Attention: Cerita ini sangat sepi pembaca karena berasal dari akun kecil, jika kalian benar-benar memutuskan untuk membaca cerita ini, tolong tinggalkan sesuatu yang bisa membantu akun ini berkembang. Terimakasih..
.
.Caca Vanilia, sosok gadis itu terlihat tidak melakukan apa-apa selama jam istirahat dimulai sampai kini hampir berakhir.
Dia bosan, umurnya sekarang 18 tahun tapi rasanya Caca semakin tua karena beban pikirannya sendiri. Mulai dari mata pelajaran sekolah yang semakin susah, masuk kelas 12 yang sebentar lagi di serang banyak ujian-ujian.
Beban keluarga karena Papa dan Mamanya bercerai sejak dia masih kelas 6 SD. Caca sekarang ini hanya ingin bisa setidaknya sekali saja dia bisa bernafas dengan tenang, berpikir dengan jernih. Suatu hal yang sebenarnya mudah, tapi jarang Caca rasakan.
Dia menangis, baru saja. Biasanya memang tidak pernah dia seperti ini, hanya memang beberapa hari belakangan emosi Caca tidak terkontrol dengan baik.
"Terus selama tiga hari ini lo nggak makan?"
Kepalanya menggeleng menanggapi pertanyaan Dara--salah satu temannya.
"Sedikit." jawab Caca lesu. Paling tidak Caca hanya meminum segelas susu beberapa hari ini.
Mau tahu alasannya?
Enam bulan yang lalu Ayah kandungnya meninggal dunia. Lalu sekitar tiga hari yang lalu, pembantu yang bekerja di rumah Caca meninggalkan dirinya karena sakit. Itulah alasan terbesar kenapa Caca sampai menangis. Dalam waktu dekat dia kehilangan dua orang sekaligus.
"Mama lo nggak pulang?" tanya Dara lagi, dan Caca kembali menggeleng.
Semenjak berpisah dengan Papanya, Mama Caca berubah menjadi wanita yang super sibuk karena menjadi tulang punggung keluarga. Terlebih Mamanya belum menikah lagi--dan Caca tidak pernah berharap memiliki Papa tiri. Tidak akan pernah mau!
"Ya ampun Ca, kenapa nggak bilang? Kalau tahu begitu, gue pasti bawain makanan dari rumah buat lo makan." ungkap Dara merasa kasihan dengan sahabatnya.
Caca memang kurang suka makanan luar, bukan berarti tidak bisa makan. Hanya lebih terbiasa dengan masakan rumahan yang dimasak oleh pembantu atau Mamanya. Selain itu, dia juga bisa lebih sering membawa bekal ke sekolah.
"Nggak apa-apa, emang gue nggak mood." alasan Caca dengan dusta. Padahal aslinya dia malu, dia sudah banyak merepotkan.
"Santai aja kali, nanti pulang sekolah mampir rumah gue, Bunda selalu masak kok!" Ini bukan tawaran, melainkan ajakan dari Dara. Hal sederhana yang bisa membuat Caca tersenyum tipis setelah menghapus seluruh sisa air matanya. Dia beruntung.
"Nanti ngrepotin lagi."
"Timbang makan doang, Ca, ngrepotin dimana? Emang lo kalau makan butuh di suapi, terus digendong keliling kompleks gitu?" sindir Dara bercanda, tahu betul bagaimana watak Caca yang masih suka sungkan, padahal mereka sudah berteman cukup lama.
"Ya nggak lah, lo pikir gue balita?!" Caca berdengus.
"Yaudah kalau gitu mampir, nanti gue ngomong sama Bunda biar masakin yang banyak buat kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect uncle ✓
FanfictionCOMPLETED.Isinya cuma kemanja dan kekanak-kanakan Caca yang bisa saja bikin kamu muak. Atau justru gemes sampai pengin cekik mati. Setelah ditinggal meninggal, memiliki seorang Ayah tiri bukanlah keinginan Caca sama sekali. Terlebih pria pilihan san...