12

1K 84 11
                                    

Tidak.

Jeno tidak bisa meninggalkan Jaemin bahkan untuk sekedar tidur sendirian. Kacau sudah. Kalau dari awal saja Jaemin sudah nekat seperti ini, bagaimana kedepannya nanti? Sepanjang tidur Jaemin, Jeno tetap terjaga bahkan saat matanya mengerjap-ngerjap berusaha agar tidak terpejam. Ia menjaga fokusnya dengan mengelus pelan punggung Jaemin karena ia tidak mau lagi terjadi hal seperti kemarin saat ia tidur.

Jeno takut kalau suatu saat tiba-tiba ia kelolosan lagi. Kalau ini di rumah mereka, mungkin Jeno merasa biasa saja. Namun dengan keadaan hutan sepi dengan hanya satu rumah saja di sekitarnya, tentu membuat Jeno merasa sangat terbebani. Jeno takut sendirian, dan bagaimana pun juga ia harus bersama Jaemin sampai mereka pulang ke kota nanti. Masalahnya, bagaimana cara untuk pulang kesana? Mark membawa mobil itu untuk dirinya sendiri, dia juga tidak meninggalkan sepeser uang pun untuk Jeno.

Jeno ingin menangis. Semuanya tiba-tiba terasa berat. Ia hampir meneteskan air matanya andai saja ia tidak merasakan pergerakan dari tubuh yang sedang ia peluk.

"Mmm..,"

Tubuh Jeno menegang. Semoga Jaemin tidak menamparnya kalau tau bahwa saat ini ia sedang tertidur di pelukan Jeno. Pemuda Taurus itu sedikit trauma karena tamparan yang dilayangkan Jaemin tidak main-main pedasnya.

"Kak?" gumam Jaemin sambil mengelus wajah Jeno, sepertinya ia mengigau.

"I-iya?"

Jaemin tidak menjawab. Tangannya berhenti mengelus namun masih berada di wajah Jeno. Jari itu meraba-raba seluruh wajah Jeno dengan halus. Mulai dari mata, telinga, hidung, dan bibirnya, ia bahkan sesekali mengelus kepala Jeno dengan lama sambil memejamkan mata.

"Jeno, nih?"

Jeno meringis, "Iya. Jeno."

Padahal, Jeno sudah berharap-harap cemas sebab takut kalau Jaemin akan menggila. Namun diluar dugaan, Jaemin hanya bangun untuk menatap wajahnya kemudian kembali tertidur di lengan yang sudah merengkuhnya selama beberapa jam tadi.

Hening terjadi selama beberapa saat. Yang lebih tua menimbang-nimbang apakah ia harus membuka suara perihal aksi yang lebih muda lakukan beberapa jam yang lalu? Jujur, Jeno takut tapi dia akan berusaha membicarakan ini dengan Jaemin.

"Jaemin?"

Yang dipanggil mengetukkan jarinya pelan sebanyak dua kali pada pipi sang pemanggil sebagai tanda sahutan atas panggilan yang diberikan.

"Kenapa... kemarin keluar begitu?"

Tidak mendapat respon apapun, Jeno memilih untuk berdeham dan mengganti pertanyaannya, "Mau makan?"

"Makan apa?" balas Jaemin pelan.

"Apalagi? Masih ada mie, kan?"

"Yang lain gak ada?"

"Ngga."

"Yaudah, ayo," Jaemin bangkit dan membenarkan bajunya lalu berjalan menuju pintu, Jeno mengikutinya di belakang tapi Jaemin memaksa Jeno agar berjalan terlebih dahulu.

Tapi, setelah Jeno menginjakkan kaki diluar kamarnya, Jaemin langsung membanting pintu itu, meninggalkan Jeno dengan perasaan bingungnya di tempat.

"Jaemin? Gak jadi makan? Kok pintunya ditutup?" tanya Jeno sembari mengetuk pintu kamar. Jaemin yang sudah jelas-jelas ada di dalam tidak memberi sahutan apapun padanya.

Jeno pun akhirnya tidak ambil pusing dan memilih untuk masak mie saja dengan jumlah besar. Jaemin akan ia berikan nanti setelah ia sendiri makan. Jeno tidak pernah merasa selelah ini sebelumnya. Ingatkan dia agar tidak memukul dirinya sendiri menggunakan panci demi menjaga dirinya tetap membuka mata.

Cottage (Nomin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang