Part. 12 - 23

2 0 0
                                    

Estelle POV.

Hari ini sekolah bebas, karena sekolah bakal mengadakan pertandingan basket. Baguslah, kebetulan hari ini suasana hati aku lagi enggak terlalu baik, jadi bakal sulit buat aku bisa fokus belajar. Ditambah, kejadian tadi... Aku malas buat bahas itu lagi, karena kejadian kayak tadi sudah terjadi untuk ke sekian kalinya.

Mau enggak mau aku harus kembali ke kelas. Aku mau ambil Hansaplast dan obat merah di tas. Karena ternyata setelah aku lihat lagi, lutut kiri dan telapak tangan kiri aku ada sedikit luka.

Betapa kejadian tadi cukup sering terjadi, sampai-sampai aku bawa plester penutup luka dan obat merah di tas.

Rencananya aku bakal bawa obat dan pergi ke toilet buat obati luka aku di sana seperti biasa. Yaa... meskipun sebenarnya bisa aja aku obati lukanya di kelas karena enggak bakal ada yang peduli. Tapi aku merasa enggak nyaman aja dilihat sama yang lain.

Aku bawa pouch kecil yang berisi plester kain dan obat merah dari tasku. Tapi begitu aku mau pergi, Agnes tiba-tiba muncul. Lagi.

Dia menaruh, sebenarnya lebih agak melempar beberapa buku ke atas mejaku dengan kasar.

"Tuh! Kerjain tugasnya!" perintah Agnes, "Mumpung hari ini kita enggak belajar, sekalian aja lo kerjain itu sekarang. Biar cepat selesai. Ya kan?"

Aku coba berpikir cepat. Kata-kata apa yang harus aku bilang ke Agnes supaya dia berhenti.

"Kamu ingat, apa yang aku bilang tadi? Tugas kamu. Kamu sendiri yang kerjain." dengan suara yang agak gemetar, aku coba melawan Agnes agar dia berhenti bertindak sesukanya.

"Haha! Ternyata masih belum sadar juga ya nih anak." Agnes mulai tertawa, tertawa yang lebih seperti menghina.

Dia mendekat, dan berdiri tepat di depanku.

Lalu Agnes berbisik, "Lo tahu kan, kalau gue bisa aja bikin hidup lo lebih menderita dari sekarang. Bahkan, bisa lebih parah dari kejadian tahun lalu."

Mendengar ucapan Agnes itu membuat dadaku langsung terasa sesak.

"Lebih baik lo jadi anak manis dan turutin apa yang gue bilang. Dan gue pastiin, hidup lo bakal tenang-tenang aja sampai kita lulus. Ngerti?" lanjut Agnes.

Aku enggak bisa berkata apa-apa. Pandangan mataku mulai buram. Aku benar-benar berusaha keras supaya enggak menangis. Aku enggak boleh menangis di sini. Kalau aku kelihatan lemah, Agnes bakal makin menindas aku seenaknya.

"Estelle!" tiba-tiba suara seorang wanita membangunkan lamunanku.

Aku melihat ke arah pintu kelas. Ternyata yang memanggil adalah bu Tika, wali kelas kita.

"Agnes? Kenapa kamu masih di sini? Bukannya kamu harus siap-siap jadi cheerleader?" tanya bu Tika setelah melihat Agnes berdiri di sampingku.

"Oh... ini, Bu. Estelle kan beberapa hari enggak masuk sekolah, jadi aku kasih pinjam buku catatanku ke Estelle." selain pintar bersandiwara, Agnes juga pintar dalam berbicara. Karena itu aku sering kalah setiap kali harus beradu mulut sama dia.

"Bagus! Sebagai teman sekelas memang harus saling membantu." bu Tika yang enggak tahu apa-apa tentu aja bakal memuji "kebaikan" Agnes itu.

Kayaknya ini kesempatan aku.

"Makasih, Nes. Tapi aku bisa kerjain tugasnya sendiri. Ini, buku kamu aku kembaliin lagi." kataku sambil mengembalikan buku-buku Agnes ke pemiliknya.

Reaksi Agnes? Tentu aja, dia langsung kelihatan sangat marah. Dan yang bisa melihat raut wajah penuh amarahnya itu hanyalah aku, yang berdiri di hadapannya.

LonelylandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang