-baik saja. Aku yakin ayah akan baik-baik saja. Percayalah padaku." Xingmei menenangkan Junhui yang sejak tadi khawatir.

"Aku tidak habis pikir saja. Siapa yang tega-teganya berani berbuat hal sekejam itu pada ayah? Setahuku, ayah tidak pernah punya musuh." balas Junhui sempat melirik Xingmei.

"Aku tahu itu, Junhui. Ayahku saksinya. Kau tenang saja, kita serahkan semua pada Tuhan dan dokter."

"Aku pastikan, pelakunya tidak akan hidup tenang. Aku harus mencari pelakunya."

Sejujurnya, Xingmei senang dengan perubahan drastis Junhui pada Zongxian. Memang dari kanak-kanak pada dasarnya, Junhui adalah tipikal orang yang perhatian dan tidak akan tinggal diam apabila orang yang ia sayang dijahati orang lain. Tapi semakin beranjak dewasa, justru sikapnya terlihat lebih kalem dan memiliki cara sendiri dalam memberikan perhatian pada orang lain.

***

"APA?! Yang benar? Bagaimana bisa kalian tidak jadi bercerai? Apa kau hamil?" tanya Yuqi yang saat itu sedang bicara dengan Xingmei lewat telepon.

Junhui sedang mandi dan Xingmei saat ini sedang berada di sofa depan perapian. Entah kenapa malam ini cuacanya sedikit dingin bahkan Xingmei memakai sweater yang cukup tebal pula. Xingmei sudah mandi duluan sebelum Junhui.

"Belum, ya dia sudah ingat siapa aku. Orang pentingnya di masa lalu saat kami masih kanak-kanak. Kau harus tahu, dia bahkan memohon-mohon sampai surat cerainya ia robek-robek. Ia baru sadar bahwa aku penting dan dia bahkan bilang kalau saat ia sakit, yang ia ingat hanya aku. Karena teringat, saat kami kanak-kanak dan dia sedang sakit, aku yang membantu ibunya merawatnya."

"Tunggu dulu, bagaimana ia bisa ingat? Memangnya dia sempat amnesia atau semacamnya?"

"Tidak, saat dia lulus SMP, dia sudah diperkenalkan ayahnya ke perusahaannya. Dan sejak SMA pun ia sudah diminta untuk membantu mengurus perusahaan. Karena pekerjaannya yang sudah banyak, dia melupakan masa kanak-kanaknya dulu. Ya, ayahnya dulu ambisius sekali ingin anaknya menjadi penerus perusahaannya."

"Aku hanya ikut senang dan berharap ini awal yang baik. Semoga saja Junhui bisa tegas dengan memutuskan hubungannya dengan wanita itu."

"Terima kasih, Yuqi. Oh ya, tapi untuk saat ini ayahnya masih sakit. Kondisinya menurun. Di rumah sakit, ada yang melepas selang infusnya. Saat ini bahkan Junhui masih khawatir karena seharusnya hari ini beliau pulang dan Junhui meminta maaf padanya. Tapi belum sempat."

"Jika aku jadi Junhui, tentunya aku ikut bersedih. Aku doakan semoga mertuamu cepat sembuh."

Bicara lewat telepon pun selesai tak lama kemudian. Bertepatan dengan Junhui yang sudah selesai mandi serta memakai piyamanya.

Ia sempat mencari-cari keberadaan Xingmei bahkan bertanya pada Xuanyi yang kebetulan sedang lewat. Benar saja, Xingmei ada di depan perapian. Junhui tersenyum tipis dan menghampiri sang istri.

"Hey." Junhui mengecup bibir Xingmei singkat lalu duduk di sofa sebelah Xingmei.

"Teh." tunjuk Xingmei lalu diangguki Junhui. Ia berterima kasih dan meneguk pelan teh hangatnya. Perasaannya semakin membaik dari yang tadi sejak di mobil.

Marriage Without Love | Jun SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang