Makna Dibalik Kata ~

165 27 27
                                    

24 Juli 2022 •

24 Juli 2022 •

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍂

Cahaya tertawa mendengar pertanyaan cowok itu. "Kayak orang nggak pernah ketemu seabad aja lo, tiba-tiba nanya kabar gue."

"Cuma nanya," balas lawan bicaranya. Percakapan mereka sempat terjeda ketika bi Irna datang membawa dua minuman ke sana.

"Diminum dulu, Den ..." Bi Irna mencoba mengingat nama pemuda yang duduk di sampingnya.

"Panggil Fajar saja, Bi," sahut pemuda itu tersenyum. Mungkin ia memaklumi ingatan wanita yang sudah sangat berumur itu.

"Ah, iya. Den Fajar, ya? Bibi tadi sempat lupa namanya, eh jadi salah sebut," kekeh bi Irna melirik ke arah Cahaya. Gadis itu pun ikut tertawa kecil.

"Namanya Fajar, ya, Bi. Bukan pacar," ulang Cahaya menggelengkan kepalanya.

"Hehe, soalnya namanya sebelas dua belas, Non." Bi Irna menertawakan kepikunannya. Ia pun pamit untuk menyelesaikan pekerjaan di dapur. Meninggalkan dua remaja yang tidak tahu harus memulai percakapan dari mana.

"Btw, lo belum jawab pertanyaan gue barusan." Fajar mengingatkan.

"Seperti yang lo lihat sekarang, gue nggak apa-apa. Cuma nggak enak badan. Biasa, masalah kaum hawa," jelas Cahaya meneguk minumannya.

Pemuda yang masih memakai seragam lengkap itu mengangguk pelan. "Gue kira lo sakit gara-gara kehujanan kemarin."

"Oo, jadi itu alasan lo datang ke sini?" terka Cahaya sembari menaikkan turunkan alisnya. "Lo khawatir, ya?"

Fajar tidak menjawab. Ia malah mengambil sesuatu dalam tasnya, kemudian memberikannya pada gadis yang duduk di depan. "Gue mau ngasih lo hasil ujian Biologi. Bu Marwah titipin ke gue."

Oh, cuma mau ngasih ini doang? Dasar Aya, halunya udah ketinggian. Mana mungkin seorang Fajar khawatir sama lo? Gadis itu merutuki dirinya sendiri.

"Untunglah, gue nggak remidial." Cahaya tersenyum melihat hasil ujian pertamanya. Thanks, ya udah mau nganterin. Padahal kan gue bisa ambil sendiri besok."

Fajar yang baru tersadar kalau besok masih sekolah langsung menggaruk tengkuknya. "Ya nggak apa-apa sih, sekalian kan gue jenguk lo. Tapi maaf  ya, nggak bisa lama. Gue harus ke rumah Luna soalnya," kata Fajar merapikan tempatnya. Setelah berpamitan, ia langsung berdiri dan beranjak keluar.

Cahaya yang memahami itu pun tidak bisa meminta agar waktu lebih lama berputar, karena ia sadar dimana posisinya sekarang. Ia tahu, siapa yang jadi prioritas dan siapa yang hanya teringat sepintas.

"Hati-hati," lambainya ketika sampai di depan pintu. Karena tidak tahan berjalan terlalu lama, ia memilih untuk mengantar tamunya sampai depan pintu.

Fajar pun melakukan hal yang sama. "Cepat sembuh, Cahaya," gumamnya sebelum meninggalkan tempat itu.

Meskipun bayangan Fajar sudah menghilang, tapi gadis itu belum juga beranjak dari tempatnya. Ia masih menatap jalanan depan rumah yang sudah kembali sepi, hanya ada beberapa pegawai yang masih bekerja di sana. Cahaya tersenyum melihat bi Irna dan pak Imam yang sedang bekerjasama membersihkan halaman. Ia ingin membantu, tapi dilarang oleh mereka.

"Bi, hari ini hari apa, ya?" tanya Cahaya tiba-tiba.

"Jum'at, Non."

Cahaya tercengang, lalu menepuk jidatnya. Bagaimana mungkin dia bisa lupa hari? Tanpa menunggu apa-apa, ia langsung beranjak ke kamar dan keluar setelah puluhan menit lamanya.

"Pak Imam, anterin ke TPU ya," titah Cahaya yang sudah berdiri di depan sopir pribadinya.

"Lho, mau kemana Non?"

"Mau ketemu Abang. Aya kangen," balas Cahaya tersenyum.

"Tapi kan, Non Aya masih sakit," cegat bi Irna sedikit khawatir.

"Nanti sembuh kok, Bi. Kan mau ketemu Abang." Gadis itu tidak berkata lagi. Setelah mengucap salam, ia langsung masuk mobil dan pergi ke tempat yang akan mengurangi sedikit rasa rindunya.

***

Hampir setengah jam ia duduk di sini, tidak peduli dengan terik yang masih kentara. Setelah mengirimkan doa, kini saatnya untuk menabur bunga yang ia beli saat perjalanan menunju tempat ini. Senyumnya mengembang setelah melihat gundukan itu terlihat lebih indah.

"Kak, Aya dateng lagi, tapi nggak sama Baba dan Uma. Mereka masih belum mau ke sini. Uma pasti sakit kalau ke sini lagi, makanya Aya nggak ngebiarin. Kalau Aya, mah, udah kuat. Nggak cengeng lagi, hehe," cerita gadis itu pada nisan di depannya, seakan sedang berbicara dengan orangnya langsung.

"Kak, aku udah berhasil nemuin dia. Besok, aku akan bawa dia ke sini. Pasti Kakak kangen, kan, sama dia," sambungnya masih mengembangkan senyum.

Pak Imam yang melihat hal itu hanya diam. Sebenarnya dia tidak tega mengantar Cahaya ke sini, tapi mau bagaimana lagi, juga tidak bisa menolak keinginan gadis yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.

"Yuk, Pak Imam, kita pulang. Bentar lagi Ashar."

Mereka pun meninggalkan tempat itu tanpa menyadari sudah ada yang memerhatikan mereka dari tadi. Dengan rasa penasaran, sosok yang dari tadi memantau dari dalam mobil itu keluar. Ia meminta penjaganya untuk mendorong kursi rodanya ke tempat yang didatangi Cahaya tadi.

"Jadi, tadi Kak Cahaya beli bunga untuk datang ke sini? Bukannya dia sedang sakit?" gumamnya lalu melihat nama yang ada di nisan itu.

"Atef Galang Hanendra."

Keningnya mengerut, mencoba mengingat dimana ia pernah mendengar nama itu.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


-
-

Besok ketemu Luna, ya guys :)

Cahaya Fajar [SELESAI] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang