Singto bangun terlebih dahulu. Dia melihat Krist yang masih tertidur. Singto tak berniat membangunkan Krist. "Selamat pagi sayang. Tidur nyenyak ya, maaf kalau gue nyakitin lo."
Singto mencium pipi Krist lalu mencium bibir Krist. Singto tersenyum menatap Krist. "Gue sekolah dulu. Lo tidur nyenyak saja di rumah."
Singto bangun dari tempatnya, lalu merapikan selimut yang menutupi Krist. Singto memasuki kamarnya.
Krist terbangun dari tidurnya. Matanya masih terasa berat, namun tubuhnya merasa kedinginan. Krist melihat badannya di balik selimut, naked. Wajah Krist memandang tak percaya. "Lagi?"
Krist memeluk lututnya. "Kenapa bisa? Aku ngecewaiin Papa sama Mama lagi? Aku gak becus jadi anak. Pa, Ma, pulang."
Tangisan Krist semakin menjadi. Singto yang mendengar tangisan Krist segera menghampiri Krist. "Kenapa sih? Pagi-pagi sudah berisik?"
Krist tak menjawab, badannya bergetar, pandangan Krist kosong, menatap tembok di depannya.
Singto mendekat ke arah Krist. Dia menatap Krist sendu lalu duduk di samping Krist. "Woy..." Tak ada jawaban dari Krist.
Singto memegang tangan Krist. Tak ada penolakan, Krist hanya terdiam. "Kenapa diam?" Lagi-lagi tak ada jawaban dari Krist.
Singto menghapus air mata Krist yang terus mengalir. "Jangan nangis. Jangan bikin gue ngerasa bersalah."
Krist masih terdiam. Singto ingin memeluk Krist, namun dengan cepat Krist menghindar.
"Kenapa, Bang?" tanya Krist pelan, suaranya tak mampu lagi untuk keluar. Tenggorokannya terasa sakit karena menahan tangisan.
"Maaf, maafin gue. Jangan menghindar dari gue." Singto ingin memeluk Krist, namun Krist kembali menghindar.
"Kenapa? Kenapa harus kayak gini? Kenapa gak sekalian bunuh aku? Kenapa Abang gak bunuh raga aku? Kenapa cuma mental aku? Aku tahu, aku egois. Tapi aku cuma mau dapat kasih sayang orang tua saja. Walau sebentar aku cuma ingin itu. Aku gak pengen ambil kasih sayang Papa sama Mama buat Abang. Mereka masih sayang Abang, karena Abang anak kandung mereka." Tenggorokan Krist semakin sakit.
"Bunuh aku, Bang. Aku capek. Aku capek kalau harus kayak gini terus. Segitu fatalnya egois aku? Sampai-sampai Abang ngebunuh mental aku kayak gini?"
Air mata Krist terjatuh. Krist menatap Singto. "Ah iya, kalau Abang bunuh akukan, Abang bisa dipenjara. Hm... ya.. ya.. aku paham sekarang. Terus saja, Bang. Hancurin mental aku, hancurin semua yang aku punya. Abang mau Papa sama Mama kan? Silakan, tapi tolong biarkan aku tinggal di sini sebentar saja. Kalau aku sudah lihat kalian bahagia, aku bakal pergi."
Singto terdiam. Badannya seolah kaku mendengar kata-kata Krist. "Bukan lo yang egois, Krist. Tapi gue. Gue gak bisa ungkapin semua perasaan gue. Maaf kalau gue ngelukain lo," batin Singto.
Krist tersenyum, namun berbeda dengan matanya yang terus menangis. "Kenapa Abang diam? Abang gak suka dilawankan? Kenapa gak jambak aku? Kenapa gak tampar aku? Kenapa diam? Apa Abang sudah capek? Aku juga capek, Bang." Suara Krist semakin serak. "Aku capek harus bohong tentang luka aku. Aku capek harus terus pura-pura. Aku capek pura-pura normal padahal aku putus asa. Aku pengen mati. Tapi aku gak mau buat Mama nangis. Aku bingung, Bang. Aku pengen banget mati, tapi aku dipaksa bertahan."
Krist menundukkan kepalanya. Dada Krist terasa sesak, tenggorokan Krist terasa sangat sakit.
Singto melihat jam tangannya. "Gue mau sekolah. Lo tadi bilang gue boleh terus hancurin mental lo kan? Oke gue turutin. Tunggu saatnya saja." Singto keluar dari kamar Krist.
Krist terus menggenggam erat lengan bajunya. "Mama.. Mama.. Mama.. aku harus bertahan demi Mama. Aku harus bertahan. Aku harus bertahan buat pelukan Mama." Krist terus mengulangi kata-kata itu.
🍰🍰🍰🍰
Singto sampai di sekolahnya, namun tak langsung masuk ke dalam kelas. Entah mengapa perasaan Singto menjadi gelisah. Dia masih kepikiran dengan ucapan Krist. Dia tak mau Krist semakin tersiksa.
Singto berjalan menuju gudang sekolahnya. Tak akan ada murid dan guru yang akan datang ke gudang itu.
Singto duduk di salah satu meja tak terpakai di gudang itu. Mengeluarkan rokok di dalam sakunya. Singto sudah lama tak merokok, namun hari ini dia kembali merokok.
Seseorang memasuki gudang itu. Melihat Singto yang sedang sendiri, dirinya tersenyum.
Singto menatap orang yang berada di depannya. "Ngapain lo di sini?" tanya Singto dengan wajah tak santainya.
"Cuma mau negosiasi saja. Tentang adik lo."
Singto semakin tak suka menatap orang di depannya. "Ghian.. Ghian.. tahu apa lo tentang adik gue?"
Orang yang di panggil Ghian semakin tersenyum. "Gue mau tubuh adik lo. Gue tahu lo sudah tidur sama adik lo kan? Gimana kalau gue sebarin video lo yang lagi HS sama adik lo? Gila sih, desahan adik lo."
Singto terpancing emosi. "Bangsat, maksud lo apa? Dapat darimana lo video itu?"
"Gak perlu lo tahu, gimana? Cuma sekali kok. Gue bayar deh, dan gue janji videonya tetap aman," ucap Ghian dengan santainya.
Singto gelisah. Dia tak ingin Krist di pandang jelek oleh semua orang, namun dia juga tak ingin memberikan Krist buat Ghian.
Lama Singto terdiam. "Oke, cuma sekali. Jangan lo sebarin video itu. Sampai adik gue kenapa-kenapa. Mati lo ditangan gue."
Ghian tertawa. "Yakin lo anggap dia adik? Gue tahu semuanya, Sing. Lo cintakan sama dia? Tapi sayang banget ya, dia jadi adik lo."
"Kasian banget, dulu mengagumi dalam diam, eh, sekarang jadi adik. Gak enak banget nasib lo."
Singto menonjok Ghian. "Diam lo bangsat. Setelah tidur sama Krist, hapus video lo. Gue gak mau nama Krist jadi jelek." Singto meludahi Ghian. "Gue kabarin kalau orang tua gue gak ada di rumah. Ingat lo cuma boleh main sekali."
Singto meninggalkan Ghian di gudang. Sedangkan Ghian tersenyum bahagia walaupun bibirnya berdarah. "Gue gak bakal lepasin Krist buat siapapun. Setelah gue tidur sama Krist, Krist cuma milik gue."
Ghian tertawa. "Goblok lo, Sing. Gue gak mungkin nyebarin video kesayangan gue. Lo kalah, Sing."
Ghian tertawa sendiri di gudang, sedangkan Singto masuk ke dalam kelas. Wajah Singto tak bisa di tebak. Satria dan Rian hanya diam, tak ingin ikut campur urusan Singto.
🕊️🕊️🕊️🕊️
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Terlambat [ Singto x Krist ] ✓
FanfictionSingto yang terbiasa menjadi anak tunggal dengan tiba-tiba harus menjadi seorang kakak. Orang tua Singto membawa remaja dari panti asuhan. Singto benci ketika harus berbagi kasih sayang. Singto akan membuat adiknya tidak betah di keluarganya. Penyik...