Riley melenguh pelan, matanya mengerjap mulai beradaptasi dengan sinar matahari yang memantul dari celah gorden. Ia menoleh ke samping, ke sisi ranjang lain dan tidak menemukan Summer di sana. Tatapannya berpindah ke nakas melihat jam digital yang menunjukkan pukul 7 pagi. Kemana wanita itu? biasanya Summer masih berada di ranjang menungguinya bangun.
Riley bangkit kemudian mengernyit, kepalanya pusing sekali hingga membuat langkahnya hampir limbung. Ia memejamkan mata, memijat pelipisnya pelan sebelum masuk ke dalam kamar mandi untuk bersiap ke kantor.
Tepat jam 7.40 ia sudah berada di meja makan. Seperti biasa ada kopi dan roti isi yang menjadi menu sarapannya, namun lagi-lagi ia belum menemukan keberadaan Summer di sana.
"Doroty, bisa panggilkan nyonya kesini?"
Pelayan rumah tangga yang bernama Doroty itu menatapnya heran. "Nyonya Summer izin pergi pagi-pagi sekali. Saya pikir tuan sudah tahu."
Riley mengangkat satu alisnya. Tidak biasanya Summer berlaku seperti itu, apalagi padanya. Kemudian ingatan semalam mengusik, bagaimana ia memaksa Summer melayaninya, bagaimana ia menumpahkan amarahnya pada wanita itu. Ia berdecak, sebenarnya apa yang sudah ia lakukan!
Buru-buru Riley mengambil kunci mobil, bergegas untuk mencari keberadaan wanita itu. Pikirannya kacau, merasa menyesal. Tidak seharusnya ia melakukannya semalam dan tidak seharusnya ia menumpahkan kemarahannya pada wanita yang sama sekali tidak tahu menahu soal apapun itu.
"Dawn. Cari Summer, SEKARANG!" Teriaknya kemudian memutus sambungan telpon dan kembali membuka barisan kontak untuk mencari nama Remy. "Bantu aku cari Summer. Ya. Kerahkan seluruh pegawaimu, aku akan membayar berapapun. Ya. Oke. Aku tunggu."
Riley kemudian mengemudikan mobilnya membelah kota New York yang padat di jam kerja. Ia melirik ponselnya yang sedang menyambungkan telpon ke nomor Summer berkali-kali namun belum ada jawaban dari wanita itu.
Sampai telponnya kembali berdering. Dari Dawn.
"Aku menemukannya."
Riley menghentikan laju mobilnya, menepi. "Dimana?"
"Taman Columbia University."
"Oke. Terima Kasih." Riley sudah menginjak gasnya saat Dawn kembali bersuara.
"Kau tidak akan senang melihat ini."
"Apa?"
Dawn berdeham di ujung sana. "Summer sedang bersama Leon sekarang."
Cengkraman Riley pada kemudi mengetat. Matanya memerah, pusing itu kembali menghantamnya. Ia memutus sambungan telpon begitu saja.
Jika kejadian ini kemarin, mungkin ia akan datang ke tempat yang Dawn sebutkan. Menarik paksa Summer untuk pulang dan tetap berada di sisinya. Namun tidak untuk saat ini, karena sekarang Riley sedang tidak yakin dengan kepercayaan dirinya sendiri.
***
Summer masih menangis di sana, bingung harus melakukan apa. Pagi-pagi sekali ia pergi dari rumah, entah untuk apa dan kemana. Ia tidak punya tujuan dan tidak punya apapun yang bisa menjadi tempat berlindung baginya.
Namun akhirnya ia memilih menelpon Leon untuk menemaninya. Sebenarnya Summer tidak keberatan sendiri, ia selalu melakukannya sejak dulu. Sendirian dalam keadaan sesulit apapun. Namun saat ini, ia benar-benar sedang ingin mengadu akan nasib buruk yang seakan selalu mengikutinya.
Leon memang bukan tujuan, pria itu sudah tidak menjadi tempatnya 'pulang' namun sekarang hanya Leon yang mengerti dirinya daripada siapapun. Termasuk Riley. Dan ia meringis perih saat mengingat nama itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer's Desire
Romance[END] [18+] Summer ingat hari itu, saat ia mempersiapkan pernikahannya dengan Leon. Gaun pengantin, venue, bahkan makanan sudah ia siapkan dengan sempurna. Tidak ada yang ganjil, ia tidur dan bangun tanpa melewati keganjilan apapun, kecuali malam it...