4: Stop it

275 106 0
                                    

Juan menyogok satpam sekolah dengan segepok uang.

Caca sempat tak habis pikir, tapi sudahlah, yang penting dia bisa masuk ke sekolah dan tidak di hukum. Lagipun ini memang salah Juan, jadi dia memang yang harus bertanggung jawab, begitu pikir Caca.

Caca segera berlari menuju kelasnya, semoga dia tidak kedahuluan oleh guru mata pelajaran hari ini. Gadis itu berlari sambil membawa paper bag di tangannya, ini atas perintah Juan. Pria itu bilang ini bekal untuk Caca.

Sampai dikelas, Caca bernafas lega, belum ada guru disini. "Sumpah gue lari kaya di kejar kuntilanak!" Caca mendudukkan dirinya di bangku dengan nafas terengah-engah.

"Baru juga mau gue bikinin surat." ucap Dara didepannya, gadis itu akhirnya meremat kertas yang baru saja dia sobek dan coret dengan pulpen. Dia pikir Caca bolos sekolah seperti beberapa hari yang lalu.

"Kenapa baru dateng?"

"Gara-gara Om Juan!" jawab Caca, masih jelas raut kekesalannya.

Sedangkan Dara sudah berkerut dahi bingung. "Om Juan? Siapa?" tanyanya. Setahu Dara satu-satunya orang yang sering Caca sebut Om itu namanya Nana, kalau Juan, ini baru pertama kali Dara dengar.

Caca mengigit bibirnya, bingung ingin mulai cerita dari mana. Dia pernah bilang jika tidak akan mau punya Papa baru dan bersumpah untuk itu. Kalau dia bercerita dengan Dara sekarang, pasti gadis itu akan mengejeknya dan bilang jika ini 'karma'.

Lagipun setelah dipikir-pikir,Juan tidak sepenting itu untuk diceritakan, memang dia siapa? Hanya orang asing yang baru datang semalam.

"Ca, bukannya Om lo itu cuma Om Nana?"

Caca menggaruk kepalanya sebentar dan mengangguk. "Iya Om Nana, k-kan dia namanya Juana, ya nggak salah dong gue panggil Juan?" Beruntung nama kedua Om-om itu nyambung satu sama lain.

Meski awalnya ragu, Dara mengangguk percaya. Caca bukan orang yang suka berbohong menurutnya.

Kemudian Dara tampak mengambil sesuatu dari bawah bangkunya,"Oh ya, ini buat lo. Tadi sebelum lo masuk dibagiin ginian."

Caca menerima kertas tersebut,sebuah undangan untuk wali murid-lebih tepatnya Ayah. Caca memandang benda itu seolah tidak ada gunanya. "Gue harus kasih ini ke kuburan Papa gitu? Gilak banget OSIS-nya."

Karena undangan tersebut masih ada kaitannya dengan perayaan hari Ayah. Caca pikir masalah ini sudah selesai, tapi mereka malah membuatnya rumit dengan mencetak undangan.

"Gue juga nggak habis pikir, Ca. Ternyata mereka masih nggak ngerti. Lo simpan deh, kali aja Om Nana mau dateng buat lo."

Mengingat ucapan Mamanya tentang sosok pria yang baru Dara sebutkan, Caca sudah tidak yakin apakah Om Nana mau menemani Caca. Mereka sudah lama tidak berkomunikasi setelah di ingat-ingat.

"Hari ini olahraga digabung sama kelas sebelah di jam pertama, buruan ganti." Begitu titah Raka selaku ketua kelas. Ini seperti kabar menggembirakan untuk sebagian besar siswi dikelas Caca.

"Olahraga bareng Mas Ketos nih, ayo guys gass!"

Kecuali Caca yang semakin malas dan tidak suka dengan olahraga karena fakta itu. Dia masih begitu kesal dengan Satria si Ketua OSIS tersebut.

"Bolos boleh nggak sih?" guman Caca malas-malasan mengeluarkan seragam Olahraganya dari dalam tas.

"Ya kalau timbang mau bolos sih harusnya lo nggak usah sekolah. Rugi lo lari-larian kesini kalau ujung-ujungnya mau bolos." omel Dara sambil menarik tangan Caca keluar menuju ruang ganti.

Caca termasuk gadis yang malas dengan sejenis olah fisik, dia lebih suka berpikir.

Materi Olahraga kali ini adalah senam lantai. Caca makin tidak suka, dia merasa tubuhnya kaku dan sulit ditekuk. Bahkan untuk guling depan saja Caca tidak bisa, padahal badannya tergolong kecil, dia'kan jarang makan.

Perfect uncle ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang