Seperti biasa, harap sambil dengarkan lagunya di atas karena termasuk ke dalam soundtrack di cerita ini. Agar lebih gampang dibayangin, terima kasih❤
***
"Jie jie, bangunlah! Sudah pagi."
"Jie jie, ayo bermain petak umpet!"
"Dasar jie jie kebo!"
Panggilan dari beberapa anak mulai memekakan telinga seorang gadis yang tengah bermimpi itu. Matahari memang sejak tadi menyilaukan matanya namun tetap saja gadis ini tidak juga terbangun. Tetapi ia mulai terbangun ketika mendengar suara anak-anak tadi yang ingin bermain dengannya.
Gadis berusia 23 tahun itu akhirnya terbangun dan melihat ke jendela dan benar saja, anak-anak yang memanggilnya tadi menunggunya dan tak lupa mengucapkan selamat pagi.
"Lin Xingmei, bangunlah! Lihat, siapa yang menunggumu?" tak hanya anak-anak tadi, nenek juga memanggil dari tadi.
"Iya, nek. Aku sudah bangun." jawab gadis bernama Lin Xingmei itu setelah ia menyapa dengan senang anak-anak tadi.
"Sarapan seperti biasa tidak apa?" tanya nenek setelah Xingmei sampai di ruang makan setelah ia mencuci muka dan berganti baju. Ya, nenek yang biasa memasak makanan untuknya setelah orangtua Xingmei meninggal dunia saat Xingmei duduk di bangku SMP. Ayah Xingmei meninggal karena kanker otak yang dideritanya sangat lama, sedangkan ibunya meninggal karena kecelakaan.
"Tidak apa, nek. Lagipula kita tinggal di desa. Tidak cocok makan makanan kota." jawab Xingmei sambil tertawa.
Nenek ikut tertawa mendengar jawaban cucunya itu. Memang nenek dan cucunya itu tinggal di sebuah desa dengan rumah yang terbuat dari kayu dan terbilang sederhana. Namun mereka nyaman tinggal di rumah tersebut karena suasananya sejuk. Tetangganya pun ramah.
"Apa anak-anak itu sudah makan? Nenek masak banyak, kan?" tanya Xingmei sambil membuka sebuah tempat makan yang cukup besar.
"Iya, nenek masak banyak. Kau ini kebiasaan selalu memikirkan anak-anak itu ketimbang dirimu sendiri." jawab nenek sambil menyiapkan nasi untuk Xingmei.
"Tentu saja, mereka sudah seperti adik-adikku sendiri. Mungkin jika aku melakukan ini saat usiaku 30 tahun ke atas, mereka adalah anak-anakku. Benar kan, nek?" nenek lagi-lagi tertawa mendengar jawaban Xingmei.
"Memangnya kau ingin menikah di usia berapa? Seharusnya kan tahun ini kau sedang kuliah." ucapan nenek barusan sedikit membuat Xingmei tertampar.
Ya, seharusnya tahun ini bahan tahun kemarin Xingmei sudah kuliah, seperti permintaan ibunya sebelum ia meninggal. Tapi di samping itu, ayahnya menginginkan Xingmei untuk segera menikah karena ia ingin menimang cucu. Namun sayang, takdir berkata lain. Sel kanker telah bersarang di dalam tubuh ayah Xingmei dan sudah menyebar sehingga kondisinya semakin memburuk hingga akhirnya meninggal dunia. Sebenarnya hidup Xingmei semakin tidak jelas sekarang. Itu sebabnya sampai sekarang dia masih belum kuliah karena masih bingung pada dirinya sendiri. Mau kuliah tidak punya cukup banyak uang, mau menikah tapi belum ada yang mengajaknya. Ingin bekerja di kota tapi sebenarnya ia tidak mau meninggalkan neneknya sendirian di desa. Lagipula neneknya bilang bahwa ia masih bisa bekerja meski pendapatannya tidak banyak, setidaknya cukup untuk kebutuhan hidup mereka berdua. Bisa dibilang nenek masih sehat bugar karena memang ibunya Xingmei yang merupakan anak nenek memang awet muda.
"Memangnya nenek pikir akan ada pemuda kaya dan tampan yang mau menikahiku? Kalau soal itu aku sudah sering memimpikannya. Tapi aku tidak yakin akan kejadian."
Xingmei dan nenek melanjutkan sarapannya agar anak-anak yang tadi membangunkannya tidak menunggu lama.
***
"Terima kasih, kak. Kami memang belum sarapan sejak tadi." ujar salah satu anak laki-laki yang tadi membangunkan Xingmei sambil melahap makanannya.
Uniknya, Xingmei memperhatikan anak-anak itu makan di taman bermain. Bukan di rumahnya. Ya, Xingmei merupakan salah satu gadis muda yang paling unik di desa tersebut. Teman-temannya kebanyakan anak-anak. Teman terdekatnya di desa hanya Yuqi. Namu Yuqi sudah berada di kota karena Lucas suaminya mendapat pekerjaan di kota sehingga Yuqi harus ikut dengannya. Sampai sekarang Xingmei tidak tahu kabarnya karena ia tidak punya ponsel. Memang dia butuh suami, agar bisa dibelikan ponsel.
"Makanlah yang banyak. Nenek sudah memasak banyak." jawab Xingmei sambil mengelus kepala salah satu anak perempuan yang sedang makan juga.
Anak-anak itu hanya mengangguk dan kembali melahap makanannya. Sesekali Xingmei tersenyum melihat bahagianya anak-anak ini menyantap makanannya. Neneknya memang seperti koki yang handal. Dia harus banyak belajar memasak darinya. Besok. ya, besok. Nenek harus mengajarinya memasak.
"Kalian mengingatkanku saat aku masih kecil. Saat itu aku punya teman laki-laki. Yang satu namanya Minghao, yang satu lagi namanya...Jun...hui? Ya, kurasa namanya Junhui." kata Xingmei sambil mengingat-ingat teman masa kecilnya itu.
"Apakah mereka sekarang tampan?" tanya anak perempuan itu.
"Entahlah. Terakhir aku bertemu dengan mereka saat masih kecil saja. Sekarang satu persatu mereka sudah pergi. Aku jadi tidak ingat wajahnya sekarang bagaimana." jawab XIngmei mulai melamun.
Satu hal yang membuat Xingmei dikenal sebagai gadis yang unik di desanya. Yaitu, ia selalu bermain di taman bermain bersama anak-anak sambil memakai gaun berwarna merah. Gaun itu milik mendiang ibunya dan Xingmei sangat menyukainya, sehingga ia pakai gaun itu untuk di rumah atau bahkan di luar rumah. Harus diakui, Xingmei semakin mirip dengan ibunya ketika memakai gaun itu.
Tiba-tiba, terlihat nenek ke luar dari rumah sambil membawa tas cukup besar. Xingmei yang melihatnya langsung menghampiri nenek setelah ia izin pada anak-anak tadi untuk meninggalkan mereka sebentar.
"Nenek mau ke mana?" tanya Xingmei setelah sampai di hadapan neneknya.
"Nenek mau ke pasar. Ada bahan makanan yang sudah habis." jawab nenek.
"Aku ikut, ya. Nenek pasti akan keberatan membawa belanjaan." Xingmei hendak meraih tas cukup besar yang dibawa nenek namun nenek mencegahnya.
"Tidak usah, belanjaannya tidak akan berat, kok. Nenek hanya membeli beberapa bahan. Tasnya saja yang terlihat besar. Kau bermain saja bersama anak-anak. Kasihan juga mereka kalau ditinggal." jawab nenek. Tampak ekspresi Xingmei berubah menjadi ekspresi cemas dan khawatir.
"Nenek yakin? Nanti badan nenek sakit semua." Xingmei seakan memijat-mijat bahu nenek.
"Aihh, nenek tidak apa-apa. Nenek tidak sakit. Sudah, ya. Kalian bersenang-senanglah. Nenek akan segera kembali." nenek kembali berjalan menuju pasar meninggalkan XIngmei.
"Hati-hati, nek."
"Iya."
***
Di pasar, nenek sedang memilah-milih ikan yang bagus juga membeli beberapa bahan makanan lain. Tiba-tiba saat nenek hendak menuju tempat lain untuk membeli bahan makanan, ia berpapasan dengan seorang pria paruh baya. Seumuran ayah Xingmei lebih tepatnya.
"Nyonya? Halo, bagaimana kabarmu?"
"K-kau..?"
***
Yuhuu, sudah chapter 1. Vote + comment nya jangan lupa ya :"))
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Without Love | Jun SEVENTEEN
RomanceCERITA INI NGGA JADI PINDAH KE NOVELME. AKAN DIPUBLISH DISINI, HAPPY READING! ❤ Lin Xingmei, seorang gadis desa yang periang terpaksa menikahi seorang anak dari CEO ternama di kota. Jika bukan karena ayahnya yang berhutang budi pada mendiang ayah Xi...