Cantika, sosok Ibu itu akhirnya menatap pria yang hampir 19 tahun lamanya berusaha dia kubur bersama bayang-bayang ketakutan dimana malam ini klimaks dari bayangan itu memuncah ke permukaan.
"Aku nggak punya banyak waktu," mengingat Caca yang tidak suka ditinggal lama-lama bersama Juan, Cantika ingin sesi berdiam ini segera selesai.
"Kalau kamu nggak mau lama-lama, jawab dengan jujur."
"Nggak ada yang perlu dijawab, lupain. Bukannya kita udah sepakat buat nggak saling mengenal lagi?" Terbesit hal yang teramat menyengat sakit ketika Cantika tak sengaja menatap mata terang pria dihadapannya ini.
"Aku masih punya hak atas dia, benerkan?"
Wanita 41 tahun itu tertawa dengan begitu miris atas hal yang didengarnya. Hak? Bukankah untuk mendapatkan sebuah hak manusia perlu yang namanya memenuhi kewajiban dulu?
Lihatlah pria didepan Cantika ini, pengecut.
"Nggak, dia anakku sama Vian. Memang kamu siapa sampai punya hak atas anak kami?"
"Caca Vanilia, dia anak aku."
"Anak yang mana, Jeffry!? Caca anaknya Vian, bahkan ada atau enggak Vian, dia tetep anaknya Vian. Emang apa yang udah kamu lakuin buat Caca selama ini? Bersembunyi? Berlagak seperti pengecut? Ah, bukan seperti, tapi memang pengecut."
Jeffry, pria itu meremat gelas ditangannya dengan begitu kuat. Bukan tidak terima dengan pernyataan Cantika, hanya dia tidak cukup kuat untuk menerima fakta memalukan itu sekarang.
"Kamu pikir nggak menikah sampai usia 40 tahun bisa nebus dosa kamu dan tanggung jawab Vian buat kami? Caca nggak akan pernah butuh orang kaya kamu sekalipun dia butuh Papa baru," imbuh Cantika mengeluarkan hampir seluruh isi tekanan batinnya.
Jeffry hanya menikmatinya sesaat, meninggalkan anak buah yang tak seharusnya Cantika terima begitu saja. Wanita itu sadar, kesalahannya dulu begitu menjijikan.
Caca terlanjur tumbuh dengan Jeffry yang entah kemana dan datanglah pria sebaik Vian yang mau menanggung deritanya.
Hanya sampai usia Caca 12 tahun kemudian keduanya berpisah karena sebuah masalah. Walaupun demikian, Vian tetap bertanggung jawab penuh atas Caca, sampai pria itu menutup mata untuk selama-lamanya.
Jeffry? Dia akhirnya hanya sebagai cuka yang menetes pada luka Cantika yang masih berusaha Juan perban dengan kain kasa.
"Aku mau ikut ambil bagian dari hidup Caca."
"Kamu nggak ada hak buat itu! Berhenti buat semuanya jadi rumit, Caca nggak sedewasa yang kamu bayangin, Jeffry!" Emosi Cantika benar-benar akan terkuras habis malam ini, dirumah Jeffry.
"Dia darah daging aku Cantika!" Pria dengan pangkat sebagai guru itu masih menuntut pengakuan.
"Kamu punya bukti?" Tantang wanita itu.
"Kita bisa tes DNA."
Cantika lagi-lagi tertawa, entah dulu setan apa yang merasukinya sampai terbuai dengan bujuk rayu pria segila Jeffry ini.
"Maksud kamu Caca? Justru dia bakal nganggep kamu itu orang gila, Jef." Cantika hafal betul, Caca tidak mungkin mau diajak melakukan hal yang neko-neko seperti itu.
"Terus aku harus apa? Biarin dia deket sama Dokter brengsek itu? "
"Yang kamu katain brengsek itu sekarang adalah orang terpenting buat aku! Kamu bahkan lebih brengsek! Ngaca! Biar kelihatan." Cantika murka, kini penyesalan akan keputusannya datang bertemu Jeffry pun kian mencuat bersama semburat merah pada wajahnya sebab begitu panasnya rasa amarah yang ikut mengalir disekujur tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect uncle ✓
FanfictionCOMPLETED.Isinya cuma kemanja dan kekanak-kanakan Caca yang bisa saja bikin kamu muak. Atau justru gemes sampai pengin cekik mati. Setelah ditinggal meninggal, memiliki seorang Ayah tiri bukanlah keinginan Caca sama sekali. Terlebih pria pilihan san...