26 Juli 2022 •
🍂
Detik demi detik berlalu, meninggalkan kesunyian yang masih membisu. Tanpa ingin beranjak sedikitpun, ia masih tetap menunggu seseorang yang tidak tahu sedang dimana. Demi sebuah tanggung jawab, ia harus merelakan sepersekian waktunya untuk menemui gadis yang sudah dianggap sebagai adik sendiri.
"Nak Fajar yakin mau nungguin Luna di sini? Masuk dulu, gih. Kita minum teh di dalem," ajak Rinto--papanya Luna, sekaligus sahabat terbaik orang tuanya.
Lagi, cowok itu menggeleng pelan, lalu tersenyum. "Saya tunggu di sini saja, Om. Sekalian ngeliat pemandangan."
"Ya sudah, terserah kamu saja. Om masuk dulu, ya," tutur pria berkumis tipis itu seraya menepuk pundak Fajar.
"Iya, Om."
Setelah bayangan Rinto menghilang, Fajar kembali pada kegiatan sebelumnya. Mengamati alam sekitar lalu bermain dengan gadgetnya. Tak berselang lama, kedatangan seseorang menghentikan kegiatannya.
"Kak Fajar di sini?"
Pemilik wajah putih langsat itu mendongak, melihat gadis yang sedang menuju ke arahnya. "Hai," sapanya lembut, seperti biasa. "Darimana aja?"
Luna tidak langsung menjawab. Ia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya tadi melihat Cahaya di toko bunga, lalu mengikutinya sampai pemakaman, pasti dia akan dikira seorang penguntit. Luna tidak mau, reputasinya di mata Fajar terlihat buruk.
"Mm, aku baru pulang dari toko bunga. Beliin Mama hadiah ulang tahun," alibinya terdengar meyakinkan. "Kak Fajar udah lama di sini? Kukira, tidak jadi datang makanya aku pergi ke luar."
"Enggak kok, aku juga baru sampai. Oh ya, ini aku bawakan rangkuman materi yang kemarin. Nanti kamu bisa baca-baca." Fajar menyerahkan dua buku kepada Luna. Gadis itu menerimanya dengan tersenyum.
"Terima kasih, Kak."
"Sama-sama. Kalau gitu, aku pamit dulu, ya."
"Lho, nggak masuk dulu?"
Fajar menggeleng cepat. "Aku harus ke tempat Kak Reva. Lain kali, ya."
"Oh, iya. Titip salam buat Kak Reva."
Fajar mengangguk dan mengangkat jempolnya pertanda setuju. Ia pun segera menaiki motornya dan pergi. Ditemani penjaga, Luna masih melihat sosok Fajar sampai bayangannya mengabur dan hilang.
"Eh. Putrinya Papa udah pulang," sahut Rinto yang baru keluar dengan segelas kopi di tangannya. "Nak Fajar mana?"
"Udah pulang, Pa. Katanya mau ke tempat Kak Reva." Luna menjelaskan. Rinto langsung memaklumi. "Pa, aku boleh nanya sesuatu nggak?"
"Nanya apa, Sayang?"
"Papa kenal sama laki-laki yang bernama Atef Galang Hanendra?"
Kening pria itu bergelombang setelah mendengar nama yang disebut Luna. "Atef Galang Hanendra?" ulangnya dan mendapat anggukan kecil dari putrinya.
"Papa pernah denger nama itu nggak?"
"Sebentar. Bukannya, itu nama tunangannya Reva?"
"Apa? Kak Reva?" kaget Luna.
"Iya, di undangan itu tertulis nama Galang dan Reva. Mungkin itu nama yang kamu maksud tadi. Memangnya kenapa, Nak?"
Luna tidak menjawab pertanyaan papanya. Otaknya sedang berusaha menyusun kepingan-kepingan puzzle yang mungkin akan melengkapi rasa penasarannya selama ini. Mulai dari percakapan Cahaya dengan seseorang ketika di rumah Mulan, lalu di pemakaman tadi, dan beberapa kepingan lainnya. Ia mencoba merangkai kepingan itu menjadi satu bagian yang utuh.
"Oh, jadi begitu rupanya," gumam Luna yang mungkin sudah mempunyai satu kesimpulan di kepalanya. Kesimpulan yang mungkin akan membawanya pada satu kesalahpahaman.
***
Siang ini, mentari tersenyum lebar. Terlihat dari sinarnya yang begitu terang nan sejuk menyinari setiap sudut ruangan kelasnya. Hangatnya mampu menandingi senyum gadis itu saat ini sudah bersemangat untuk pulang sekolah.
Seperti biasa, sebelum keluar gerbang sekolah, matanya akan menatap setiap bangunan itu dan berterima kasih atas kesan yang diberikan. Entah dengan alasan apa gadis itu melakukan hal demikian.
Begitu terasa cukup, ia pun benar-benar melangkah ke pintu gerbang. Sebelum memasuki mobilnya, ia meliarkan pandangannya sebentar, mencari seseorang diantara kerumunan siswa yang baru keluar.
"Fajar!" panggilnya dengan tangan melambai. Sang empunya pun tak jadi ke parkiran.
"Apa?"
"Habis ini lo mau kemana?"
"Pulanglah. Kemana lagi?"
Cahaya terkekeh mengingat pertanyaan konyolnya tadi. "Iya, gue tau. Maksudnya, lo nggak ke rumah Luna kek, ke tempat mana gitu."
"Emangnya kenapa? Lo mau ikut?"
Cahaya mengetukkan telunjuk ke dagunya. "Enggak juga sih. Lain kali, ya. Hari ini gue mau ke suatu tempat."
Fajar hendak bertanya kemana gadis itu akan pergi, namun urung karena sosok itu sudah pergi begitu saja. Ia pun hanya bisa melambai seraya mengucap 'hati-hati' meskipun tidak akan didengar.
***
"Berhenti di depan sana, ya, Pak," titah Cahaya setelah mereka sampai di tempat tujuan. Ia pun keluar setelah menyuruh Pak Imam untuk menunggunya. Tanpa berlama-lama, ia mengucap salam dan mengetuk pintu.
"Permisi, Bi," sapa Cahaya setelah dibukakan pintu. "Kak Revanya ada?"
Wanita yang sempat ia temui bersama Fajar itu mengangguk dan tersenyum. Tanpa bertanya lagi, ia langsung mempersilahkan Cahaya untuk masuk.
Di tempat yang sama, Cahaya menemukan wanita itu tengah menyirami bunga-bunganya. Ia tersenyum melihat keadaan wanita itu yang semakin hari semakin membaik. Ia juga berharap, keadaannya akan semakin membaik setelah mendengar kabar yang akan ia bawa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Fajar [SELESAI] ✔️
Novela Juvenil[TEENFICTION] "Lo udah gila ya?!" bentak seseorang yang berlari ke arahnya . "Lo tau nggak?! Di kuburan sana masih banyak orang yang ingin hidup lagi, tapi mereka nggak bisa. Sebesar apapun masalah lo, seenggaknya cari solusi bukan dengan cara menga...