17. Fact

248 84 8
                                    

Di lain sudut kota, dalam kediaman yang begitu hangat, Nana memutuskan untuk pergi ke suatu tempat hari ini.

Sebuah tempat yang sekarang sangat jarang ia kunjungi, yaitu rumah keponakannya. Setelah Vian--kakaknya meninggal, Nana memutuskan untuk menjaga jarak dengan mantan keluarga kakaknya---terutama Caca.

Entahlah, semenjak Caca beranjak kian dewasa Nana menyadari ada hal tak wajar antara Vian dan juga anak sambungnya itu. Kadang fakta tersebut membuat Nana merasa muak, dia selalu menjudge Caca sebagai gadis kecil perayu yang bersembunyi dalam lagak lugu.

"Abang tahu ini salah, tapi fakta kalo Caca bukan anak kandung Abang justru bikin Abang nggak bisa nahan diri. Apalagi Caca udah makin besar sekarang."

"Abang udah disuruh gugat cerai sama Mbak Cantika, itu artinya Abang udah kelewatan! Caca itu cuma anak kecil yang belum tahu apa-apa, Bang!"

"Abang sayang sama dia, Na."

Pengakuan Vian tak kalah mutlak, bahkan sampai akhir hayatnya pun dia masih menyayangi Caca sebagai seorang gadis, bukan lagi seorang anak.

Sekarang Nana pikir sudah saatnya dia memberitahu Caca yang sebenarnya terjadi. Menunggu Cantika bergerak hanya akan membuang banyak waktu.

Tepat ketika sampai di tempat tujuan, kedatangan Nana langsung disambut oleh Cantika yang tengah berdiri menyiram tanaman dihalaman rumah.

Melihat pawakan yang tidak asing tiba-tiba datang bertandang, kening Cantika berkerut samar memastikan. Kedatangan Nana tak pernah Cantika duga sebelumnya, dia pikir pria yang berpangkat sebagai seorang pengacara sekaligus mantan iparnya itu benar-benar memutuskan hubungan dengannya.

"Sore, Mbak Cantika," sapa Nana, tak banyak melihat perubahan dalam diri Cantika sejak beberapa bulan terakhir.

"Nana? Tumben," sambut Cantika, lantas memberi kode agar Nana mau mengikutinya masuk kedalam rumah. Dengan senang hati pula Nana berjalan di belakangnya.

"Caca kemana Mbak?"

Baru saja Nana mendudukkan diri, seakan dia tak sabar ingin segera membuka kartu didepan Caca.

"Kenapa? Saya pikir kamu udah nggak perlu lagi peduli sama dia, Caca juga udah nggak butuh kamu sekarang," jelas Cantika sekaligus mengulti Nana. Dia hapal gerak-gerik tak sedap dari pria itu, pasti dia punya maksud tujuan lain yang terselubung.

Nana juga menjadi bagian dari rahasia yang selama ini berusaha Cantika tutupi dari Caca.

"Makanya itu saya datang ke sini, saya mau kasih tahu Caca biar dia nggak tambah ganggu saya lagi."

"Caca pernah ganggu kamu?" Bukan hal yang Cantika ketahui sebelumnya, terlebih lagi Nana mengangguk begitu mantap.

"Mbak ingat, waktu peringatan hari Ayah, Caca nemuin saya dan minta saya buat datang gantiin Bang Vian. Tapi saya tolak, dengan alasan yang bikin Caca kecewa," ungkap Nana. Terlihat kini begitu santainya dia mengangkat sebelah kaki didepan Cantika yang mulai menampakkan gurat khawatir.

"Jangan sekali-kali bilang atau kasih alasan yang aneh-aneh buat Caca!" Cantika kembali mengeluarkan peringatan keras. Heran, kenapa sekarang ini semua orang berlomba-lomba menghancurkan dinding pertahanan yang susah payah ia buat.

"Aneh-aneh? Maksudnya kaya, saya nolak permintaan Caca karena sebenarnya kita nggak ada hubungan darah dan sekalian bilang kalo Abang saya itu cuma Papa sambung buat Caca demi nyelametin Mbak Cantika yang hamil di luar nikah?" Entah bagian mana yang lucu, tapi Nana tertawa disini. Mana mungkin gadis selugu Caca bisa menerima fakta menyakitkan seperti ini.

Keringat tipis mengucur di pelipis Cantika, dia menoleh menatap sekelilingnya, ketakutan jika Caca tiba-tiba datang dan mendengar semuanya.

"Tutup mulut kamu, pergi dari rumah ini kalo kamu tahu nggak ada hubungan apa-apa antara kita lagi. Kamu cuma mantan adik ipar saya, dan nggak ada hak buat berbicara apapun tentang masalah ini," kata Cantika penuh dengan penekanan.

Perfect uncle ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang