Malam ini hanya Krist yang berada di rumah. Papa dan Mama pergi karena ada urusan pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Harapan Krist hanya Singto pulang. Krist takut sendiri.
Namun hingga jam 12 malam, Singto belum menunjukkan tanda-tanda dirinya akan pulang. Krist masih menunggu di kursi ruang tamu.
"Abang kok belum pulang ya? Sudah malam. Besok kan masih sekolah. Apa Abang tidur di tempat kemarin juga?"
Krist melihat pergelangan tangannya yang sedikit membengkak dan memerah. Setelah pulang sekolah, Krist mengkompres tangannya, tak lupa Krist meminum obat pereda nyeri.
Krist memainkan HP-nya. Melihat menu masakan di Youtube. Krist bahkan melihat beberapa menu.
Terdengar ketukan pintu. Krist mengenali suara teriakan dari luar itu. Suara Singto yang berteriak. Krist segera berlari menuju pintu.
Setelah membuka pintu, terlihat keadaan Singto yang berantakan. Bau alkohol tercium oleh hidung Krist.
"Abang, kok mabuk?"
Singto mendorong tubuh Krist dan berjalan melewati Krist. Namun baru beberapa langkah, Singto terjatuh, dirinya tak mampu menahan tubuhnya tetap seimbang. Krist segera membantu Singto, namun lagi-lagi Singto menolak.
"Bang, Krist bantu ya. Abang pasti susah kalau jalan sendiri."
Singto tetap menolak, namun Krist dengan keras kepalanya membantu Singto berjalan.
"Gue, gak mauu lo bantuin. Gue bisa sendiri."
"Gimana mau jalan sendiri, ini di lepas paling juga nyium lantai lagi," ucap Krist pelan.
"Jangan pegang gue, anak pungut. Lo ngerti bahasa manusia gak sih?"
Krist belum melepaskan pegangannya pada tubuh Singto. Sesampainya di kamar, Krist menidurkan Singto di ranjangnya.
"Aku harus gantiin bajunya ya? Duh nanti kalau Abang sadar kalau aku yang gantiin bajunya gimana? Belum juga baikan, masak makin dibenci?"
Krist berjalan bolak-balik, dirinya belum berani mengganti baju Singto.
"Ganti sajalah, takut Abang gak nyaman pakai baju kayak gitu."
Krist mengambil baju yang ada di lemari Singto. Baju kaos dan celana pendek. Krist kembali ke ranjang Singto, terlihat Singto yang tertidur dengan nyenyaknya. Krist mulai mengganti baju Singto dengan baju yang sudah dia ambi.
"Abang, nanti kalau bangun jangan marah-marah ya, Krist cuma bantuin Abang kok biar tidurnya nyenyak."
Setelah selesai mengganti baju Singto, tiba-tiba Singto terbangun dan muntah. Krist menatap kejadian itu dengan wajah memelas.
"Baru juga diganti, sekarang sudah kotor lagi."
Dengan tak ada dosanya, Singto kembali tidur. Krist yang melihat muntah Singto segera menuju dapur untuk mengambil alat apa saja yang bisa untuk membersihkan muntah itu.
Krist kembali dari dapur, dia membersihkan muntah Singto dengan sabar. Sesekali mendengar Singto yang menyumpahi dirinya.
Setelah selesai membersihkan, Krist mengambil baju Singto lagi. "Semoga gak muntah lagi. Semoga," ucap Krist dengan nada berharap.
Krist kembali mengganti baju Singto. Baju kotor diletakkan di tempat khusus pakaian kotor. Selesai mengganti, Krist berniat kembali ke kamarnya. Namun melihat keringat yang membasahi kening Singto, membuat Krist curiga. Tangan Krist memegang kening Singto.
"Kok panas sih?"
"Aduh, Papa sama Mama gak ada di rumah lagi. Aku kan gak tahu dimana mereka letakkin kotak obatnya."
"Masak aku beli malam-malam kayak gini?"
"Duh gimana ya?"
Krist berfikir hampir 5 menit, dan akhirnya dia memilih untuk membeli obat di apotik terdekat dari rumahnya.
Krist keluar dari rumah tanpa memakai jaketnya. Udara malam membuat dirinya merasa kedinginan, namun yang dipikirkannya sekarang hanya kesembuhan Singto.
Krist memasuki apotik dan memesan beberapa obat penurun panas untuk diminum nanti dan untuk di simpan.
Krist berjalan dengan cepat agar bisa kembali ke rumah dengan segera. Dia takut Singto semakin parah.
Sesampainya di rumah, tak lupa Krist ke dapur terlebih dahulu untuk mengambil air minum obat. Krist masuk ke dalam kamar Singto, terlihat tubuh Singto yang menggigil.
Krist membangunkan tubuh Singto untuk meminum obat. "Abang, bangun yuk! Minum obat dulu."
Singto membuka matanya, badannya terasa lemas. Dia tak bisa melawan di rangkulan Krist. Krist dengan cepat memasukan obat itu ke dalam mulut Singto, lalu memberikan air. Singto selesai meminum obatnya.
Singto kembali tertidur. Krist tak ingin kembali ke kamarnya, dia takut Singto membutuhkan bantuannya. Tak lama, Krist kembali mendengar suara Singto. Lebih tepatnya, seperti Singto yang menangis.
"Kenapa harus lo yang jadi adik gue? Kenapaaa?"
"Gue gak mau kalau lo yang jadi adik gue. Gue mau yang lain."
"Kenapa hidup gue sesial ini? Kenapa? Gue cuma mau bahagia."
Krist yang panik segera menggenggam tangan Singto. "Maafin Krist, Bang. Maafin."
"Tenang ya, Bang. Tenang."
Krist khawatir. Namun semakin lama, Singto semakin menangis.
"Gue mau lo pergi dari hidup gue. Gue gak mau lihat lo."
"Iya, nanti Krist pergi ya, Bang. Tapi Abang tenang."
Krist tak sadar kalau Singto hanya mengigau. Bagi Krist, yang terpenting sekarang kesembuhan Singto.
"Abang, tidur lagi ya. Mimpi indah."
"Gue benci lo, tapi gue gak mau kalau lo pergi, Krist. Gue gak mau kehilangan lo. Gue gak bisa kalau gak lihat lo. Dan gue gak mau lo jadi adik gue."
Krist mengelus kening Singto dengan halus. Perlahan terdengar suara dengkuran halus.
"Iya, nanti Krist bakal balik ke panti, Bang. Tapi bolehkan Krist egois sebentar? Krist cuma mau ngerasain kasih sayang orang tua. Setelah itu, Krist janji gak bakal ganggu Abang sama keluarga Abang lagi. Krist bakal benar-benar pergi."
"Segitunya ya Abang gak bisa nerima Krist? Padahal Krist juga mau ngerasain kasih sayang Abang. Krist pengen ngerasain punya Abang, Krist pengen ada teman curhat, Krist pengen ada yang belain Krist waktu Krist dibully."
"Ternyata Krist gak diterima ya sama Abang. Maaf Bang, tahan ya sebentar lagi Krist bakal pergi."
Krist duduk di bawah ranjang Singto, tangannya menggenggam tangan Singto. Dia masih khawatir dengaj keadaan Singto. Dia berharap besok keadaan Singto membaik.
Krist tertidur dengan keadaan duduk. Kepalanya bersandar di kasur ranjang Singto. Malam ini, Krist mengucapkan janji yang bakal di sesali oleh Singto.
🕊️🕊️🕊️🕊️
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Terlambat [ Singto x Krist ] ✓
FanfictionSingto yang terbiasa menjadi anak tunggal dengan tiba-tiba harus menjadi seorang kakak. Orang tua Singto membawa remaja dari panti asuhan. Singto benci ketika harus berbagi kasih sayang. Singto akan membuat adiknya tidak betah di keluarganya. Penyik...