14. DNA

238 79 3
                                    

Akhir pekan ternyata berlalu begitu cepat. Seperti hari-hari sebelumnya, sekolah kembali di mulai dan mengharuskan Caca untuk bangun pagi.

Rasanya dia kembali bimbang ketika mendapati kulit wajahnya yang belum seperti semula, Caca memoles bedak lebih tebal dari biasanya hari ini. Selain itu, Caca juga malas jika nanti harus bertemu dengan Jeffry di sekolah.

Pagi Caca semakin terasah lebih berat setelah bertemu dengan Mamanya yang berlagak ganjil tak seperti biasa.

Meja makan terlihat kosong, padahal Cantika tak pernah absen memasak sarapan saat berada di rumah. Sosok Ibu itu juga tidak seperti yang Caca kenal, beberapa kali Caca merasa diabaikan.

"Mama!" tegur Caca dengan suara keras, dia baru saja bertanya kenapa Mamanya tidak memasak, namun tak kunjung mendapat jawaban.

Cantika hanya melirik anaknya itu, seakan layar laptop didepannya lebih penting.

"Mama sibuk, kamu nggak liat?" ujar Cantika sambil menunjuk berkas-berkas di mejanya.

"Terus Caca makan sama apa?" Caca membalikkan pertanyaannya dengan nada yang tak kalah datar dari Mamanya.

"Ya terserah kamu mau makan apa," jawaban Cantika terdengar mengacuhkan. Caca padahal tidak tahu dosanya disini apa sampai Mamanya seperti ini.

"Mama kenapa sih? Caca ada salah? Yaudah Caca minta maaf." Caca yang tak biasa mendapat perlakuan begini dari Mamanya tentu saja bingung sendiri.

Seakan Cantika kini kalah dengan egonya sendiri, terlebih pertengkaran dengan Juan juga begitu banyak menyita emosi Cantika dan semua itu membuat Caca terkena abunya tanpa tahu apa-apa.

"Maaaaaa." Kini Caca mulai merengek kecil sambil menghentakkan kaki pada lantai seperti biasa.

"Mama sibuk! Kamu itu udah gede, coba bikin makanan sendiri kan bisa!"

Mendapat gertakan sekeras itu berhasil membuat Caca diam sambil meremat roknya kasar. Dia paling tidak suka dengan sosok Mama yang seperti ini.

Tak lama suara derap langkah datang, suara Cantika memantik perhatian Juan yang kini juga sudah siap dengan setelan kemeja putih seperti biasanya.

"Kalau marah sama aku aja, jangan anak dijadiin pelampiasan," teguran untuk Cantika lah yang pertama kali Juan utarakan.

Tak mendapatkan sambutan khusus, justru Cantika segera mengemasi barang-barangnya kedalam tas dan mulai beranjak pergi dari rumah dengan pakaian yang juga tak kalah rapi.

"Mama mau kemana?!" teriak Caca sedikit memperlambat langkah Cantika.

"Kantor."

Caca kembali membuang napas setelah jawaban singkat itu membawa Mamanya tenggelam dibalik pintu kayu. Tak lama juga suara mobil menderu menjauhi pekarangan rumah. Bahkan sebelumnya Cantika tak pernah meninggalkan rumah jika Caca belum berangkat sekolah.

"Mama kenapa sih, Ma?" guman Caca sedih, seolah sosok Mama masih berada dihadapannya.

Juan pun demikian, merasa sedih melihat Caca yang seperti ini pagi-pagi. Gadis itu bahkan tak lebih hanya sekedar meminta bekal dan juga sarapan dari Ibunya. Juan tak sangka jika pertengkaran antara dia dan Cantika bisa membuat Caca terkena getahnya.

"Mama kamu cuma lagi sibuk, mungkin pikirannya lagi kacau. Nggak usah khawatir," ucap Juan seakan membantu melerai isi kepala Caca yang tengah berkelana.

"Tapi biasanya nggak gitu-gitu banget. Mama kayanya udah nggak sayang Caca lagi," duga Caca, agaknya dia terlalu terbawa perasaan akan tingkah Cantika barusan.

Perfect uncle ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang