Jeno terbangun saat malam tiba dan seluruh keadaan rumah menjadi gelap gulita. Dalam hati, Jeno mengumpati Jaemin si pemalas yang tidak menyalakan lampu. Sebelumnya juga, ia tidak pernah tidur dalam waktu yang lama seperti ini sehingga membuat tubuhnya serasa baru dilahirkan kembali. Pikiran dan raga yang segar membuat suasana hati Jeno meningkat drastis.
"Jaemin!" panggil Jeno sambil meraba-raba saklar yang ia tidak hapal letaknya. Tidak ada sahutan dari panggilan Jeno yang pertama. Jeno maklum, mungkin dia sudah tidur karena Jeno sendiri tidak tahu pasti pukul berapa saat ini. Tapi dari gelapnya keadaan, sepertinya hari sudah malam.
Setelah berjuang mencari-cari saklar dan menyalakan lampu dalam waktu yang cukup lama, Jeno bergegas untuk mengecek seisi rumah dengan alasan keamanan. Setelah dirasa semua aman, Jeno berjalan menuju kamar Jaemin dan membuka pintunya perlahan.
Sepi, membuat Jeno langsung membuka pintu tersebut lebar-lebar dan wajahnya memucat.
"JAEMIN!"
─
Jeno keluar dengan dua senter di tangannya lengkap beserta sebuah korek api di kantong celana-nya untuk penjagaan. Jaemin menghilang dan Jeno tidak tahu sudah berapa lama. Apakah saat ia barusan tidur tadi, atau saat sore, atau baru-baru saja? Jeno tidak tahu. Tapi satu hal yang ia tahu pasti, alasan dari Jaemin yang pergi ini pasti karena Mark. Lelaki bermarga Na itu memang nekat sekali.
Mark, sialan. Bahkan saat dia telah pergi pun dia masih membuat anak orang menjadi gila seperti ini.
Dengan berharap-harap cemas, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Jeno memanjatkan doa kepada Tuhan supaya Jaemin tetap terjaga dan selamat dimana pun ia berada. Karena mau bagaimana pun juga Jaemin sudah menjadi tanggung jawabnya sekarang. Mark telah meninggalkannya dan Jaemin jangan sampai ikut-ikutan meninggalkannya. Jeno tidak memiliki siapapun di dunia ini selain mereka berdua. Sifatnya yang anti sosial, tidak mudah bergaul, serta bermulut pedas membuat orang-orang malas mendekatinya. Atau mungkin lebih tepat disebut segan karena ditambah putra bungsu dari keluarga Jung itu sangatlah pintar.
Jeno terkekeh disela-sela jalannya yang terburu-buru. Pastinya Jaemin tidak tahu fakta baru tentangnya. Yang Jaemin tahu hanyalah Jeno yang cupu, bodoh, aneh, berpenampilan lusuh, dan itu adalah Jeno saat di bangku sekolah. Saat menginjakkan kaki di bangku perkuliahan, Jeno mengubah drastis seluruh penampilannya dan selalu rajin belajar, sehingga membuat lokernya penuh dengan surat cinta dan hadiah-hadiah kecil di setiap harinya namun tidak pernah ia tanggapi. Karena itu, ia hanya mempunyai Mark dan Jaemin, dan Jeno akan menceritakan segala hal baru tentangnya kepada Jaemin nanti saat mereka telah bertemu kembali.
Jeno terus menyusuri hutan dengan tiga arah yang berbeda-beda. Dimulai dari timur, barat, kemudian selatan. Kemungkinan terbesar Jaemin akan lari ke arah Selatan karena rumah sewaan mereka menghadap kesana. Sembari mengecek arloji-nya, Jeno mendesah khawatir saat jam menunjukkan pukul dini hari. Rasanya seperti mengulang kejadian beberapa hari yang lalu saat ia pergi mencari Mark. Namun saat ini Jeno yakin bahwa Jaemin tidak akan balik dengan sendirinya seperti Mark.
Duh, dasar.
Mau bagaimana lagi, sudah menjadi pilihan Jeno untuk keluar dan mencari pemuda itu. Jeno sedikit mengerti bahwasannya Jaemin mungkin akan terpukul dengan kepergian Mark. Harusnya ia mengawasi Jaemin saja sedari tadi.
Semakin lama, semakin jauh Jeno berjalan dan memasuki kawasan hutan yang tidak diterangi oleh sinar bulan dengan baik. Jeno sempat takut, namun saat mengingat tentang Jaemin yang saat ini keberadaannya entah dimana, keberanian Jeno meningkat tidak takut terhadap apa-apa lagi.
Jaemin anak yang nakal, membuat-nya kerepotan seperti ini. Jeno harus memukul pantatnya nanti di rumah saat mereka tiba!
Suara-suara hewan aneh yang tidak pernah Jeno dengar sebelumnya mulai terdengar meriah disini karena jujur, saat mencari Mark saat itu Jeno tidak berjalan sampai kesini dan hanya sekitar rumah mereka saja.
"Jaemin!" teriak Jeno, suara pria itu bersaing dengan suara-suara aneh yang sedari tadi sudah berbunyi.
"Jaemin!"
Jeno terus-terusan memanggil Jaemin hingga tenggorakannya terasa seret, dan akhirnya ia hampir saja pingsan saat sebuah tangan mencekal pergelangan kakinya.
"Jaemin? Hei?" Jeno meletakkan senter saat menemukan Jaemin yang sedang memeluk kedua kakinya dengan sebelah tangan, karena tangannya yang satuan digunakan untuk mencekal kaki Jeno.
"Jaemin," panggil Jeno dan menepuk pelan pipi-nya.
"Lo kesini... sama Mark?" tanya Jaemin lirih.
Jeno terdiam, kemudian memasukkan satu senter ke dalam saku jaketnya dan menaikkan Jaemin ke dalam gendongannya.
"Kita pulang."
Jaemin masih terisak kecil selama perjalanan sambil memanggil-manggil nama Mark dengan lirih. Ia memeluk Jeno dengan erat, berharap itu adalah Mark yang menjemputnya, karena aroma parfum yang digunakan kedua bersaudara itu hampir mirip walaupun ada perbedaan sedikit. Namun Jaemin yang sudah kepalang rindu terhadap Mark hanya bisa memeluk Jeno kencang sambil menangis. Menumpahkan kekesalan dan kerinduannya kepada adik dari kekasihnya yang saat ini ia anggap adalah kekasihnya.
Jeno lagi-lagi merasa pegal. Badan Jaemin ternyata seberat itu. Dan suara Jaemin yang sedari tadi menangis parau cukup membuat telinga Jeno sakit. Untungnya, sebuah cahaya yang Jeno yakini sebagai cahaya dari rumah mereka sudah tampak di kedua mata Jeno.
Lagi-lagi subuh saat Jeno kembali dari pencariannya yang panjang itu. Namun kali ini ia tidak sendiri, ada Jaemin yang sedang tidur di dalam gendongannya.
───────
KAMU SEDANG MEMBACA
Cottage (Nomin)
FanfictionBerpacaran selama setengah tahun dengan Mark, Jaemin hanya tidak menyangka bahwa Mark akan tega membuangnya ke sebuah pondok di tengah hutan bersama Jeno yang merupakan adik kandungnya. ⚠️: mengandung kata-kata kasar, adegan yang tidak diperuntukkan...