14

1K 104 18
                                    

Jaemin mendengus. Sudah 2 hari Jeno mendiamkannya tidak seperti kemarin yang memaksanya agar makan dan keluar dari kamar. Mengapa hal ini terjadi saat ia sudah berniat untuk berbaikan dengan Jeno?

Ia sendiri masih sering mendengar suara piring yang sedang dicuci, televisi yang menyala, serta pintu yang terbuka dan tertutup. Saat ini, Jaemin mulai merasa lapar dan ia ingin memakan sesuatu, apapun itu. Tapi ia tidak tahu cara memasak dan terlalu gengsi untuk meminta tolong kepada Jeno. Apakah Jeno masih mempermasalahkan hal kemarin? Baiklah, baiklah. Kapan-kapan ia akan meminta maaf soal perlakuannya tempo hari.

Setelah lama berpikir dan berhadapan dengan gengsi-nya, Jaemin memutuskan untuk tetap berdiam di kamar sebab malu sekaligus malas bertemu Jeno. Jeno juga tampaknya sedang tidak ingin melihatnya saat ini. Biarkan saja ia berada di kamar untuk selama-lamanya.

Jaemin menggigiti bantalnya sampai suara Jeno yang sangat ingin ia dengar menginterupsi, "Jaemin."

Akhirnya!

Suara pelan Jeno yang memanggil namanya secara tiba-tiba di tengah malam membuat Jaemin segar total.

"Jaemin," panggil Jeno lagi, tapi kali ini dengan suara yang lebih kecil disertai ketukan pelan, "Udah tidur?"

"Belum," sahut Jaemin pelan dari dalam kamar.

Tidak mendengar sahutan dari Jeno lagi, Jaemin memutuskan untuk membuka pintu kamar dan melihat Jeno membawa sebuah mangkuk berisi mie instan di hadapannya. Kalau dipikir-pikir, selama disini makanan yang ia makan hanyalah mie instan saja dan Jaemin tidak tahu akan sampai kapan memakan makanan sampah ini. Orangtua-nya pasti panik sekali kalau tau jenis makanan yang dikonsumsi anak semata wayangnya akhir-akhir ini.

"Kenapa?"

"Mau makan?" tawar Jeno dan menyodorkan mangkuknya.

Jaemin terdiam sebentar lalu mengangguk, "Boleh, tapi gue mau makan di dapur aja."

Masakan Jeno tidak pernah terasa enak seperti ini sebelumnya. Walau hanya mie instan, ia memakannya dengan lahap. Jeno pun terang-terangan menunjukkan herannya saat melihat Jaemin yang tentu saja tidak dipedulikan oleh Jaemin.

Yang Jaemin pedulikan adalah saat Jeno berjalan melewatinya dan keluar dari dapur. Sontak Jaemin meneriaki pria itu hingga membuatnya berhenti.

"Mau kemana?!"

"Kamar."

Jaemin merengut, "Yaudah. Kalo gitu gue juga!"

"Eh?!" Jeno kembali berjalan mendekati Jaemin dan menghadangnya. "Kenapa? Makanannya masih banyak kok ditinggal gitu?"

"Ya lo juga ke kamar?"

Jeno terdiam. Bingung hendak menjawab apa. Setahunya, Jaemin benci makan dengannya karena wajahnya membuat Jaemin mual. Setahunya, Jaemin benci makan ditemani olehnya. Setahunya, Jaemin benci melakukan hal di sekitarnya. Dan sekarang, bagaimana lagi maksudnya ini?

"Ya.. udah?" Jeno memegang tengkuknya, "Mau ke kamar bareng?"

Diam-diam, Jaemin mengepalkan tangannya tanpa sepengetahuan Jeno. Yang ia mau, Jeno duduk di sampingnya untuk menemani makan. Bahkan kalau bisa, mereka makan bersama, sekalian Jaemin akan mengucapkan permintaan maaf. Biasanya Jeno akan melakukan hal itu, bahkan sampai menghiburnya atas kepergian Mark. Tapi, kenapa dia tiba-tiba tidak duduk dan makan bersama Jaemin? Apa dia masih tersinggung perihal kemarin? Dih, sial. Jeno selalu saja susah dimengerti hingga membuatnya kesal seperti ini. Jaemin pun memutuskan untuk tidak membalas ucapan Jeno dan menjauhkan dirinya dari dapur.

Cottage (Nomin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang