18. Be better or not

226 79 4
                                    

Semilir angin malam yang masuk lewat celah-celah ventilasi kamar membawa suasana sejuk dingin yang begitu mendominasi isi ruangan dengan cahaya lampu yang mulai temaram ini.

Dibalik selimut tebal dengan tumpukan bantalnya, Caca masih berdiam dan bertarung melawan isi pikirannya yang baru saja diterjang gelombang badai hebat.

Memang, terkadang menerima sebuah kenyataan bisa sesulit dan sepahit ini rasanya.
Orang-orang bisa sangat hebat karena mampu menyembunyikan sebuah fakta mencengangkan dalam waktu yang sangat lama.

Caca tidak bisa bayangkan selama ini dia terlihat sebodoh apa. Dia begitu menikmati permainan yang disandingkan sampai tak sadar kalau dirinya lah yang sedang dipermainkan.

Caca sedih, Caca juga bingung. Dia ingin marah pada semua orang, terkhusus lagi Mamanya.

Tapi apa Caca bisa? Sedangkan selama ini wanita itulah yang banyak berkorban untuk Caca.

Lalu, Caca juga berpikir akankah dia juga harus marah pada Jeffry? Sekarang semua gelagat ganjil guru itu padanya sudah dapat Caca jawab dan ketahui alasnya.

Jeffry sedang berusaha mengambil perhatian Caca lagi setelah tindakan bejatnya pada sang Mama.

Memikirkan semua itu membuat kepala Caca mau pecah.

Caca butuh sandaran di saat yang seperti ini, tapi Juan--orang yang paling Caca harapkan malah terlihat ikut marah dan mengabaikan Caca sejak siang tadi.

"Gue benci sama Om Juan, pokoknya gue mau minta putus!" Suara Caca bermonolog dari balik selimut.

Tak lama kemudian Caca merasakan kasurnya bergerak, memantul begitu lembut dibarengi dengan dekapan hangat yang ikut membalut tubuhnya.

"Baru juga sayang-sayangan masa mau putus."

Sial, ternyata Juan baru saja menyelinap masuk kedalam kamar Caca. Ujung bantal Caca teremat kasar, dia sedang marah dengan Juan, tidak boleh cepat-cepat luluh!

Cukup lama Juan merasa didiamkan, Caca bahkan tak berkutik saat Juan menciumi rambut serta telinganya.

Baiklah, sepertinya memang Caca butuh di bujuk.

"Caca, kamu tidur?"

Meski belum, Caca hanya diam saja. Kakinya sejak tadi sudah meronta-ronta ingin menendang Juan karena sikap kurang ajar si pria yang selalu saja mengambil kesempatan.

"Love?" Juan segera menarik pundak Caca, membuat gadis itu berganti posisi menghadap Juan.

Langsung saja satu pukulan keras mendarat pada pipi Juan dari tangan kecil Caca.

"Jahat!" celetuk Caca, kesal sekali melihat wajah Juan."Caca nggak suka sama Om Juan," imbuh Caca lagi belum puas.

Juan kembali merengkuh tubuh Caca lebih erat, mengaitkan kakinya pada tubuh Caca untuk mengunci pergerakan gadis itu.

"Saya juga cinta banget sama kamu," balas Juan justru membuat Caca makin kesal, dia juga kehilangan akses gerak.

"Caca bilang nggak suka!"

"Iya sayang, cinta banget sama kamu." Lagi-lagi balasan Juan tidak nyambung.

Langsung saja Caca menangis, barulah Juan panik setengah mati.
Tolong, ini sudah malam dan Cantika juga berada di rumah, apa jadinya nasib Juan kalau sampai ketahuan?

"Shutt ... maaf ya, maaf," sesal Juan, dia mengelus-elus punggung Caca lembut."Saya bercanda, kalo nangis nanti Mama kamu denger terus gerebek kita gimana?"

Dalam isakannya Caca menjawab,"N-nikah lah, Caca mau nikah!"

Astaga, Juan terkejut bukan main. "Kamu kalo ngambek mintanya ajaib ya? Besok kita nikah, tapi kamu jangan nangis"

Perfect uncle ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang