Rumah sakit

1.2K 110 25
                                    

Pagi ini, Singto terlihat lebih bahagia. Singto berpikir, akan memulai semuanya dari awal. Singto juga berpikir, Krist akan kembali ke rumah hari ini.

Papa dan Mama sudah duduk di meja makan, Singto menghampiri Papa dan Mama. Terlihat wajah Mama yang lelah.

"Ma, jangan kecapekan, nanti Krist bakal pulang kok." Singto tersenyum.

Mama hanya mengangguk. "Ya sudah makan dulu." Mama mengambil piring Papa, lalu meletakkan nasi dan lauk. Setelah selesai, Mama meletakkan piring itu di depan Papa. Begitupun dengan piring Singto.

Tak ada percakapan selama di meja makan. Papa dan Mama yang fokus dengan makanan, sedangkan Singto yang merasa senang karena akan menjadi keluarga yang utuh kembali.

Singto selesai memakan makanannya. "Pa, Ma, Singto berangkat dulu ya."

Mama mengangguk. "Iya, hati-hati ya."

Singto mencium tangan Papa dan Mama, lalu berangkat menggunakan motornya. Singto mengendarai motornya dengan kecepatan standard.

Sesampainya di sekolah, Singto langsung menuju ke kelasnya. Selama berjalan menuju kelas, semua menatap Singto. Terdengar bisikan dari siswa-siswi sekolah itu.

Singto masuk ke dalam kelas, namun sebelum duduk di kursinya, Ghian masuk ke dalam kelas. Tangan Ghian menarik seseorang yang Singto kenal. Ghian mendorong seseorang itu hingga terjatuh di depan Singto.

"Kenapa nih?" tanya Satria yang melihat adegan itu.

"Dia yang nyebarin video Krist," ucap Ghian santai.

Singto menatap orang itu. Tangan Singto menjambak rambutnya. "Bangsat, gara-gara lo, Krist sengsara bangsat. Dia anggap lo sahabatnya, tapi lo? Kelakuan lo gak mencerminkan itu sama sekali. Kalau wajah jelek, setidaknya sifatnya baik. Lah lo keduanya," bentak Singto.

Nada menatap Singto. "Gue gak mau Krist dekat sama Ghian. Ghian cuma milik gue."

Ghian menendang Nada. "Najis gue sama cewek modelan lo. Mending Krist lah."

Singto mendorong Nada hingga mengenai kaki Ghian. "Lo urus dia. Balasin dendam Krist. Jangan buat dia hidup tenang." Singto menatap Ghian.

Singto ingin melewati Ghian, namun sebelum berlalu, Singto membisikan sesuatu ke Ghian.

"Lo tenang saja, anak lo sudah gak ada. Gue jamin Krist hanya milik gue," ucap Singto pelan.

Ghian menatap Singto. "Maksud lo apa? Anak apa?"

"Gak usah pura-pura lupa lo." Singto menatap malas Ghian.

"Bangsat." Ghian menarik kerah baju Singto. "Lo jual Krist ke siapa lagi? Bangsat tahu gak lo? Gue selama main sama Krist pakai kondom bangsat. Mati lo ditangan gue." Ghian mulai memukul Singto.

Singto yang masih terkejut mendengar perkataan Ghian, tak melakukan perlawanan apapun.

Singto mendorong Ghian, dan berlari keluar kelas. Dirinya ingin pulang untuk bertemu Krist. Perasaan Singto selama ini benar, anak yang dikandung Krist, anaknya. Bukan anak Ghian. Singto merasa dirinya sendiri pembunuh.

Singto sampai di parkiran, namun ponselnya berbunyi. Singto melihat nama yang ada di panggilan itu, Mama. Singto mengangkat panggilan.

Singto terdiam cukup lama. "Iya, Ma. Singto kesana sekarang." Wajah Singto berubah menjadi panik.

Dengan cepat Singto mengendarai motornya. Tak peduli dengan sekolahnya. Singto melewati satpam yang berjaga di gerbang sekolah.

Sesampainya di rumah sakit, Singto segera menuju ke ruang rawat yang telah di beritahu oleh Mama. Terlihat Mama yang menunggu di depan ruang rawat. Singto menghampiri Papa dan Mama.

"Ma," panggil Singto.

Mama menatap Singto. "Krist, Sing. Krist mau bunuh diri."

Wajah Singto seketika memucat. "Ma tenang ya, Krist kan anak kuat, dia pasti bisa bertahan."

Sebelum Mama kembali mengucapkan kata, terdengar suara teriakan Krist.

"Lepasin... Aku mau mati.. kenapa aku di sini? Aku mau nyusul anakku.." teriakan Krist terdengar sangat memilukan.

"Kenapa aku masih hidup? Aku mau mati? Kenapa kalian nolong aku. Aku mau sama anak aku. Aku mau peluk anak aku."

"Kenapa kalian mempersulit hidup aku. Aku cuma mau mati."

Lambat laun suara Krist menghilang. Mama semakin khawatir karena tak mendengar suara Krist. "Pa, pa, suara Krist gak ada, Pa. Krist gak papakan, Pa?"

Papa hanya mengelus punggung Mama, berharap lebih tenang. Singto berdiri di depan pintu kamar Krist. Tak lama dokter keluar dari kamar Krist. Mama segera menghampiri dokter itu.

"Dok, gimana keadaan anak saya?" tanya Mama khawatir.

Dokter tersenyum. "Anak ibu sudah tenang, tanpa harus kita bius, dia sudah bisa mengendalikan emosinya sendiri."

"Boleh saya masuk?" tanya Singto.

Dokter mengangguk. "Boleh, saya permisi dulu ya, Pa, Bu."

Dokter itu meninggalkan Papa, Mama, dan Singto. Tanpa basa-basi, Singto masuk ke dalam kamar rawat Krist.

Singto melihat Krist yang hanya menatap ke arah luar. Menatap keluar dengan tatapan kosong. Singto menghampiri Krist, lalu menggenggam tangan Krist.

"Maaf, maafin aku Krist." Singto mencium tangan Krist.

"Maafin gue, Krist. Maaf karena gue bodoh. Maaf karena buat anak kita pergi. Maaf karena kebodohan gue, anak kita gak bisa lihat dunia lagi. Gue bodoh Krist. Gue gak pantas jadi orang tua. Gue bodoh."

Tak ada tanggapan dari Krist. Krist masih terdiam dan menatap langit. Singto tak bisa menahan air matanya.

"Gue gak mau lo jadi adik gue. Berbulan-bulan gue frustasi karena lo jadi adik gue. Gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo. Tapi kenapa, takdir seakan-akan gak biarin gue sama lo."

"Lo ingatkan gue dulu yang cupu? Pasti lo lupa. Lo dulu yang nemenin gue, karena semua orang gak suka sama gue. Lo yang genggam tangan gue. Lo yang belain gue. Maaf, karena gue pecundang, gue gak berani ungkapin apa yang gue rasa."

"Jangan nangis lagi, gue mohon jangan nangis. Gue gak bisa lihat lo nangis. Gue gak mau, lo nangis karena gue."

"Gue mau lihat senyum lo lagi. Gue kemarin sudah janji kan mau memperbaiki semua? Ayo kita perbaiki, Krist. Gue janji gak bakal buat lo nangis lagi. Gue janji bakal buat lo senyum terus. Gue sayang sama lo."

Tak ada jawaban dari Krist. Masih tenang melihat ke arah luar. Pandangan Kristpun kosong. Singto sakit melihat Krist yang terdiam. Papa dan Mama hanya menatap dari jauh. Mereka tak ingin membuat semuanya jadi kacau kembali.

Singto masih setia menggenggam tangan Krist, berharap Krist mau menatapnya. Singto masih setia mengajak Krist berbicara, namun tak ada tanggapan. Seolah hanya raga Krist yang berada di sini, jiwa Krist sudah tak berada di tempat. Singto menatap sedih Krist.

🕊️🕊️🕊️🕊️🕊️

Aku Terlambat [ Singto x Krist ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang