16. feeling

250 84 2
                                    

"Saya maunya sekarang." Merupakan pernyataan Juan yang tidak bisa lagi Caca elakkan.

Matanya yang membelalak begitu kontras dengan sensasi lembut hangat yang singgah pada sebelah pipinya.

Lembut sekali, rasanya Juan ingin mengigit pipi Caca yang mulai gembil berisi, tindakannya bahkan tak membawakan perlawanan sedikitpun. Caca nampak kehilangan kesadaran sekejap, lantas kemudian berkedip samar menatap wajah Juan yang tengah mengukir senyum kemenangan.

"Manis sekali," ungkap Juan membuatnya tak kuasa untuk mencubit gemas pipi Caca yang bersiap menampilkan semu rona.

"OM JUAN MESUM." Pada puncaknya teriakan Caca hadir, lengkap dengan tindakannya mengusap-usap pipi seakan baru saja mendapat noda.

"Tapi kamu suka, kan?"

Jujur, jika saja di dekat Caca ada sebilah pedang samurai atau sejenisnya, pasti akan langsung ia hunuskan pada Juan.

"Nggak, Caca jijik!" Caca menutup dada sebelah kirinya, dia takut getaran didalam sana tembus sampai keluar raga.

"Ngapain kaya gitu?"

"E-enggak."

Aduh Caca jadi gugup begini, dia takut tiap kali dadanya berdegup kencang sekarang, dia takut dengan perasaannya terhadap Juan, bagaimana jika yang dikatakan Dara benar?

"Jangan terlalu khawatir sama detak jantung kamu, yang terjadi itu normal. Kamu mungkin masih perlu waktu buat paham." Bukannya terlalu percaya diri, Juan hanya sekedar berharap semoga disini dia tidak sendiri dalam urusan merasakan. Entah benar atau salah, kedepannya Juan ingin agar dia bisa bersama terus dengan Caca.

"Om kenapa suka sama Caca?"

"Gimana kalo saya balik nanya, kenapa kamu suka sama uang?" Sebelah alis Juan terangkat menanti jawaban Caca.

"Karena uang itu menarik,Caca bisa beli apa aja sama uang, karena di dunia ini nggak ada yang gratis." Caca bisa menjawabnya tanpa pikir panjang.

Terlihat Juan memberikan senyum tipis. "Ini dia, kalau kamu tanya kenapa saya suka sama kamu? Itu karena udah jelas ada sesuatu dalam diri kamu yang menarik buat saya."

"Contohnya?"

"Nanti kalo saya kasih bakal panjang, intinya bakal tetep sama, saya suka sama kamu, Caca Vanilia."

Semakin gencar Juan berkata dengan gurat penuh keyakinan, semakin besar pula rasa takut bercampur khawatir yang membeludak memenuhi ruang sempit dalam dada Caca.

Dia hanya mampu menyimpulkan satu hal. "Apa Om sadar kalau perasaan Om sama Caca itu udah salah?"

Perubahan raut wajah Juan begitu ketara setelahnya, dia nampak tak berfikir sejauh Caca. Pria itu lantas bisa melihat bagaimana kini mata gemerlap Caca terlihat memerah. Tidak tahu pasti apa yang gadis cantik itu rasakan.

"Om Juan cuma mainin Mama, kan?"

"Enggak, saya anggap Mama kamu itu sudah seperti Kakak saya sendiri. Dia sangat dewasa buat laki-laki seumuran saya.  Tapi belakangan saya jadi nggak yakin kalau saya bisa mengimbangi Mama kamu." 

"Tetep aja, Om Juan harus bertanggung jawab karena udah masuk ke kehidupan Mama. Om harus nikahin Mama Caca!" ungkap Caca menggebu-gebu.

Juan memundurkan langkah beberapa inci dari Caca, gadis itu kini sudah beralih berdiri di depannya.

"Gimana saya mau nikahin Mama kamu kalo hubungan kami sekarang nggak baik-baik aja? Saya nggak mau nyalahin Mama kamu, tapi jujur saya udah kecewa saya dia."

Perfect uncle ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang