16 - I call out to you once again

295 42 6
                                    

Summer menautkan dua tangannya rapat. Gemetar itu masih ada, membuat tubuhnya menggigil. Matanya kembali tertuju pada amplop merah yang tergeletak di meja rias.

Surat beramplop merah untuk ke sekian kali, dengan isi yang tidak pernah bisa membuatnya baik-baik saja setelah membacanya. Ia memejamkan mata, mengatus napasnya yang memburu dengan keringat dingin membasahi kening.

'Apa kau pikir semuanya terjadi begitu saja?'

'Gunakan otakmu dan berfikirlah.'

'Apa hidupmu yang sudah malang sejak dulu bisa berubah hanya dalam satu malam?'

'Dan apa kau pikir Riley benar-benar menginginkanmu?'

'Kau sangat menyedihkan.'

Kemudian suara dering ponsel membuatnya menghela napas. Ia menarik ponselnya sebelum menjawab cepat.

"Leon?"

"Ya..." Sahut Leon seperti terkejut mendengar sapaannya yang terburu-buru.

"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu." Summer membasahi bibirnya yang tiba-tiba kering.

"Aku ada di taman terakhir kita bertemu waktu itu." Suara Leon masih terdengar bingung.

"Oke, aku akan kesana." Summer memutus sambungan telpon begitu saja. Ia kemudian bangkit untuk mengambil amplop-amplop merah di laci dan memasukkan semuanya ke dalam tas.

Tidak bisa begini, ia harus segera bertindak. Ia benar-benar tidak ingin surat-surat itu mempengaruhinya.

Jadi Summer memanggil taxi yang agak jauh dari rumah. Ia sengaja tidak berpamitan dengan Doroty yang bertugas menemaninya di rumah. Ia juga tidak meminta Carlos, driver pribadinya untuk mengantar. Karena ia tidak ingin Riley mengetahuinya.

Summer sudah berada di taman, duduk di bangku menghadap air mancur di tempat yang sama dengan tempo hari.

"Ada apa Summer?"

Ia menoleh, melihat ekspresi khawatir di wajah Leon. "Duduklah. Ada yang ingin ku bicarakan denganmu." Summer menggeser duduknya.

Leon kemudian duduk tanpa kembali bersuara. Pria itu seperti tengah mencari-cari jawaban dari ekspresi wajah Summer.

"Bisa bantu aku?" Summer merogoh tasnya, mengeluarkan amplop-amplop berwarna merah dan meletakkannya di sisi bangku yang kosong di antara keduanya.

"Ini?" Leon mengambil satu amplop, membaca kertas kecil yang terselip di dalamnya kemudian tertegun. "Summer." Gumamnya dengan ekspresi khawatir yang kentara sekali.

"Aku sudah mendapatkannya cukup lama. Dan hari ini aku mendapatkannya lagi." Summer membasahi bibirnya. "Awalnya aku ingin mengabaikannya, tapi sepertinya aku tidak bisa. Apalagi di surat kali ini mereka menyebut Riley. Aku tidak bisa diam saja."

"Mereka? Jadi kau tahu siapa yang mengirimnya?"

Summer menggeleng. "Aku tidak tahu tapi aku yakin ini bukan dari satu orang saja."

Leon mengerutkan alisnya. "Oke." Gumamnya tampak sedang berfikir.

"Totalnya sekarang ada 8 surat."

"Dan suamimu tidak tahu menahu masalah ini?" Tebak Leon dan di jawab Summer dengan satu anggukan.

"Dia tidak boleh tahu."

Leon menghela napas panjang. "Kau baru memberitahukannya padaku?"

Summer tidak langsung menjawab. Ia tidak yakin karena beberapa waktu lalu ia sempat pingsan setelah membaca satu surat yang dikirimkan dan saat tersadar surat itu berada di nakas. Ia tidak bisa menjamin bahwa pria bernama Remy yang menolongnya waktu itu melihat dan membaca surat itu atau tidak. Tapi dengan kenyataan bahwa Riley tidak pernah menyinggung masalah ini, mungkin saja si Remy Remy itu tidak mengatakan apapun pada suaminya.

Summer's DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang