Epilog : everything is fine

317 81 14
                                    

Bumi masih berotasi, dan hari juga terus berganti--begitu seterusnya sampai kadang tanpa sadar ada banyak sekali waktu yang terbuang percuma hanya karena menunggu sesuatu yang entah kapan datangnya.

Kalau begitu kita menceritakan tentang Caca disini. Dimana hari-harinya kebanyakan diisi dengan memandangi suntuk layar ponsel dan menunggu pesan dari sosok nan jauh di sana.
Sejujurnya Caca mulai lelah dengan hubungan jarak jauh ini, sungguh.

Dia menghabiskan berbulan-bulan tanpa terasa, dan sekarang Caca sudah lulus SMA saja. Belum lama sebenarnya, mungkin satu Minggu yang lalu. Sekarang Caca sedang dipusingkan dengan kuliah, masih bingung ingin kuliah atau tidak.

Kalau Mamanya tentu berharap agar Caca mau meneruskan pendidikan dan menjadi wanita karir seperti dirinya. Tapi semua keputusan kembali lagi pada Caca, dari pada kuliah Caca lebih suka memilih melarikan diri ke Dubai dan mencari Juan.

Tidak, pria itu tidak hilang kok. Komunikasi keduanya tergolong baik sejak awal, meski sesekali memiliki gangguan akibat perbedaan waktu antara Indonesia-Dubai.
Meski demikian Caca merasa tidak lengkap dan puas jika hanya mendengar dan melihat Juan dari layar ponsel saja.

Caca rindu.

"Caca, makan malam"

Gadis yang tengah termenung di atas kasur itupun menoleh kearah sumber suara, sudah ada Jeffry dengan pakaian rumahannya tengah berdiri didepan pintu kamar yang memang sejak tadi terbuka itu.

Ah iya, kabar baik. Cantika dan Jeffry berhasil memperbaiki hubungan mereka dan menikah seminggu yang lalu--bersamaan dengan hari kelulusan Caca. Mau tak mau Caca juga otomatis harus menerima Jeffry yang kini sepenuhnya mengambil peran sebagai Ayah dan kepala keluarga untuk Caca. Melupakan sejenak dosa-dosa pria itu dimasa lalu.

"Ayah duluan aja sama Mama, nanti Caca nyusul" Caca tersenyum sekilas setelah berkata, masih terbesit rasa canggung dan kurang nyaman bersama Jeffry, tapi Caca masih cukup bisa mengendalikannya.

Pun Jeffry juga tak lelah mengambil kesempatan untuk mendekati putrinya.

"Boleh Ayah masuk?"

Meski awalnya terkejut, Caca mengangguk. Lagipula Jeffry ini Ayah kandungnya, tidak seperti Vian dan juga Juan. Caca tidak begitu khawatir saat Jeffry ikut duduk di atas kasur tepat disebelahnya.

"Caca kenapa? Juannya nggak bisa dihubungi?" Tanya Jeffry melihat Caca tengah menggenggam ponsel.

Sontak gadis itu tersenyum kaku, merasa malu seperti dipergoki jika dia sedang galau.

"E-enggak kok, Caca cuma lagi mikir aja" alibinya.

"Mikirin Juan?" Terka Jeffry sambil tertawa, lucu saja melihat Caca yang tiap saat seperti seorang putri yang tengah menunggu pangerannya.

"Ayah! Nggak lucu" kesal Caca, dia ini butuh hiburan bukan sebaliknya. Tapi tebakan Jeffry tidak begitu salah juga sih.

"Iya maaf" Jeffry mengusap kepala Caca sebentar. Senang rasanya bisa dipanggil Ayah oleh anak yang selama ini ia cari-cari.

Apalagi sebutan Ayah itu khusus sekali Caca sematkan untuk Jeffry. Dia tidak mau memanggil Jeffry dengan sebutan 'Papa', karena bagi Caca Papanya itu hanya Papa Vian.

Tidak peduli bagaimana posisinya, Vian tetaplah laki-laki pertama yang menjadi cinta pertama untuk Caca.

"Caca, makasih ya udah mau kasih Ayah kesempatan. Mungkin Ayah nggak bisa sebaik Vian atau semenyenangkan Juan, Ayah cuma bisa bersyukur akhirnya bisa nikmatin waktu tua sama satu-satunya anak Ayah"

Seketika raut kesal tadi hilang dari wajah Caca, dia tertegun mendengar ucapan Jeffry. Berpikir jika semisal ia kukuh dengan egonya, mungkin Caca akan menjadi anak durhaka.

Perfect uncle ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang