Part. 25 - Hari Biru Dan Awan Abu-abu

2 0 0
                                    

Black POV.

Sarapan pagi yang abu-abu di rumah si gadis kecil, Estelle. Dari yang aku perhatikan selama ini suasana rumahnya memang hampir selalu sunyi, namun akhir-akhir ini rasanya semakin hari semakin sunyi saja. Tadi pagi, saat aku menyapanya saja wajahnya terlihat murung, meski dia sudah berusaha tersenyum padaku.

Aku memperhatikan dari sudut ruangan. Sudah beberapa menit berlalu, Estelle dan kedua orang tuanya sedikit pun tidak saling bicara.

"Tentang perceraian mamah dan papah-" tiba-tiba saja Estelle bicara.

"El, bisa kita enggak bahas itu sekarang? Kamu tahu kan kalau ini bukan waktu yang tepat." ujar mamah Eselle.

"Iya, aku tahu. Tapi selain saat sarapan, kapan lagi kita bertiga bisa duduk bersama kayak sekarang ini?"

Mamah dan papah melihat Estelle lalu terdiam.

"Jadi aku boleh lanjut bicara kan?" Estelle memastikan jika kali ini dia mendapatkan izin untuk berbicara.

"Kamu boleh lanjut bicara." ucap papah. Sementara mamah Estelle hanya menghela nafas.

Mereka lanjut sarapan sembari mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Estelle.

"Mmm... kalau akhirnya mamah dan papah benar-benar bercerai. Pertama, kalau suatu hari nanti kalian tinggal terpisah aku harap kalian enggak merebutkan hak asuh aku. Setahu aku anak diatas 12 tahun bisa memilih mau tinggal dengan ayah atau ibunya. Dan aku memilih untuk tinggal sama mamah."

Papah Estelle terlihat menaruh sendok dan garpu yang dipegangnya di atas piring dengan raut wajah serius, "El, bisa kita bicarakan ini lagi lain kali? Papah bukannya enggak mau kamu tinggal sama mamah, tapi..."

"Baguslah, kamu sudah memikirkan itu." ujar mamah kepada Estelle, "Mamah dan papah kamu sudah setuju kalau setelah resmi bercerai rumah ini milik mamah, sementara papah kamu akan tinggal di apartemen yang jarang kita tempati. Mamah dan papah juga setuju enggak akan saling berebut hak asuh kamu, karena kami enggak mau membuat kamu lebih sengsara lagi. Tadinya mamah dan papah mau menanyakan tentang ini ke kamu sebelum sidang perceraian, ya... syukurlah, kalau kamu sudah bisa berpikir dewasa."

"Kamu waktu itu juga bilang akan menghormati apa pun keputusan El kan?" tanya mamah pada papah Estelle, yang sepertinya lebih kepada menekankan.

Papah Estelle menghela nafas, "Oke, kalau itu sudah keputusan kamu."

"Tenang saja, aku tidak akan membatasi kamu untuk bertemu dengan El, dan kamu bisa berkomunikasi dengan El seperti biasa. Aku juga tidak mau ada masalah lain di keluarga kita. Cuman satu hal yang aku minta, kamu harus minta izin ke aku lebih dulu kalau kamu ingin membawa El bertemu dengan orang itu."

"Oke, oke, cukup di sini dulu kita bahas tentang ini. Aku ada rapat pagi ini, jadi aku pergi lebih dulu."

Kepergian papah membuat mamah Estelle menghela nafas panjang.

Biasanya aku dapat mendengar apa yang sedang dipikirkan para jiwa, namun saat ini aku tidak mendengar apa pun dari Estelle. Terkadang aku menemukan jiwa yang tidak dapat memikirkan apa pun di saat yang tidak menyenangkan seperti ini. Mereka hanya melamun dengan pikiran kosong.

===

Estelle masih di sekolah bahkan setelah dia selesai melakukan hukuman. Dan sekarang dia menghabiskan waktunya membaca buku di perpustakaan. Saat aku tanya kenapa dia tidak pulang...

"Aku bosan di rumah." itu jawabannya.

Dari pengamatanku sepertinya Estelle sendiri pun tidak tahu ingin membaca apa. Dia hanya secara acak memilih beberapa buku dan membawanya ke meja. Estelle membuka setiap halaman dengan pikiran kosong.

Beberapa puluh menit berlalu, dan tinggal hanya ada dia di perpustakaan.

Aku pun bertanya padanya, "Apa kamu tidak pulang miauw?"

"Haah..." Estelle menghela nafas sembari menutup halaman buku yang dibacanya.

Kemudian dia mengembalikan buku-buku ke rak. Saat aku mengikutinya keluar dari perpustakaan, ternyata di luar hujan turun dengan deras. Kami berjalan melewati lapangan basket, dan di sana ada seseorang yang sedang bermain basket di tengah-tengah hujan. Dia Alan. Si nomor punggung 23. Diriku yang lain sedang mengawasinya di pinggir lapangan. Aku tidak suka basah, jadi tentu saja aku tidak akan mengikutinya berada di tengah-tengah hujan.

Aku rasa Estelle pun mengetahui kalau itu adalah Alan. Sesaat dia melihat ke arah lapangan, kemudian dia lanjut berjalan.

Estelle menghentikan langkahnya saat berada di pintu sekolah, dan dia... melamun untuk beberapa saat. Lagi-lagi pikirannya kosong, dia tidak memikirkan apa pun. Meski aku ingin bertanya, aku tidak bisa melakukannya sekarang, tidak di sini.

Dia pun berhenti melamun dan mengeluarkan payung dari tasnya.

"Estelle!"

Oh, itu Alan. Dia berlari ke sini dengan keadaan basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Apa ini gantungan kunci kamu? Tadi aku temuin ini di lantai dan aku lihat kamu pergi, jadi aku kira ini-" ucapan Alan terhenti begitu dia melihat wajah Estelle.

"Kamu... enggak apa-apa?" Alan lanjut bertanya.

Memang ada apa dengan wajah Estelle? Sejak pagi dia memang terlihat murung, tetapi aku tidak bisa melihat raut wajahnya sekarang karena tinggi aku hanya sedikit di bawah lutut kaki Estelle.

Estelle menggelengkan kepalanya lalu berkata, "Enggak apa-apa. Iya, itu punya aku. Kok bisa putus ya?" lalu dia berusaha tertawa yang terdengar sangat dipaksa.

Alan memberikan gantungan kunci itu pada Estelle, setelah Estelle memeriksa gantungannya yang putus itu dia pun memasukkannya ke dalam tas.

"Makasih." ucap Estelle.

Apa gue pergi aja ya? Tanya Alan pada dirinya sendiri.

"Kalau gitu, aku pergi duluan." ujar Alan.

"Tunggu!" Estelle menahan Alan untuk pergi, "Kamu enggak bawa payung?"

"Aku memang enggak pernah bawa payung."

"Kamu mau pergi ke arah mana? Biar aku antar." Estelle menawarkan bantuan.

Entah apa yang ada di pikiran Estelle.

Dasar Estelle! Kamu udah enggak waras ya? Kenapa juga kamu malah nahan dia buat pergi? Sumpah bikin malu banget! Oh, Estelle sedang mengutuk dirinya sendiri.

"Oh... oke. Makasih." tanpa disangka, ternyata Alan menerima tawaran Estelle.

Oke? Dia bilang "oke"? Oh... oke. Di saat Estelle sudah tidak berpikir kosong lagi, aku malah harus mendengarnya berpikir seperti ini. Haha.

Estelle membuka payungnya, dan mereka berdua pun jalan bersama di bawah payung.

"Kamu kebasahan ya? Maaf ya. Maklum, soalnya payungnya agak kecil kalau dipakai buat dua orang." ucap Estelle yang berusaha memecahkan kecanggungan antara mereka berdua.

"Enggak apa-apa. Lagian aku juga udah terlanjur basah kuyup." jelas Alan sembari tertawa dengan canggung.

Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka lagi karena mereka berdua sudah berjalan semakin jauh. Dan aku tidak bisa mengikuti mereka karena aku tidak ingin berjalan di bawah hujan.

Haahh... melihat mereka berdua seperti itu tiba-tiba aku merasa agak khawatir.

Selama aku menjadi penjaga Lonelyland dan mengawasi banyak manusia, salah satu fakta yang aku tahu tentang manusia, bahwa hubungan persahabatan antara wanita dan pria itu pada umumnya tidak akan bertahan selamanya hanya menjadi sahabat. Jika mereka berdua ini hanya manusia tidak akan menjadi masalah bagiku. Tetapi jika kedua jiwa ini sampai bertemu di Lonelyland...

===

Salam dari Black,
kepada para manusia ataupun para jiwa kesepian, silakan berikan vote atau tinggalkan jejak kalian jika kalian menyukai cerita ini🐾🐾🐈‍⬛

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LonelylandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang