Dulu saat masih berada di taman kanak-kanak, pernah Caca ditanyai soal cita-cita, dan gadis itu menjawab jika ingin menjadi seorang tentara, cukup membuat terkejut guru dan teman-temannya.
Caca ingin menjadi seorang wanita yang kuat dan pemberani suatu hari nanti. Keinginan itu nyatanya tak bertahan lama, semua berubah saat kedua orangtuanya bercerai, Caca menjadi kerap menangis karena selalu dijadikan sasaran luapan emosi dan rebutan orangtuanya.
Dari situ Caca sadar, jika dia tidak cukup kuat untuk meraih apa yang ia cita-citakan. Dan setelah itu cita-cita Caca hanya sederhana, yaitu ingin hidup tenang dan bahagia bersama orang yang dia cinta.
Tapi ternyata hal sesederhana itu juga tidak bisa dia dapatkan. Kehadiran Juan Caca jadikan pemicu utama, ketenangannya seakan lenyap. Dan baru saja Caca mengganti Cita-citanya lagi, Caca ingin menjadi orang yang mengikuti alur cerita dari sang penulis saja. Caca sudah terlalu pasrah menghadapi kehidupan, dia akan menerima apa yang sudah digariskan untuk dirinya.
"Apa susahnya balas pesan saya? Kasih tahu kamu dimana, dan saya bakal jemput kamu kesana."
Juan itu memang sudah cocok jika disandingkan dengan Mama Caca, sama-sama tukang protes dan suka mengomel.
"Caca nggak punya kuota." kata Caca memberi alasan semasuk akal mungkin.
"Besok saya beliin kamu kuota yang nggak bisa habis."
"Mana ada kaya gituan!"
"Ada, saya bakal rutin ngisi kuota kamu tiap bulan. Yang penting kamu selalu balas pesan dan panggilan saya." kata Juan membuat Caca menggulirkan bola matanya seolah menganggap perkataan Juan itu lelucon.
"Om bukan orang penting." Dan Caca melanjutkan langkahnya setelah mengatakan itu. Juan itu terlalu berlebihan untuk posisi orang yang baru saling kenal, Caca tidak nyaman dengan hal ini.
"Kamu jadi tanggung jawab saya sekarang. Mama kamu nitipin kamu sama saya!" Baiklah, jangan lupakan bagian terpenting disini. Posisi Caca benar-benar seperti seorang anak kecil yang sedang dimarahi oleh Ayahnya, gadis itu pada akhirnya hanya menunduk. Tidak sangka Juan bisa setegas ini.
"Sekarang kejahatan itu ada dimana-mana, nggak pandang bulu. Apalagi kamu cewek, kamu juga nggak bisa bela diri, minimal jangan buat orang khawatir. Kalo mau main, pulang dulu."
"Ya buktinya Caca nggak apa-apa. Lagian siapa juga yang main, Caca cuma ketemu sama Om Nana. Jadi, Om berhenti dan nggak usah salah-salahin Caca lagi. Nggak usah sok peduli dan khawatir, kita itu orang asing, Om Juan bukan siapa-siapa nya Caca!" Sejak tadi Caca diam bukan sepenuhnya karena takut, tapi juga sedang merangkai kata-kata untuk membalas Juan.
"Lalu, saya harus jadi siapanya kamu biar bisa peduli dan khawatir sama kamu?" Pertanyaan Juan yang kembali membuat Caca berpikir.
"Caca nggak butuh Om Juan, nggak perlu jadi siapapun di hidup Caca."
Jawaban yang lumayan membuat Juan mendidih, bibir gadis itu lihai juga ternyata. Sebisa mungkin Juan tidak akan kalah, tidak mau. Dia harus bisa mendapatkan hati Caca, apapun caranya.
Jadilah sekarang ini Juan menatap dalam netra Caca, beberapa helai rambut yang gadis itu ikat sudah mulai berguguran menutup sebagian wajahnya, lalu barangkali Caca sadar dan baru saja Caca menyugar rambutnya itu kebelakang.
Pandangan Juan turun pada leher putih Caca yang terlihat mengkilap, gadis itu cukup berkeringat hanya karena sedikit berbincang bersamanya.
Juan mengambil satu langkah pendek membuat jaraknya lebih dekat dengan Caca.
"Saya butuh kamu, Ca." ucap Juan seduktif sambil mengusap leher Caca menggunakan tangan kosong nya. Refleks Caca mendongak karena terkejut, lalu Juan tersenyum sekilas, Caca ternyata sangat sensitif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect uncle ✓
FanfictionCOMPLETED.Isinya cuma kemanja dan kekanak-kanakan Caca yang bisa saja bikin kamu muak. Atau justru gemes sampai pengin cekik mati. Setelah ditinggal meninggal, memiliki seorang Ayah tiri bukanlah keinginan Caca sama sekali. Terlebih pria pilihan san...