tiga puluh dua : decision

168 36 37
                                    

Senin pagi ini masih cukup dingin untuk memulai beraktivitas, bahkan matahari saja masih enggan menyapa jendelanya. Rasa dingin yang menusuk indra perasa lyra membuatnya keluar dari kamar dengan mengenakan jaket dan kaos kaki yang masih bertengger di kakinya. Ia mengecek persediaan bahan memasak untuk sarapan pagi ini. Tepat setelah ia mengecek, iyan turun dan menghampirinya dengan pakaian rapi.

"Mau kemana, yan?" Tanya lyra sedikit takjub melihat iyan sudah siap dengan setelan olahraganya. Sedangkan lyra masih lengkap dengan piyama, jaket dan kaos kakinya.

"Mau demo. Mau olahraga, lah." Ketusnya.

"Hahaha, gak usah olahraga lah yan. Mendingan bantuin aku masak, masak juga nanti bakalan keringetan. Ya gak? Bantuin yaa?" Goda lyra yang mendapat respon serius dari lawan bicaranya.

"Ya udah, ayo." Jawabnya ringan seraya membuka resleting jaket yang tadinya tertutup rapat kembali ia buka.

"Eh, eh becanda yan. Jangan serius-serius kenapa jadi orang."

"Apapun tentang lo gue gak pernah main-main."

Satu kalimat yang menjadi jawaban iyan atas pernyataan lyra kembali membuat mereka menegak pahitnya kecanggungan sialan yang terjadi hampir 2 setengah menit itu. Setelahnya mereka harus berterimakasih pada seseorang yang membuka pintu utama hingga bisa menyelamatkan kecanggungan itu.

Saat lyra dan iyan tengah menunggu siapa yang akan muncul dari balik pintu, mereka disadarkan oleh seseorang yang sudah satu minggu lebih meninggalkan kosan. Ia muncul dengan mengenakan topi, hoodie dan berjalan masuk dengan menenteng satu plastik besar yang entah apa isinya.

Satya. Niat hati menghindari dua orang yang tengah berdiri di hadapannya saat ini dengan datang pagi hari gagal. Lagi-lagi, ini kenyataan keras yang harus menamparnya saat ia memutuskan untuk kembali ke sana. Memutuskan untuk berdamai dengan keadaan yang nyatanya- sangat luar biasa anjing.

Ia benar-benar mengumpat saat pertama kali masuk ke dalam rumah itu.

"Eh sat, kemana aja lo?" Iyan menghampiri satya yang juga merasakan sebuah kecanggungan saat menemukan dirinya dan lyra tengah bersama.

"Biasa, bang. Gimana kabar lo, sehat?" Tanya satya balik. Tampaknya lyra masih sedikit menyimpan kekesalan padanya karena kejadian terakhir kali.

"Alhamdulillah sehat, gue. Lo yang katanya sakit, udah sehat?"

Satya tak bisa menahan indra penglihatannya untuk tidak menoleh pada lyra lebih lama lagi. Akhirnya ia menoleh, kemudian menjawab pertanyaan iyan dengan ambigu

"Sehat, bang. Tapi kadang masih suka ngedadak sakit, hahaha."

"Bisa aja lo. Oh iya, lo mau olahraga gak bareng gue? Gue udah siap nih. Tapi katanya teh lyra mau dibantuin masak. Apa bantuin aja kali ya?" Iyan seolah mengajak satya kembali atas kegiatan mereka sebelum satya pulang ke rumahnya. Ritual mendekati seorang lyra.

"Sorry, gue ada mata kuliah pagi bang. Ini juga mau kasihin ini doang titipan bunda, abis itu ambil tas terus cabut lagi ke kampus."

Lyra seakan sudah mengerti jika saat ini satya menolak ajakan iyan. Semula lyra yang menaruh atensinya pada satya, kini ia bermaksud untuk kembali ke kamarnya, sebelum kepalan tangan menahannya pergi lebih jauh lagi.

"Ini. Ada titipan buah dari bunda, katanya buat om hendra sama teh lyra. Sekalian buat yang lain juga."

"Udah?" Bukan sambutan hangat yang satya terima, namun sebuah pertanyaan dingin yang justru ia dapatkan.

"Udah? Apanya?"

Di sisi lain, iyan yang sudah menantikan fakta apa yang akan ia ketahui antara lyra dan satya seketika mengalah. Sepertinya ini bukan sesuatu yang baik untuk ia dengarkan, lebih baik ia menjaga hatinya. Maka ia memutuskan untuk kembali pada niat awalnya berolahraga yang kini sedikit membawa beban dipundaknya. Beban menahan keingintahuan yang tertunda karena ia menghormati mereka berdua.

Kim's Boarding House || ft Rosé X NCT 2020✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang