4 Juli 2022 ~
🍂
Desir angin pagi itu begitu memanjakan raga. Hembusan sejuknya terasa segar menusuk rongga. Membuat siapapun yang saat ini tengah menghirupnya tidak ingin berpindah tempat.
Begitulah yang dirasakan seorang gadis yang saat ini tengah memejamkan mata, merasakan nikmat Tuhan yang tiada tandingannya. Selain karena kesejukan itu, hangat sinar sang Surya juga menjadi alasan kakinya belum ingin beranjak kemanapun.
Ia membuka kelopak matanya, memandangi deretan rumah warga yang sudah seperti balok tersusun. Kemudian tersenyum melihat aliran sungai yang berada tepat di bawah kakinya. Meskipun tidak sejernih sungai Bern, setidaknya aliran deras itu bebas dari sampah plastik yang menjadi masalah utama di tanah ibukota.
Berselang lima menit, ia kembali merogoh sesuatu di kantong jaket, lalu mengeluarkan sebungkus manisan kecil beragam bentuk dan kenyal, yang tidak pernah absen menemaninya kemanapun ia pergi.
Bibirnya sedikit dimajukan ketika mengamati bungkus terakhir yang belum terbuka. Naasnya lagi, manisan terakhir itu harus jatuh sia-sia ke dasar sungai akibat ketidakhati-hatian tangannya.
"Yah, jatuh. Padahal itu stok terakhir," sesalnya melihat ke bawah, seakan ikut mengantar kepergian manisan yang belum sempat masuk ke mulut. Sangking tidak relanya, ia sampai membungkukkan badan demi melihat permen miliknya.
Tiba-tiba ...
"WOI! LO UDAH GILA YA!" teriakan itu refleks mengalihkan fokusnya. Kedua alis tebalnya nyaris bersatu ketika melihat seorang laki-laki seusianya menarik tangannya dengan sedikit kasar.
"Apa sih?"
"Lo udah gila ya?!" Gadis itu masih diam. Lebih tepatnya bingung. "Ngapain mau loncat ke bawah? Lo nggak tau kan seberapa dalamnya sungai itu?"
"Lo tau nggak? Di kuburan sana, masih banyak orang yang ingin hidup lagi tapi nggak bisa! Seharusnya lo hargain nyawa lo."
Maksud ni cowok apaan dah? Gadis itu memilih menggerutu dalam hati.
"Sebesar apapun masalah yang lo hadapi, setidaknya cari solusi. Bukan dengan cara seperti ini. Mengakhiri hidup bukan pilihan yang tepat. Dan lo harus ingat! Jika mati, belum tentu semua masalah terselesaikan. Paham?!" Cowok itu segera berlalu setelah mengoceh panjang lebar.
Gadis yang diceramahi hanya melongo di tempat. Mulutnya sampai terbuka setengah. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Kedua matanya belum berkedip menatap punggung cowok yang tiba-tiba marah tidak jelas.
"Cowok aneh! Siapa coba yang mau bunuh diri? Gue kan cuma liat permen gue yang jatuh," dumelnya kembali melongoskan kepala ke aliran sungai yang terdengar deras.
Meskipun kesal, ia sedikit membenarkan kalimat yang sempat ia tangkap dari cowok aneh tadi. Entah kenapa, bulu kuduknya meremang ketika melihat arus sungai itu.
"Non Aya sudah selesai melihat matahari terbitnya?" tanya seorang pria paruh baya yang sudah sejam menunggu di seberang jalan.
"Sudah, Pak Im," balas gadis itu tersenyum. Ia merasa bersalah karena memaksa untuk turun di tengah jalan, demi melihat pemandangan matahari terbit.
"Kalau begitu, kita lanjutkan perjalanan ya. Sebentar lagi sampai."
Gadis itu mengangguk dan berjalan ke arah mobil yang terparkir di tepi jalan. Sebelum menutup pintu mobil, ia menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang. Bukan ke sungai, melainkan ke arah perginya cowok aneh itu.
"Thanks untuk kesan pertamanya, Indonesia."
***
"Ini Non Aya?" terka wanita berkepala tiga di ambang gerbang. Ia membantu pak Imam mengeluarkan barang-barang di bagasi mobil. Gadis yang disapa tersenyum dan mengangguk. "Selamat datang di rumah, Non. Mari masuk! Bibi sudah memasak soto Betawi kesukaan Non Aya."
Ucapan wanita yang ia tau bernama lengkap Irnawati berhasil membuat gadis itu semakin melebarkan senyum. Sudah beberapa tahun ia tidak memakan makanan berkuah itu. Terakhir kali saat usianya belum menginjak angka sepuluh.
Bersama bi Irna dan pak Imam, gadis itu berhasil membawa semua barang-barangnya ke kamar. Begitu semuanya sudah selesai, ia meminta izin untuk pergi ke lantai atas, tempat favoritnya dahulu.
"Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah sedikitpun," gumamnya mengamati ruangan yang selalu rapi. Selain pekerja rumah yang rajin membersihkan kamar, kepribadian dari pemiliknya juga berpengaruh terhadap kerapian tempat ini.
Gadis itu mendudukkan diri di tepi kasur, mengembuskan napas panjang lalu mengambil bingkai foto yang tergeletak di atas nakas. Ia tersenyum memandangi sosok yang ada di sana. Senyumnya yang khas masih terasa nyata dan hangat sampai sekarang. Meski kenyataannya, raga itu sudah terbaring dalam dekapan bumi.
"Aku balik lagi, ke rumah yang hanya menghadirkan bayangan duka untuk kita. Aku benar-benar berharap ini tidak akan lama. Setelah tujuanku tercapai, aku akan pergi dan tidak akan kembali lagi ke sini," lirihnya mengusap gambar dibalik kaca.
"Kalau bukan karena janjiku, aku tidak pernah ingin berada di sini sekarang. Semoga dengan cara ini, bisa membuatmu tenang di sana, Kak."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Fajar [SELESAI] ✔️
Teen Fiction[TEENFICTION] "Lo udah gila ya?!" bentak seseorang yang berlari ke arahnya . "Lo tau nggak?! Di kuburan sana masih banyak orang yang ingin hidup lagi, tapi mereka nggak bisa. Sebesar apapun masalah lo, seenggaknya cari solusi bukan dengan cara menga...