28. Bidadari

201 54 6
                                    

SIAPA MASIH TUNGGUIN BU PERIII?! gak ada sih kayaknya😔 gapapa ko, salahkan Bu peri kalian yang ngaret dan malesan dan bloon ini adh adh

oiya ini niattt banget di jam setengah tiga dini hari hwhw, ini part yang bener bener diketik cuma dua puluh menit😭 sangat gesit ya, ya sudah, HAPPY READING SEMUA NYAA!

Seperti biasa, koreksi kesalah Bu Peri ya kids!

;

Reyhan POV

Tidak tau apa yang aku pikirkan, bisa-bisanya aku memilih untuk benar benar mencoba tinggal dirumah Bunda untuk beberapa waktu, ingatkan aku jika ini sebuah penyakit baru untukku.

Aku banyak banyak menghela nafas, meyakinkan diri untuk mengetuk pintu rumah Bunda dengan percaya diri, paling tidak di rumah ini ada satu orang yang membuatku nyaman.

Klik pintu membuat tubuhku menegang, rasanya kelu sekali menatap Bunda yang tengah berdiri dengan celmek yang tersampir di pundaknya.

"Reyhan?" Suara lembut itu, aku merindukannya.

"Nda, Reyhan coba dulu ya." Bunda awalnya mengerutkan kening menatapku.

Bagaimana tidak, ini sudah lewat nyaris seminggu. Mana mungkin dengan perkataan ambigu ku bisa membuat orang tau niatku.

Tapi naluri seorang Ibu pasti kental dengan anaknya, Bunda nampak mengangguk sambil tersenyum kecil kearahku.

"Masuk dulu yuk," aku mengikuti langkah Bunda yang masuk kedalam, aku di buat syok dengan apa yang ku lihat, yang entah apa tujuannya hingga dekorasi rumah ini berubah dari saat aku mengunjunginya terakhir kali.

Tatanan rumah ini nampak tidak asing, dimulai dari tatanan kursi ruang tamu saja aku sudah tau ini tatanan yang paling disukai seseorang, rumah luas dengan pernak-pernik yang hanya diperlukan, apa lagi warna kursi dan motifnya yang benar benar aku tau.

"Bun? Kenapa rumahnya..."

"Biar kamu nyaman Rey." Ucapanku dipotong olehnya, sedangkan aku hanya bisa menatap bingung.

Aku mulai melangkah lagi, menuju ruang tengah dan dapur. Tatanannya benar-benar sama, aku tidak mungkin lupa itu.

Tatanan rumahku dulu, rumah yang hanya berisi aku, Bunda, Ayah, dan kak Elya. Otakku menyimpan penuh memori rumah kecilku.

"Ini gak bikin aku nyaman sama sekali Bun." Ujarku parau, rasanya memendam ingatan itu sulit namun kenapa harus diingatkan oleh dekorasi rumah?

Aku tidak menyalahkan pikiran Bunda, namun kenapa juga harus sama percis? Tidakkah ini menyakiti hatinya sendiri, ya?

"Nda, Rey sama sekali gak menuntun ini. Kalo Rey gak mau tinggal sama Bunda gimana? Percuma jadinya kalo Bunda ganti semuanya." Wanita yang paling kusanjung itu berhenti melangkah, menoleh dengan raut sayunya yang sendu.

"Gak apa, Bunda lagi suka nuansa rumahnya." Aku hanya mampu menghela nafas, tak merasa puas atas jawaban Bunda.

Dari pada harus terjerumus pada keheningan, aku memilih mengalihkan pembicaraan dengan pertanyaan yang sepertinya sudah sangat basa-basi.

"Bunda apa kabarnya?" Entahlah, rasanya canggung hanya berada di satu ruangan dengan orang yang pernah membuat diriku kecewa.

"Kamu tau pasti, kenapa gak tanya keadaan orang rumah yang lain?" Aku mengalihkan pandanganku kepojok rumah, tak berniat menatap mata sayunya.

"Gak kenal." Bunda nampak terkekeh, membuatku jadi menoleh padanya.

"Keluarga barumu." Aku menyunggingkan senyum miring, keluarga baru? Hei, mana ada begitu.

"Gak punya."

"Ya sudah rumah baru." Aku mendengus pelan, membuat Bunda makin menatap harap padaku.

"Rumah Rey udah ancur Bun, setelah Ayah pergi dan Bunda juga pergi. Rey gak pernah ngerasa punya rumah, dimana pun dan kapan pun." Sepertinya ucapanku yang ini sedikit menyentil relung hati Bunda, aku sedikit tak enak dengan raut yang ia tunjukkan namun sebisa mungkin aku biasa saja.

"Gak apa, paling nggak Bunda tau apa yang gue rasain." Gumamku dalam hati tentunya, mana tega aku mencetuskan itu secara langsung dihadapan Bunda.

"Rey mau makan dulu gak?" Aku yang kepergok menatapnya langsung mengalihkan perhatian kearah pojok lagi dan menggeleng.

"Nggak, Rey cuma mau ninggalin baju. Rey mau main sama temen." Bunda nampak tersenyum, membuatku menaikkan alis bingung.

"Temen siapa? Perempuan atau laki-laki?" Aku nyaris terkekeh, namun berhasil kutahan.

Ibu-Ibu sama saja, pertemanan anaknya adalah opsi yang paling ingin beliau beliau tau.

"Dua duanya." Bunda mengangguk paham, lalu memicingkan mata.

Wajahnya yang ekspresif sangat mirip dengan kak Elya, berbeda sekali denganku yang sulit berekspresi ini, keturunan Ayah yang sedikit galak, maafkan anakmu Yah.

"Kalo main sama perempuan itu dijagain ya? Siapapun, mau dia cuma temen atau pacarnya Reyhan. Harus dijagain, kalo Rey hargain perempuan itu sama halnya Rey hargain Bunda, kakak, dan adek kamu." Adik? Ah si kecil menggemaskan itu ya? Aku hanya mengangguk pelan.

"Kalo Rey jahat sama perempuan, itu sama hal nya jahat juga ke kami bertiga. Tau'kan? Perempuan itu makhluk Tuhan yang paling rapuh, rentan patah hati dan manusia yang butuh kebaikan. Jadi jangan pernah jahat sama perempuan, sekalipun dia bikin Rey marah." Aku kembali mengangguk, bijaksana sekali Bundaku ini.

"Tapi kalo perempuan itu yang bikin Reyhan rapuh gimana Bun?" Tatapan Bunda nampak kosong, namun senyum dengan gurat tipis di lekukan pipinya nampak membuat sebuah energi baik untukku.

"Bunda banyak kecewain Rey, ya?" Dengan jujur aku mengangguk, Bunda makin menatapku kosong hingga netra beningnya nampak berkaca.

"Reyhan juga pasti banyak kecewain Bunda." Beliau menggeleng pelan, ah! Rasa rasanya aku terlampau ketus pada Bundaku sendiri, namun hatiku masih berat, berat sekali rasanya menerima semua keputusan sepihak yang Bunda buat.

"Rey anak baik, anak gantengnya Bunda yang selalu bikin Bunda bangga." Nyaris saja cairan bening dari mataku menetes, untungnya aku menutup mata erat-erat agar cairan itu tidak jatuh.

"Reyhan pamit ya, nanti paling agak pulang sedikit malem." Ujarku, tak mau lagi terkurung di suasana tak enak ini, tenggorokan ku rasanya tercekat melihat Bunda yang merutuki jalan yang ia pilih.

Aku melangkah pergi, berniat mencari udara segar dari pada harus terkurung dengan suasana yang mencekik diri sendiri.

Terlihat nampak egois, namun kecewa itu sulit sembuhnya. Rasa kesal dan tak terima itu sulit menemukan keadilannya sendiri.

Aku tidak mengerti, kadang kala banyak manusia yang nampak baik-baik saja dengan segala hal yang ia rasakan, salut sekali rasanya.

"Kapan terakhir kali gue senyum cuma karena liat Bunda micing mata kayak tadi?" Aku berkendara dengan pikiran yang hanya memikirkan satu wanita saja, Bunda.

Dia adalah pahlawan perempuan terbaik versiku, namun itu dulu. Setiap pahlawan memiliki kehancurannya sendiri'kan?

Kata pahlawan yang sudah aku sematkan untuknya hancur begitu saja, saat mataku dengan tajam menatap uluran tangan antara suami barunya dan seorang penghulu di hari itu.

Anak laki laki mana yang tidak marah saat bidadari terbaiknya direbut paksa oleh anak lain? Apa lagi disaat Ayah yang juga meninggalkan aku.

Kesannya nampak tidak dewasa, namun rasa sakit itu sungguh menyiksa sekali. Menahan marah sepanjang acara, aku nyaris memberontak untungnya naluri manusia ku lebih lebih pandai.

"Gak masalah, semua hidup itu bermasalah. Selagi masalah itu bisa di selesain, itu gak akan jadi masalah besar. Ya, gue bisa selesain masalah gue sendiri, berdamai dengan segala hal." Tidak masalah bukan? Berbaikan dengan segala masalah yang sudah aku dekap bertahun tahun lamanya?

Azeleo (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang