Part. 4 - Hello

8 0 0
                                    

Estelle POV.

Di pemakaman grandma. Aku enggak bisa fokus sama sekali, pikiranku ke mana-mana. Kalau dipikir-pikir lagi, ada yang aneh sama apa yang dibilang Darren tadi. Tentang kepergian grandma. Dan juga... Miss Black. Sebenarnya siapa itu Miss Black? 

Tiba-tiba aku ingat sama mimpi aneh yang terjadi sebelum grandma meninggal. Tapi... itu mimpi kan? Kalau itu mimpi, kenapa kepalaku rasanya sakit ya? Sakitnya itu benar-benar kayak habis jatuh terus kebentur lantai. Sampai sekarang kepalaku juga rasanya masih agak sakit kalau aku pegang. Jadi, apa mimpi itu sebenarnya benar terjadi?

Eh, tunggu... kucing hitam...?

"Estelle, ayo." mamah memegang pundakku, mengajak pulang. Ternyata semua orang sudah mulai membubarkan diri.

Enggak terasa acara pemakaman grandma sudah selesai. Aku enggak bisa fokus berkabung dan berdoa untuk grandma, gara-gara kepikiran hal lain.

===


Akhirnya kita semua kembali ke rumah grandma. Karena tempat makamnya enggak begitu jauh, dan kondisi jalan juga enggak begitu ramai, jadi enggak begitu lama kita sudah sampai lagi di rumah grandma.

Di depan rumah, aku lihat ada seorang pria pakai setelan jas serba hitam. Setelah aku lihat lebih jelas, ternyata orang itu adalah om Ben. Anak tertua dan anak laki-laki satu-satunya dari grandma dan grandpa. Orang yang selalu jadi pemicu kemarahan mamah dan kedua saudara perempuannya setiap kali nama om Ben disebut.

Bukannya mau menjelekkan om Ben, tapi memang itu yang aku dengar. Aku enggak pernah sengaja mau menguping. Tapi sering kali, aku dengar pembicaraan yang seharusnya aku enggak perlu tahu.

Aku hampir enggak bisa mengenali wajah om Ben. Karena kita memang sangat jarang ketemu. Dalam setahun mungkin cuman sekali. Itu juga belum tentu setiap tahun kita sekeluarga bisa ketemu sama om Ben dan keluarganya. Apa lagi sama tante Widya, istrinya om Ben.

Dibanding om Ben, aku malah lebih enggak kenal tante Widya. Yang aku tahu, tante Widya itu jadi alasan terbesar kenapa om Ben selalu jadi biang kemarahan saudara-saudaranya. Singkat kata, om Ben itu STI, alias suami takut istri. Yang menurutku lebih tepatnya suami tunduk istri. Memang, enggak ada salahnya suami patuh sama istri. Tapi seharusnya cuman sama hal tertentu aja kan? Kalau terlalu patuh sampai-sampai memutus tali persaudaraan. Apa itu tindakan yang benar? Apa lagi om Ben itu anak tertua.

Tapi ya... aku juga enggak tahu pasti ada masalah apa om Ben sama keluarganya, atau om Ben sama keluarga besar kita. Mungkin, om Ben punya alasannya sendiri. Masalah orang dewasa yang masih belum bisa aku mengerti.

Hah... Kenapa juga aku jadi bahas masalah ini?

Kemunculan om Ben ini tentu aja jadi pusat perhatian semua anggota keluarga. Kelihatan jelas kalau om Ben enggak mendapat sambutan hangat dari adik-adiknya. Tante Lisa yang paling pertama masuk ke rumah, cuman lewat gitu aja tanpa melirik sedikit pun ke arah om Ben. Hanya lihat dari belakang aja, aku sudah bisa merasakan amarah tante Lisa yang sangat membara dari setiap langkah kakinya.

Sambil masih berdiri di samping pintu masuk, Om Ben menyapa satu per satu anggota keluarga. Dan akhirnya, aku berhadapan sama om Ben.

"Hai, Estelle. Sudah lama kita enggak bertemu ya?" ucapan salam yang om Ben ucapkan itu hampir sama. Hanya beda nama orang yang disapanya aja.

Sebenarnya aku lumayan kaget om Ben masih ingat namaku. Soalnya kita kan benar-benar jarang banget ketemu, dan enggak pernah saling kasih kabar. Apa lagi tahun kemarin kita sama sekali enggak ketemu.

"Iya, Om." aku hanya jawab sekedarnya. Soalnya aku enggak tahu lagi harus jawab apa, atau harus balik tanya apa.

Selesai menyapa beberapa orang setelahku, om Ben akhirnya masuk ke dalam rumah. Entah kenapa suasana rumah berubah jadi terasa canggung karena kehadiran om Ben di sini. Mungkin om Ben sendiri juga sama merasa canggungnya, karena saking sudah lamanya sejak terakhir dia datang ke sini.

Mau seberapa besar kesalahan yang om Ben lakukan. Tapi, melihat om Ben yang kelihatan lesu dan kusut itu membuat aku sedikit merasa iba. Waktu aku berhadapan sama om Ben, mukanya kelihatan pucat dan tirus. Kumis dan jenggot tipis di mukanya itu makin bikin rupanya kelihatan makin menyedihkan. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi itu, enggak bisa menutupi kesedihan yang om Ben rasakan saat ini.

Aku jadi ingat waktu grandpa meninggal. Walaupun aku masih kecil, tapi aku masih ingat soalnya waktu itu om Ben sama sekali enggak datang ke pemakaman grandpa. Bahkan sampai acara pemakaman selesai, om Ben enggak muncul. Aku juga masih ingat perkataan yang sering diucapkan orang-orang di sekitarku selama pemakaman grandpa.

"Masih belum ada kabar dari mas Ben? Sudah telepon mas Ben? Teleponnya enggak diangkat-angkat sama mas Ben. Kata pembantu di rumah, mas Ben lagi meeting. Coba hubungi mbak Widya. Apa masih belum bisa dihubungi?"  kalimat-kalimat itu yang sering aku dengar waktu itu. Karena ke mana-mana aku selalu ikut mamah, jadi aku bisa dengar pembicaraan mamah dan saudara-saudaranya.

===


Karena rasa canggung yang sangat besar ini, suasana di dalam rumah bikin aku merasa agak sesak. Akhirnya aku memilih keluar rumah buat cari udara segar.

Walaupun sinar matahari cukup bersinar terang, tapi udara di luar masih lumayan dingin.

"Oh? Lagi apa Darren di sana?" aku lihat Darren yang lagi jongkok sendirian di seberang jalan.

Dan di depannya ada... seekor kucing hitam? Yang agak aneh, kok Darren kelihatan kayak lagi bicara sama kucing itu ya? Kalau Darren cuman mengelus-elus kucing sih wajar, tapi ini... apa dia lagi berusaha mengobrol sama kucing?

"Darren!" aku memanggilnya.

Dia langsung menoleh ke arahku lalu berdiri. Mukanya kelihatan sangat terkejut. Kayak orang yang ketangkap basah. 

"Kamu lagi apa?" tanyaku sambil menghampiri Darren.

"Mmm... lagi main sama kucing."

Apa cuman perasaanku aja, atau Darren memang lagi salah tingkah? Dia juga kelihatan kayak lagi menyembunyikan sesuatu.

"Lagi main sama kucing atau bicara sama kucing?" aku hanya asal bicara dengan maksud bercanda. Tapi reaksi Darren yang sangat terkejut itu, malah bikin aku jadi bingung.

"Hahaha!! Kak El ada-ada aja! Masa aku bicara sama kucing?! Hahaha..." reaksi Darren ini kelihatan terlalu dibuat-buat. Dia kayaknya lagi berbohong dan menutupi sesuatu.

Apa Darren takut dianggap aneh karena bicara sama kucing? Well, memang aneh sih. Tapi kayaknya wajar aja kalau di seusia Darren punya daya imajinasi yang besar.

"Enggak apa-apa kok, kalau kadang kamu mau bicara sama kucing. Kak El juga kadang bicara sama kucing." ucapku.

"Oh ya?!" tanpa aku duga Darren berseru dengan semangat begitu dengar ucapanku.

Tapi setelah Darren melirik ke arah kucing itu, dia kembali diam. Semangatnya yang tiba-tiba muncul itu langsung hilang.

"Kak El, aku ke dalam dulu ya. Mau pipis." ujar Darren sambil tertunduk.

"Oh... oke."

Dengan kelihatan lesu Darren jalan ke rumah.

Kenapa tiba-tiba sikapnya langsung berubah gitu ya? Dari tiba-tiba semangat, terus langsung jadi lesu. Aneh... Mungkin karena anak-anak masih labil, jadi suasana hatinya gampang naik turun ya?

Oh iya! Kucingnya!

Tapi begitu aku lihat ke bawah, kucing itu sudah hilang. Cepat juga dia perginya, kayak menghilang tanpa jejak.

LonelylandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang