Saat fajar menyingsing dari ufuk timur dengan siratan gemerlap sinar keemasannya datang menyorot masuk menembus helaian tipis bulu mata Caca, maka hari yang begitu menjadi beban pikirannya pun tiba.
Ada bimbang tergambar terang dalam sorot pandang Caca ketika membaca ulang isi undangan yang sejak saat itu Caca simpan. Sampai hari ini Caca tak bisa memikirkan hendak ia berikan kepada siapa kertas ini.
Gadis itu sudah siap dengan setelan baju olahraganya. Sesuai peraturan, hari ini akan penuh dengan acara outbound yang pastinya akan banyak menguras keringat. Pihak panitia katanya sudah menyiapkan beberapa permainan khusus untuk meramaikan acara ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, bukannya buru-buru untuk berangkat, Caca malah tengah berpikir jika ia tidak akan masuk sekolah saja hari ini.
Gadis itu bahkan sudah melepaskan ransel yang semula bertengger pada bahunya. Hanya saja baru sekejap, benda itu terpaksa Caca pasang lagi karena panggilan Mamanya.
"Caca dijemput sama Dara, buruan keluar."
Sejak kapan Caca bisa menolak perintah Mamanya? Gadis itu mengangguk meski tidak ada yang melihat. Caca hanya menyemangati dirinya sendiri.
Tidak apa-apa, lagipula Satria bilang dia bisa datang sendirian.
Saat keluar kamar Caca langsung disambut oleh Mamanya yang berdiri dengan tas kecil yang sudah Caca pastikan berisi bekal makanan untuknya---juga jangan lupakan sosok Juan yang selalu mengikuti Mamanya hampir setiap saat.
"Kamu tadi nggak sarapan, Mama bawain lebih banyak makanannya, harus habis."
Caca mengangguk sambil menerima tas itu dari tangan Mamanya.
"Jangan jajan sembarangan juga, apalagi yang ada kacang-kacangannya, khawatir sama alergi kamu. Kalau mau beli makanan lihat dulu komposisi di kemasannya." Kali ini Juan juga tak ketinggalan memberikan petuah.
Astaga, Caca merasa seperti kembali ke masa taman kanak-kanak saja jika begini. Sudah begitu Mamanya terlihat puas dan tersenyum akan tindakan Juan yang menurut Caca biasa saja itu.
"Caca berangkat." Gadis itu mengambil satu kecupan singkat pada pipi Mamanya--sebuah kebiasaan kecil.
"Apa lihat-lihat?!" Dan jangan lupakan kalimat garang Caca untuk Juan pagi ini.
Padahal pria itu hanya menatap sesi kecup antara ibu dan anak.
Tetap saja, itu menganggu Caca. Sudah Caca bilang kan, Juan itu aneh. Tatapan dan senyumnya itu akan selalu aneh di mata Caca.
"Huss ... nggak boleh," peringat Cantika. "Ayo Mama anter ke depan, kasihan itu Dara capek nunggu."
"Om Juan nggak boleh ikut!" Giliran Caca memperingati Juan. Jangan sampai Dara melihat ada sosok pria yang ikut tinggal dirumahnya. Apalagi sosok itu adalah Juan yang selama beberapa hari terakhir begitu banyak menarik perhatian Dara setelah acara penyuluhan di sekolah waktu itu.
"Saya mau siap-siap ke rumah sakit," balas Juan. Dia juga tidak sedang berpikir ingin ikut mengantar Caca ke teras. Karena yang sebenarnya Juan mau itu mengantarkan Caca sampai sekolah. Tapi, sudahlah.
Berangkat bersama Dara pun sebenarnya Caca sedikit tidak enak hati, karena ternyata sahabatnya itu berangkat bersama Ayahnya.
Bahkan saat di dalam mobil pun Caca tidak banyak terlibat bincang seperti saat bersama Dara disekolah seperti biasa. Caca hanya terlalu terhanyut dalam kehangatan Ayah dan putrinya itu, karena tak bisa dipungkiri jika Caca kembali rindu dengan Papanya.
Di sisi lain, setelah memastikan Caca berangkat sekolah, Cantika kembali di sibukkan oleh pekerjaan rumahnya. Dia belum sempat mencari asisten rumah tangga lagi setelah yang terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect uncle ✓
Fiksi PenggemarCOMPLETED.Isinya cuma kemanja dan kekanak-kanakan Caca yang bisa saja bikin kamu muak. Atau justru gemes sampai pengin cekik mati. Setelah ditinggal meninggal, memiliki seorang Ayah tiri bukanlah keinginan Caca sama sekali. Terlebih pria pilihan san...