Jeno baru saja kembali dari acara menenangkan pikiran di luar saat melihat mobil yang mereka gunakan dalam perjalanan menuju kesini sudah tidak terparkir lagi di depan rumah. Jeno tidak tahu pasti kapan waktunya Mark pergi, sebab ia juga lebih memilih untuk pergi berjalan-jalan di pagi buta guna menghindari kakaknya.
Ia berlari cepat ke kamar sang kakak dan masuk perlahan lalu menggeledah seisi kamar dengan teliti namun hati-hati. Setelahnya, ia terkekeh saat mengetahui bahwa tidak ada satupun barang kepemilikan Mark yang tertinggal disini kecuali Jaemin.
Setelah puas menggeledah, Jeno menutup pelan pintu itu lalu berjalan menuju sofa televisi dan mendudukkan dirinya. Ia menghela nafas. Pemikirannya berat sebab memikirkan Mark yang sudah pergi saat ini. Tidak tahu apakah nanti bisa kembali bertemu Mark atau tidak, Jeno benar-benar tidak tahu. Tidak ada jaminan juga kalau dia akan menepati ucapannya yang hendak menjemput Jeno dan Jaemin nanti. Tapi satu hal yang pasti saat ini ia rasakan, marah dan kecewa pada kakak satu-satunya itu walaupun jauh di dalam lubuk hatinya pemuda kelahiran April itu merasa sedih. Sebenarnya kemarin ia tidak bermaksud untuk berkelahi, mengata-ngatai, dan mengusir sang kakak, tapi sayangnya rasa marah itu lebih mendominasi pikiran dan hatinya.
Mungkin untuk saat ini ia harus berhenti memikirkan semua hal tersebut dan fokus saja menghadapi situasi yang ada di depan mata, Jaemin contohnya. Jeno hanya tidak bisa membayangkan betapa kacau-nya suasana nanti saat Jaemin bangun dan mengetahui bahwa Mark telah meninggalkan mereka berdua disini demi seseorang yang baru dikenal akhir-akhir ini.
Apa yang harus ia katakan? Apa yang harus ia lakukan? Apa alasan yang harus ia lontarkan nanti? Apa Jaemin akan berlaku nekat nantinya? Dan apakah dia bisa menjaga Jaemin seperti apa yang diminta oleh kakaknya?
Namun, bibirnya menyunggingkan senyum miring saat mengingat permintaan itu. Permintaan mudah yang kelak ia akan lakukan walaupun Mark tidak meminta.
"Jagain Jaemin? Hahaha. Bahkan buat 100 tahun yang akan datang, Jaemin bakalan tetap gue jaga. Karena mulai sekarang sampai selamanya Jaemin jadi milik gue."
Perasaannya mendadak membaik atas kepergian Mark. Mungkin saat Mark kembali nanti, Jeno tidak akan menyerahkan Jaemin semudah itu. Ah, pertanyaan yang sama kembali ia pikirkan. Memangnya si tua yang akan menjadi calon ayah itu akan kembali menjemputnya disini? Walaupun begitu, Jeno terkikik saat mengingat bahwa mulai saat ini Jaemin adalah miliknya seorang. Hanya ia dan Jaemin-nya saja yang menghuni tempat ini untuk beberapa hari kedepan.
Betapa senang-nya.
─
"Jeno!"
"Jeno, bangun!"
"JENO!"
Jeno terbangun paksa saat sebuah suara disertai tamparan keras di mukanya menyapa. Ia mengaduh dan mengelus pelan pipinya dan melihat figur Jaemin galak sedang berkacak pinggang dengan muka marah di depannya. Padahal ia baru tidur sebentar. Kepalanya jadi sakit karena dibangunkan paksa seperti ini.
"Mark mana?!" tanya Jaemin dengan suara kencang, lebih ke arah berteriak padanya.
"Mark... apa?" tanya Jeno balik karena nyawanya belum terkumpul penuh. Ia pun dengan susah bangun dari tidur hanya untuk mendudukkan dirinya. Pandangannya masih berkunang-kunang parah.
"Mark mana?" Masih dengan nada yang sama, Jaemin mengulang bertanya.
Alis Jeno mengerut. Ia tidak suka saat Jaemin menyebut nama brengsek itu. Kalau dulu mungkin Jeno akan merasa biasa saja sebab berpikir bahwa kakaknya adalah orang baik. Namun kenyataan yang ada membuatnya jadi membenci pria yang lebih tua darinya itu. Andaikan Jaemin tau apa saja yang telah Mark lakukan padanya hingga saat ini, dia pasti tidak akan pernah sudi mengucap nama itu dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cottage (Nomin)
FanficBerpacaran selama setengah tahun dengan Mark, Jaemin hanya tidak menyangka bahwa Mark akan tega membuangnya ke sebuah pondok di tengah hutan bersama Jeno yang merupakan adik kandungnya. ⚠️: mengandung kata-kata kasar, adegan yang tidak diperuntukkan...