Bayi

1K 81 5
                                    

Singto masuk ke dalam kamar Krist, bukan ke kamarnya. Melihat sekeliling kamar Krist. Buku-buku Krist masih tertata rapi di mejanya. Singto menatap foto Krist yang tertawa bersama Papa dan Mama. Senyuman muncul di bibirnya.

Singto beralih menuju lemari pakaian Krist. Terlihat banyak baju baru yang tertata rapi. Singto menatap baju satu-satunya yang terlihat sangat lusuh. "Baju kamu masih di sini, Krist. Katanya kamu mau pulang? Aku, Papa sama Mama nunggu kamu pulang."

Singto beralih menuju meja belajar Krist, lalu duduk di kursi itu. "Kursi ini dingin, Krist. Kembali. Duduk dan belajar lagi di sini."

Singto melihat ke arah buku yang tertata, ada satu buku yang membuat Singto sangat penasaran. Singto mengambil buku itu lalu membukanya.

Halaman pertama, ada tespek yang di tempelkan di buku itu. Singto melepaskan tespek itu dari lembaran buku. "Ini anak guekan?" Singto membaca tulisan yang ada di halaman itu.

"Bayi, kamu hadir. Untuk sekarang, aku memang belum siap untuk memiliki anak, tapi aku gak mungkin bunuh kamukan? Kamu gak salah apa-apa, jadi kenapa aku harus bunuh kamu? Gak ada yang siap untuk punya anak diumur muda. Bahkan, aku gak tahu siapa Ayah kamu. Tragiskan nasib kita bayi? Aku dibuang sama orang tua aku, sedangkan kamu, lahir tanpa Ayah. Mungkin aku bisa besarin kamu tanpa pasangan, tapi aku takut. Takut suatu saat nanti, kamu tanya siapa Ayah kamu. Aku harus jawab apa? Aku takut gagal didik kamu. Aku takut gagal. Aku gak mau kamu kena hinaan semua orang." Air mata Singto menetes. Suara Singto seperti tak bisa keluar lagi.

"Bayi. Kalau sudah besar, jangan tanya Ayah kamu ya. Aku janji, aku bakal berusaha yang terbaik buat kamu. Tapi... kamu bakal malu gak ya punya Papa kayak aku? Aku takut kamu malu, Bayi. Aku takut kamu nolak aku sebagai orang tua kamu. Aku takut kamu gak nerima aku. Kita cari susu yang baik buat perkembangan kamu ya." Singto meletakkan tespek itu di sela buku.

Singto menghapus air matanya. "Semua kacau ya, Krist? Semua gara-gara aku yang gak becus. Aku terlalu pecundang untuk perjuangin kamu. Aku terlalu takut sama dunia." Singto membalik lembaran halaman itu.

Ada tespek kedua, lalu Singto mengambil lagi tespek itu. Melihat dengan jelas garis dua yang ada di tespek itu. "Bayi... aku Ayah kamu. Kamu di sana sendirian ya? Tunggu Ayah ya." Singto membaca kembali tulisan yang ada di lembaran itu.

"Kamu beneran ada. Aku kira karena aku panik jadinya salah baca tanda. Tapi gak papa, hari ini aku sudah ikhlas. Aku gak boleh egois tentang hidup aku. Sekarang ada kamu yang harus aku hidupi juga. Tadi aku sudah minum susunya. Gimana enak gak? Atau kamu mau yang lain? Ah maaf, aku hanya mampu beli yang itu. Aku gak punya uang. Tapi aku janji, aku bakal cari kerja buat belikan kamu susu yang enak. Kamu di perut aku sampai berapa bulan? Hm kamu cowok atau cewek ya? Ah kamu mau aku bacakan buku dongeng juga gak? Nanti kita beli ya. Bayi... kamu cepat lahir dong, aku mau genggam tangan kamu. Aku mau cium pipi kamu yang bulat itu. Aku sering lihat bayi di panti dulu. Pipinya bulat, lucu. Tangannya kecil, kulitnya halus banget. Tapi aku gak tahu kenapa kulit kalian memerah. Bayi... aku pengen banget dengar kamu nangis. Setidaknya aku gak merasa kesepian. Aku takut sendiri." Dada Singto seperti tertusuk duri, Sakit. Tenggorokannya semakin sakit karena menahan suara untuk keluar.

"Bayi... kamu sehat-sehat ya. Bulan depan, kita lihat perkembangan kamu. Kita lihat sebesar apa kamu." Singto meletakkan kembali tespek itu, lalu membalik halaman berikutnya.

Terlihat hasil USG di lembaran itu. Singto tak mengerti tentang foto itu, namun Singto terlihat sangat bahagia. Singto kembali membaca tulisan itu.

"Bayi... aku kurang kasih nutrisi buat kamu ya? Maafin aku. Dokternya jahat ya, Bayi. Masak aku suruh bunuh kamu. Padahal, aku yakin kamu bisa lahir dengan selamat. Bayi... aku takut. Penyakit HIV ini bakal buat kamu sengsara. Aku takut kamu kenapa-kenapa. Aku gak mau kamu ketularan juga. Aku gak becus banget jagain kamu. Aku harus apa, Bayi? Aku harus apa? Kenapa kehidupan aku gak ada yang benar ya? Apa aku ada salah besar banget sampai Tuhan marah sama aku? Aku yakin, kita bisa selesai sampai akhir ya, Bayi? Kita berjuang. Papa janji, gak bakal nularin kamu." Singto meremas lembaran itu.

Air matanya kembali menetes. "Ini semua salah gue. Semua salah gue. Gue gak becus. Gue manusia paling brengsek." Singto menghantamkan kepalanya di meja belajar Krist. "Gue pantes mati. Gue pantes mati. Gue gak layak hidup." Darah menetes dari kening Singto.

Mama masuk ke dalam kamar Krist. Mama melihat Singto yang menghantamkan kepalanya ke meja, berlari lalu memeluk Singto. "Sing, kamu kenapa? Jangan sakitin diri kamu sendiri. Jangan gila, Sing."

Singto menangis dalam pelukan Mama. "Ma, Singto pengen mati. Singto gak mau hidup lagi, Ma. Singto pengen mati. Singto bunuh anak Singto. Singto gak becus jadi manusia."

Mama mengeratkan pelukannya. "Jangan kayak gini. Krist pasti sedih lihat kamu kayak gini. Sudah ya. Kamu siap-siap. Sebentar lagi mau tutup peti. Ingat ya, jangan sampai air mata kamu kena Krist. Krist sudah cantik."

Singto menggeleng. "Krist belum pergi, Ma. Krist janji bakal pulang. Aku masih nunggu, Krist, Ma."

"Sing, dengerin Mama. Coba terima kenyataan. Jangan buat Krist semakin berat meninggalkan dunia. Kalau kamu gak mau lihat Krist untuk yang terakhir, gak papa. Sebentar lagi kita bakal nguburin Krist." Mama melepaskan pelukannya.

Singto masih menatap lembaran yang sudah ada tetesan darah itu. "Kita baca lagi nanti. Sekarang, aku antar kamu ke tempat istirahat kamu, untuk yang terakhir kalinya. Aku mau lihat secantik apa kamu di saat terakhir. Alu harap, nanti kita bisa bersama." Singto menutup buku itu. Dengan langkah lemah, Singto menuju kamarnya untuk mandi. Dia tak ingin terlihat jelek di mata Krist, walau Krist tak melihatnya.

🕊️🕊️🕊️🕊️🕊️

Maaf, lama update. Jaga kesehatan ya, apalagi kesehatan mentalnya.

Aku Terlambat [ Singto x Krist ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang