Antara Genangan dan Kenangan ~

162 30 38
                                    

20 Juli 2022 •

20 Juli 2022 •

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍂

"Bilang aja, nggak ada temen tempat lo nebeng, kan?" imbuh Fajar sembari melepas sweaternya yang basah, dan hanya menyisakan kaos putih oblong yang menempel di badannya.

"Serah lo, ya, mau ngomong apa. Capek gue debat mulu," kesal Cahaya memalingkan wajahnya.

Fajar yang tahu kalau gadis itu tengah merajuk hanya tersenyum. "Iya, maaf. Gue cuma bercanda kok."

"Gue nggak denger," balas Cahaya tanpa menoleh, pura-pura masih marah. Padahal ia sedang bersusah payah menahan senyumnya.

"Lo sama Kak Reva mirip banget. Sama-sama suka marah tapi pada tempatnya." Fajar menoleh pada gadis yang masih memalingkan muka. Berharap dengan kalimat itu Cahaya akan melihat ke arahnya, namun ternyata gadis itu tidak menggubris sama sekali. Alhasil, fokusnya teralihkan oleh kedatangan dua orang yang sedang berjalan ke tempat mereka.

Sebelum dua orang itu sampai di tempat mereka, cowok itu merapikan pakaian dan memakai tasnya, kemudian berdiri. Cahaya yang sempat melirik gerak-gerik Fajar menjadi berpikir. Ia spontan menahan lengan cowok itu ketika berjalan melewatinya.

"Lo mau kemana? Jangan bilang kalau lo mau ninggalin gue di sini!" tahan Cahaya yang sudah berprasangka macam-macam. Tersadar sesuatu, ia pun segera melepas tangannya.

"Gue mau ke sini." Fajar berdiri satu meter di samping gadis itu, tanpa menjelaskan alasannya.

Cahaya yang masih bingung hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia ingin bertanya lagi, namun kedatangan seseorang membuat kepalanya menoleh. Netranya terfokus pada sepasang suami istri yang sudah berdiri di dekatnya.

"Kita tunggu di sini ya, Sayang. Busnya sebentar lagi datang," ucap sang suami pada istrinya.

Melihat pemandangan itu membuat Cahaya mengangguk. Kini, ia paham mengapa Fajar beralih tempat dan berdiri di sampingnya. Ternyata, dia ingin memberikan tempat duduk untuk wanita yang tengah berbadan dua. Selain hal tersebut, bangku di tempat itu hanya cukup untuk tiga orang.

Lagi, Cahaya dibuat kagum dengan sikap Fajar. Perlahan, kepalanya mendongak ke arah cowok itu. Ia memperhatikan sosoknya sebentar, kemudian tersenyum.

Gue sih nggak heran lagi, cowok sebaik lo banyak yang suka. Batinnya. Tanpa disuruh siapapun, ia melepas jaket hitamnya dan memberikannya pada Fajar.

Fajar yang melihat Cahaya yang menyodorkan jaketnya menjadi bingung.

"Apa?"

"Nih, pakai. Gue tau lo pasti kedinginan."

"Nggak usah, lo aja yang pakai," tolak Fajar, sopan.

Cahaya yang mengira kalau cowok itu khawatir dia akan kedinginan, masih setia menyodorkan benda itu. "Lo nggak usah khawatir, pakaian gue panjang kok. Nih."

"Bukan gitu, Cahaya."

Gadis itu bingung, kenapa Fajar tidak mau memakai jaketnya? Sekian detik berpikir, akhirnya Cahaya menemukan jawabannya.

"Lo tenang aja, ini jaket cowok kok. Gue pinjem punya Abang gue," jelas Cahaya mencoba meyakinkan.

"Serius? Lo nggak bohong, kan?"

Cahaya berdecak. "Dua rius! Kalau gue bohong, bulu mata gue bakal panjang," candanya. "Keburu tangan gue keram nih."

Setelah cukup lama berpikir dan dipaksa, akhirnya Fajar mengambil jaket itu dan memakainya. Gadis itu memang benar, sejak kehujanan tadi ia merasa kedinginan.

"Terima kasih," gumam Fajar.

Cahaya hanya membalas dengan senyuman. Mereka tidak sadar, dua orang yang duduk di sampingnya ikut tersenyum melihat sikap mereka dari tadi. Mungkin, pasangan itu sedang bernostalgia dengan masa mudanya dulu.

Hampir satu jam mereka menunggu hujan mereda, namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau langit akan berhenti menumpahkan bebannya. Kebosanan pun tidak bisa dihindari lagi. Cahaya yang tidak tahu harus melakukan apa, memilih untuk memainkan ponselnya. Sedangkan Fajar, cowok itu sudah nyaman dengan bacaan di tangannya.

"Jar," panggil Cahaya. Sang empunya pun segera menoleh. "Lo masih ingat nggak, pas pertama kali kita ketemu? Tapi bukan di belakang sekolah."

"Terus?"

"Di jembatan. Lo ingat kan?"

Fajar bergeming, mungkin sedang mengumpulkan kepingan memori yang dimaksud gadis itu. "Cewek yang mau bun---"

"Ih! Gue nggak pernah niat buat ngelakuin hal itu, ya!" Cahaya memotong ucapan Fajar.

"Terus mau ngapain?"

"Waktu itu, gue lagi liatin permen gue yang jatuh. Eh lo malah tiba-tiba narik tangan gue dan langsung marah," oceh Cahaya mengingat momen itu. "Tapi gue maklum sih, kenapa lo segitu marahnya."

Fajar mengalihkan pandangan dari gadis itu, lalu mengangguk. "Sebenarnya, gue masih nggak percaya sama alasan lo tadi. Sangat tidak masuk akal, tapi gue minta maaf karena salah paham dan marah sama orang yang gue nggak kenal."

"Dimaafin. Sekarang, cabut yuk! Ujannya udah berhenti."

Fajar mengiyakan ajakan gadis itu. Ia pun merapikan buku-bukunya, begitu juga dengan Cahaya. Dialah yang paling semangat untuk pulang karena sejak tadi perutnya terasa tidak nyaman. Namun sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, gadis itu menyempatkan diri untuk memotret keindahan langit pasca hujan. Terlebih sinar matahari yang perlahan keluar dibalik awan membuatnya terlihat sangat indah.

"Fajar!"

Cekrek

"Apa?"

"Enggak ada. Awas di depan lo ada genangan!" peringat Cahaya sambil tersenyum, karena cowok itu tidak sadar kalau wajahnya baru saja masuk dalam koleksi galerinya.

"Terima kasih untuk kenangan hari ini," gumam Cahaya menyimpan hasil jepretannya di salah satu album favorit. Ia lantas menyusul langkah Fajar sebelum tertinggal.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cahaya Fajar [SELESAI] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang