20 - Then I will bloom on that day

384 36 9
                                    


Riley berlari melewati lorong-lorong rumah sakit. Wajahnya memerah dengan bibir yang tidak henti-hentinya berdoa. Semoga salah semoga tidak benar. Ia berbelok di ujung lorong, mencari kamar rawat yang menjadi tempat tinggalnya kurang lebih lima bulan kebelakang.

Pintu terbuka, selain ada ibu dan ayahnya. Ada Edward di sana bersama salah seorang dokter rumah sakit yang mereka percayai menangani Summer. Raut wajah mereka tegang, sama sekali tidak seperti yang Riley harapkan. Dan ia tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.

Riley menghambur ke ranjang rawat, melihat Summer yang kini memakai alat pernapasan di hidung dan monitor pendeteksi detak jantung berbunyi monoton di samping ranjangnya. Tangan Riley terangkat menggenggam tangan Summer dan mencium pelipisnya lama.

"Jantung Summer sempat berhenti berdetak, tapi kami berhasil menyelamatkannya." Jelas Edward.

Riley memejamkan matanya, keningnya masih di tempelkan ke kening Summer. Napasnya masih memburu.

"Keadaannya sudah kembali stabil tapi hal ini mungkin akan terjadi lagi." Tambah Edward, tidak seperti biasanya kali ini ia menjelaskan kondisi Summer dengan jelas tanpa menutupi apapun. "Jadi kau harus bersiap kalau-"

"Bersiap untuk apa?" Sela Riley cepat, ia menjauhkan wajahnya dari summer menoleh pada Edward dengan tatapan tajam. "Apa yang harus kusiapkan?!"

"Riley," Ibu melangkah maju, menggapai tangannya yang bebas yang masih bergetar itu.

"Summer akan baik-baik saja kan bu?" Riley bertanya walaupun ia sendiri ragu. "Aku tidak harus bersiap untuk apapun!"

Ibu mengangguk, matanya sudah kembali basah. "Kau benar, Summer akan baik-baik saja." Ucapnya meyakinkan.

"Sebagai dokter aku hanya menyampaikan apa yang harus ku sampaikan," Edward kini balas menatap Riley.

"Dan menyuruhku menyerah?"

"Bukan menyerah tapi bersiap untuk kemungkinan apapun yang terjadi nanti."

Riley menggeleng, wajahnya tampak gerah. "Keluar."

"Riley," Edward siap untuk kembali mendebat namun Riley kembali bersuara.

"Keluar." Katanya penuh penekanan. Dan Edward memilih keluar dari ruang rawat dengan raut menyesalnya itu.

Riley memejamkan matanya memijit pelipisnya. Baru saja ia ingin menyampaikan berita bahagia bahwa ia sudah mendaftarkan pernikahannya dengan Summer di catatan sipil. Namun kini semua itu menguap menjadi satu hal yang tidak ingin ia ceritakan lagi.

"Ayah dan Ibu juga sebaiknya pulang."

Naomi terlihat akan mendebat saat Sean merangkul pundak istrinya, mengangguk pelan. "Hubungi kami kalau butuh sesuatu."

Riley hanya mengangguk dan membiarkan ruangan itu kembali sunyi. Ia duduk kembali di sisi ranjang, kembali menggenggam tangan Summer.

"Hai bagaimana kabarmu hari ini?" Ia mengelus pipi wanita itu dengan tangannya yang bebas. "Hari ini aku tidak lelah, jadi aku ingin menatapmu semalaman ini. Boleh?"

Riley membaringkan tubuhnya miring disisi Summer. Sebelah tangannya memeluk tubuh wanita itu. Menatapnya lekat. Ia kemudian memejamkan mata setelah menyerukkan wajah di pundak Summer.

"Aku bohong." Akunya. "Sebenarnya aku lelah sekali hari ini. Tapi aku senang karena bisa memelukmu sekarang."

Ia tersenyum sendiri, mencium pipi Summer.

"Maaf karena aku selalu menganggumu, ya." Gumamnya lirih. "Aku tidak bisa pulang ke rumah. Karena aku tidak tahu rumah seperti apa yang seharusnya aku tinggali. Bagiku rumah adalah tempat di mana ada kau di dalamnya."

Summer's DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang