27 Juli 2022
🍂
"Eh, Cahaya. Tumben ke sini?" Reva menghentikan kegiatannya, lalu berjalan ke arah gadis yang masih berdiam di tempat. Ia melongoskan kepala ke belakang, mungkin mencari seseorang. Cahaya langsung paham dengan tingkah Reva.
"Aku ke sini nggak sama Fajar, Kak," jelas Cahaya menimbulkan anggukan dari lawan bicaranya. "Aku mau ngomong sesuatu sama Kak Reva. Berdua."
Reva mengernyitkan dahi sebentar, mungkin belum paham dengan maksud gadis itu. Meski demikian, ia tetap mempersilahkan Cahaya untuk duduk di ruang tamu, agar pembicaraan mereka lebih santai.
"Mau ngomong apa, Cahaya?"
Gadis itu mengambil napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Hal itu ia lakukan secara berkala agar hatinya benar-benar yakin dan bisa mengatakan apa yang seharusnya dikatakan. Hari ini, ia akan mengungkap sebuah fakta yang selama ini menimbulkan kesalahpahaman, bahkan berujung kebencian.
"Ini tentang Kak Galang, Kak," ujar Cahaya sedikit was-was, takut kalau trauma wanita itu akan kambuh setelah ia menyebut nama kakaknya. Namun apa yang ditakutkan Cahaya tidak terjadi. Ekspresi Reva masih sama seperti sebelumnya. Tenang.
Sebelum melanjutkan kalimatnya, Cahaya menyerahkan sebuah buku yang ia bawa kepada Reva. "Itu catatannya Kak Galang sebelum pergi. Untuk Kak Reva."
Dengan sedikit gemetar, wanita itu menerima buku tersebut dan langsung membukanya. Lembar demi lembar berhasil diamati oleh Reva. Hingga sampai bagian pertengahan, matanya sudah berkaca-kaca.
"Jadi, kamu ...," Pandangannya sudah mengarah ke Cahaya.
"Iya, Kak. Aku adiknya Kak Galang," sahut Cahaya. "Selama ini, aku mencoba mencari keberadaan Kak Reva untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi setelah hari itu."
"Jelaskan," pinta Reva.
Dengan wajah tertunduk, Cahaya menceritakan semua yang dialami kakaknya sebelum akad dilaksanakan. Hari dimana mereka menemukan tubuh Galang yang sudah ambruk di tempat sujud.
"Malam itu, Uma menemukan banyak obat-obatan di kamarnya Kak Galang. Kami tidak tahu obat apa itu, dan setelah kami cek ternyata itu obat untuk meredam nyeri pasca kemoterapi."
"Maksudnya?"
"Kak Galang mengidap kanker hati stadium tiga, tapi dia tidak pernah memberitahu siapapun tentang penyakitnya. Kalau Uma tidak membuka kamarnya waktu itu, mungkin kami tidak akan pernah tahu tentang penderitaannya." Cahaya berusaha mengingat momen saat pertama kali ia datang ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan kakaknya.
"Lalu kenapa kalian tidak memberitahuku?" seka Reva terlihat kecewa.
"Tepat di hari akad itu, kondisi Kak Galang kritis. Baba dan Uma tidak bisa berpikir jernih, yang mereka pikirkan hanyalah keselamatan Kak Galang. Mungkin itu yang membuat mereka tidak sempat memberi kabar. Hingga pada pukul tujuh pagi, Kak Galang tidak bisa diselamatkan," cerita Cahaya menggigit bibir bawahnya.
"Kak, aku minta maaf atas perbuatan keluargaku yang tidak memberi tahu Kak Reva. Karena waktu itu, Uma bener-bener syok dan langsung drop. Jadi, Baba segera membawa kami pulang ke Izmir. Seharusnya, hari itu keluargaku datang menjelaskan semuanya, bukan malah langsung pergi. Maaf, Kak," sesal Cahaya ketika mengingat derita yang dialami Reva beserta keluarganya pasca kejadian itu.
Tanpa diduga, reaksi Reva malah diluar dugaan Cahaya. Wanita itu langsung memeluknya dan menenangkan hatinya.
"Kamu jangan minta maaf, Cahaya. Kamu nggak salah," tutur Reva mengelus punggung gadis itu. "Terima kasih ya sudah berusaha menjelaskan semuanya. Setidaknya, kehadiran buku ini sudah menjawab semua kegelisahanku selama ini."
Cahaya melepas pelukan mereka, lalu menatap wanita itu seksama. "Kak Reva nggak benci, kan, sama Kak Galang?"
Reva menggeleng pelan, "Aku tidak mungkin membenci orang yang aku cintai, Cahaya." Gadis itu tersenyum mendengarnya. "Sejak pertama kali melihat kamu, aku sudah tahu kalau kamu adiknya Galang. Mata kalian mirip banget."
"Kak Reva nggak benci, kan, sama aku?"
"Sama sekali nggak, Cahaya. Aku tidak punya alasan untuk membenci kamu, apalagi keluarga kamu."
"Terima kasih, Kak." Cahaya kembali memeluk wanita itu layaknya saudara. Ia sudah lama menginginkan seorang kakak perempuan seperti Reva.
"Kamu mau, kan, mengantarku ke tempat Galang?"
Cahaya mengangguk bersemangat. Akhirnya, ia berhasil menyelesaikan misi yang selama ini membuatnya merasa bersalah.
Kak Galang, aku berhasil.
***
Usai mengantar Reva ke makam Galang, Cahaya tidak pernah mengendurkan senyumnya. Kini, ia sedang di perjalanan menuju rumah Luna. Ya, gadis itu tiba-tiba menelpon dan menyuruhnya untuk datang ke rumahnya. Berhubung Cahaya sedang bahagia, jadi ia langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang.
"Tunggu sebentar, ya, Pak," titah Cahaya pada sopirnya. Ia pun segera masuk setelah dipersilahkan oleh beberapa penjaga yang ada di sana.
"Luna," panggil Cahaya ketika melihat punggung gadis itu. Sang pemilik nama pun menoleh dan langsung menyuruhnya untuk duduk. "Ada apa kamu panggil gue ke sini?"
"Aku mau ngomong sesuatu sama Kak Cahaya."
"Tentang?"
"Kak Fajar," tukas Luna membuat Cahaya bingung.
"Fajar? Kenapa?"
"Aku mau, Kak Cahaya jauhin Kak Fajar."
"Tunggu, tunggu! Ini maksudnya apa? Kenapa tiba-tiba nyuruh gue ngejauhin dia?" Cahaya benar-benar dibuat bingung. "Na, gue kan udah bilang, kita cuman temenan."
"Aku nggak mau, Kak Fajar terluka karena berteman dengan Kakak."
"Hah?"
"Galang Hanendra, itu saudaranya Kak Cahaya, kan? Laki-laki yang udah ngebuat Kak Reva hampir bunuh diri."
Cahaya menggeleng heran, bagaimana gadis itu bisa tahu?
"Wait. Kayaknya kamu salah paham deh. Gue--" Kalimat Cahaya terpotong karena suara seseorang.
"Jadi lo adeknya Galang?" Pertanyaan itu membuat kedua gadis itu menoleh bersamaan.
"Fajar?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Fajar [SELESAI] ✔️
Ficção Adolescente[TEENFICTION] "Lo udah gila ya?!" bentak seseorang yang berlari ke arahnya . "Lo tau nggak?! Di kuburan sana masih banyak orang yang ingin hidup lagi, tapi mereka nggak bisa. Sebesar apapun masalah lo, seenggaknya cari solusi bukan dengan cara menga...