15. 1 kiss for 1 M

272 82 1
                                    

Jatuh cinta, bukanlah hal yang dapat Caca terima begitu saja setelah belasan tahun lamanya ia hidup.  Caca masih belum mengerti sepenuhnya dengan baik, tumbuh menjadi gadis lugu ternyata membuat Caca begitu merasa seperti orang bodoh.

Manusia macam apa yang tidak bisa mengerti perasaan hatinya sendiri?
Caca seakan tengah berdiri disebuah sudut yang gelap, dia terlalu bingung untuk melangkahkan kaki, padahal saklar lampu bisa saja berada didekatnya.

Hal yang lama tidak Caca rasakan, kembali dia rasakan bersama Juan meski rasa itu tidak sepenuhnya sama.

Lalu sekarang Caca tengah berpikir, bagaimana bisa dulu dia jatuh cinta dengan Papanya sendiri? Atau bagaimana bisa Vian jatuh cinta padanya?

Caca ingat, Mamanya selalu terlihat cemburu dan kesal tiap kali Vian lebih banyak menghabiskan waktu dengan Caca. Cantika juga marah setiap kali Vian memilih tidur sekamar dengan Caca, bahkan setelah keduanya bercerai pun Cantika tetap akan memarahi anaknya saat Caca diam-diam bertemu dengan Vian.

Jika saja Caca tahu yang sebenarannya, dia tidak akan sebingung sekarang ini pasti. Dan sekarang kebenaran itu bisa saja Jeffry lepaskan, sebab kini Caca ada bersamanya.

"Makasih Pak udah mau antar saya pulang."

Dengan begini terlihat jelas jika Caca tidak mengindahkan peringatan Juan untuk menjauhi Jeffry. Gadis itu sudah berusaha menolak, namun terlalu terhimpit keadaan sebab Juan sudah sangat terlambat menjemputnya.

Pokoknya Caca marah dengan Juan.

"Iya, tapi kita mampir rumah sakit dulu nggak apa-apa kan?" Jeffry, pria yang tengah mengemudi itu sungguh sangat menikmati secarik momen bersama Caca kali ini. Jika bisa ia ingin berterima kasih kepada Juan karena terlambat menjemput Caca.

Kesempatannya untuk membuktikan jika Caca merupakan darah dagingnya juga semakin besar. Apalagi saat Caca mengatakan dirinya tidak keberatan untuk ikut.

"Tapi jangan lama-lama ya Pak, saya takut di cariin," tutur Caca, terlihat dia memasukkan ponsel yang sudah mati itu kedalam tas. Alasan utama mengapa ia tidak bisa menghubungi Juan ataupun sopir dirumahnya.

Jeffry melirik Caca dari kaca spion, meskipun putrinya menolak duduk di depan, tak mengurangi sedikitpun pun kebahagiaan Jeffry. Ingin rasanya dia memeluk Caca dan mengatakan jika, Ini Papa Caca, Papa kandung kamu.

Hanya saja, apa mungkin bisa Caca mempercayai pernyataannya tanpa ada bukti? Sedangkan Caca sudah menyampaikan pendapat jika ia tidak akan menerima Jeffry sebab dirinya sudah terlalu jahat.

"Caca, kamu lapar? Plastik disebelah kamu itu ada rotinya, makan aja," suruh Jeffry, melihat Caca yang tengah memegangi perut seperti itu membuatnya berpikir jika Caca tengah menahan lapar.

Waktu juga sudah semakin sore, lapar di jam-jam seperti ini juga hal yang lumrah bagi sebagian orang. Termasuk juga Caca.

"Boleh?" Caca memastikan setelah mendapati jika disebelahnya memang ada satu kantong plastik putih supermarket yang Jeffry maksud.

"Boleh, Nak, ambil aja."

'Nak? Kayaknya Pak Jeffry bener-bener kangen sama anaknya' batin Caca setelah menangkap satu ulas senyum tipis sendu milik Jeffry.

Suasana berubah menjadi hening, hanya ada suara deru mesin mobil bersama sahutan klakson dari pengendara lain di atas jalanan yang lumayan padat siang menjelang sore ini.

Caca juga tengah sibuk mengobrak abrik isi kantong plastik yang Jeffry maksudkan tadi, isinya tak lebih dari beberapa buah apel segar, telur, sekitar tiga kaleng minuman soda dan satu buah roti yang langsung Caca masukkan kembali kedalam plastik.

Perfect uncle ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang