Ibu-40

18 2 3
                                    

Hari itu hari raya, paginya aku duduk di cermin dengan bahagia. Tapi tiba-tiba menyeruak rasa kecewa, aku sempat melupa, harusnya kamu yang pertama kupeluk dengan cinta, harusnya tanganmu yang pertama aku salami nan basahi dengan air mata bahagia.

Hari itu hari raya, aku menata begitu banyak makanan dimeja. Sediakan tempat bersih untuk tamu-tamu yang belum tiba. Tapi dihatiku yang bertandang didetik itu adalah nelangsa. Tak biasa aku melakukan semua dengan tergesa, harusnya kamu di sana, harusnya hari itu kita bersama.

Hari itu hari raya, aku memeluk nan rapalkan permohonan maaf pada semua tetua di keluarga. Memeluk jua menyalami satu-satu dari mereka. Sampai kemudian semua itu usai hatiku belum lega.

Lalu kuingat, tanganmu belum membelai kepalaku untuk memberi berkat ya. Dan kemudian kuusung semangat untuk menjumpai tempat ragamu direbahkan selamanya. Menyapamu dengan lembut di sana, memanggilmu Ibu, memegang gundukan tanah di atasmu, berharap selamanya kamu baik-baik saja.

Hari itu hari raya, bu, setiapkali aku tersenyum dan tertawa aku berpikir apakah kamu merasakan bahagia yang sama atau sebaliknya. Namun tidak ada yang bisa aku lakukan selain mengurai lara, lalu memohon supaya kamu diberi ketenangan lama-lama.

Hari itu hari raya, malamnya aku menyalakan kembang api bersama seluruh anggota keluarga. Tapi kemudian aku menjadi yang pertama menitikan air mata, harapku kamu juga menyaksikan keindahan itu, harapku yang hampa akhirnya.

-
Hari itu hari raya, aku melihat keluarga kita nampak bahagia mulanya. Berbincang bersama, tertawa-tawa, sampai kemudian ketika datangnya tamu berangsur mereda, aku tak sengaja melihat satu-satu dari mereka yang menangis sendiri-sendiri sampai sembab netra semua tak terkira. Ternyata, menjadi dewasa begitu ya, ahlinya dalam merahasiakan duka lara.

***

Bilik Rindu (Pre-Order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang