16

973 94 6
                                    

"Mau pulang."

Jeno diam sejenak, "Nanti."

"Kapan?"

"Nanti," tukas Jeno, "Gak bisa sekarang. Sayang duit-nya."

"Emang berapa, sih, duit-nya? Nanti gue gantiin, deh! Pulang sekarang aja, yuk?"

"Naik apa?"

"Jalan?" tanya Jaemin ragu.

"Jangan gila," Jeno berkomentar, "Lo lupa sejauh apa rute yang kita tempuh buat kesini? Jalan kiri-kanan sepi semua. Salahin pacar lo milih tempat bodoh begini buat liburan!"

Jaemin mengernyit saat mendengar Jeno menghardik Mark secara tidak langsung. Jaemin tidak senang mendengarnya, tapi yang dibilang Jeno memang benar. Hal itu membuatnya bersungut-sungut, entah apa yang ada di dalam pikiran Mark hingga memilih tempat seperti ini.

"Terus gimana?" tanya yang lebih muda dengan nada rendah, pasrah.

"Kita bakal pulang, tapi nanti. Gue juga bingung caranya gimana. Mau minta bantu orang juga gak bisa," keluh yang lebih tua, ikutan pasrah.

"Memang salah kita berdua ada disini. Lo sama sekali gak bisa diandalin," gerutu Jaemin kemudian berbaring memunggungi Jeno.

"Terus lo bisanya apa?"

Tidak ada jawaban yang dikeluarkan Jaemin atas pertanyaan itu. Ia lebih memilih untuk memejamkan matanya dan berpura-pura tidur. Jeno jadi gelisah sendiri di tempatnya. Jaemin sudah meminta untuk pulang dan bagaimana cara menyembunyikan semua hal yang sudah terjadi? Kemarin Jaemin baik-baik saja, ia tidak mengeluh ingin pulang atau apapun, dan mengapa sekarang ingin pulang? Masa sewa mereka belum habis tapi itu tidak penting. Yang penting adalah kendaraan yang akan mengantar mereka kembali ke tempat asal. Tidak ada siapapun yang bisa dimintai bantuan.

"Kita bakal mati disini, ya?"

"Jangan begitu ngomongnya," tegur Jeno, walaupun dalam hati ia menjerit ketakutan apabila hal itu benar-benar terjadi.

"Apa susahnya nyoba jalan, sih? Kalo cape bisa istirahat sebentar, kan?" omel Jaemin masih dengan posisi yang sama.

Jeno memejamkan matanya dan menghela nafas, "Gak semudah itu. Nanti kaki lo sakit, lo begini, lo begitu, perut sakit, ini sakit, itu sakit. Gue juga yang repot."

"Apaan, sih?" Jaemin tampak tersinggung dengan hal yang dikatakan Jeno barusan.

"Pokoknya udah, tenang aja. Nanti pasti ada cara."

"Tapi gue mau pulang sekarang, Jen," lirih Jaemin. "Gue mual makan mie terus. Gue bosen banget gak ada kegiatan, gue gak bisa ngapa-ngapain disini, gue mau pulang."

"Gue juga," balas Jeno seadanya. Asal Jaemin tahu saja, bukan hanya dia yang muak di tempat ini. Melakukan hal yang sama berulang-ulang dan tidak ada satupun hal menarik disini. Jeno juga ingin pulang ke rumah-nya dan melakukan hal lain.

"Mau pulang," rengek Jaemin. Kini, ia membawa badannya untuk berbalik menghadap Jeno.

"Ini lagi diusahain. Sabar, ya," Jeno tersenyum lebar kemudian menarik pria yang lebih muda itu pelukannya.

"Sabar mulu, males tau!"

"Tapi nanti kalo kita pulang, gue bakal sedih," ucap Jeno yang mengundang wajah tanya Jaemin.

"Kenapa? Harusnya seneng lah! Kita pulang ke rumah, loh?"

"Tau. Cuma gue kepikiran, lo bakal balik sama Mark nantinya. Lo juga bisa aja bakal lebih cuek ke gue nantinya, ah.. lo tau sendiri sesuka apa gue ama lo. Udah lama gue mendem sakit pas ngelihat lo sama Mark, terus nanti pas pulang begitu lagi. Tapi, gak apa-apa."

Cottage (Nomin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang