Krist sudah memejamkan matanya. Papa menghampiri Singto yang masih setia menggenggam tangan Krist.
"Kamu pulang dulu ya, Sing. Ambilkan pakaian ganti buat Papa sama Mama. Nanti kamu balik lagi ke sini." Papa menyentuh pundak Singto.
Wajah Singto bahkan sudah lembab karena air matanya tak kunjung berhenti menetes. "Gak mau, Pa. Singto gak mau ninggalin Krist. Singto gak mau kehilangan Krist, Pa. Nanti kalau Singto lepas pegangan Singto, Singto takut gak bisa genggam Krist lagi."
"Sing, ada Papa sama Mama di sini. Jangan khawatir ya. Sebentar saja kok. Nanti kamu beli makan diluar juga ya, takut makanan di rumah sakit gak ada yang enak buat Krist. Kamu gak maukan Krist sakit lagi? Mau ya," bujuk Papa.
Singto menatap Krist, lalu menatap Papa. "Jagain Krist sebentar ya, Pa. Singto bakal cepat kesini lagi kok."
Papa tersenyum, setidaknya Singto mau membenarkan pakaian dan makan sedikit nanti. Singto beranjak dari samping Krist. Mama hanya menatap interaksi Papa dan anak itu.
Singto keluar dari ruang rawat Krist. Papa dan Mama mengamati Krist yang tertidur.
Mama menatap Papa. "Mama kira, Singto akan terbiasa sama keadaan, tapi apa? Krist malah jadi menderita."
Papa mengelus rambut Mama. "Sekarang, kita mulai dari 0 lagi. Kita rawat mental Krist dari awal lagi." Papa menatap Krist. "Papa yakin, Krist anak yang kuat."
Mama mengangguk. "Krist memang anak kuat, Pa. Mirip Mamanya dulu."
"Sekarang kita cari makan dulu ya, kamu kan mau ngerawat Krist, masak kamu ikut sakit." Papa mencoba membujuk Krist.
Mama mengangguk, dia juga butuh tenaga untuk merawat Krist. Papa dan Mama keluar dari ruang rawat Krist.
Tak lama, Krist membuka matanya. "Pa, Ma, Krist cuma mau tidur. Badan Krist sudah hancur, gak ada harapan lagikan? Apa yang bisa Krist harapkan dari diri Krist sendiri? Krist mau tidur, Krist mau sama anak Krist."
Krist bangun dari tidurnya, melepaskan infus yang terpasang di tangannya. Darah keluar dari bekas infus itu.
Perlahan, Krist berjalan menuju balkon kamar rawatnya. Melihat langit sebentar. "Nak, tunggu Papa ya. Jangan tinggalin Papa lagi ya."
Krist melihat ke arah bawah, tak terlalu ramai. Krist melompat dari balkon kamarnya. Darah mulai mengalir dari kepala Krist.
Papa dan Mama yang baru sampai di lantai bawah melihat keramaianpun segera menghampiri. "Permisi, ini ada apa ya?" tanya Mama.
"Ada orang lompat dari atas, Bu," ucap Ibu yang ada di dalam kerumunan itu.
Mama segera masuk ke dalam kerumunan hingga Mama berada di depan. Wajah Mama terlihat terkejut. Papa yang berada di belakang Mama hanya terdiam, badan Papa terasa beku.
Mama berlari menghampiri tubuh Krist, lalu duduk di samping tubuh Krist. Mama mengangkat kepala Krist di pangkuannya. "Bertahan ya, Nak." Mama menatap sekitar. "Panggil dokter, bawa brankar. Anak saya ini. Tolong..." teriak Mama.
"Ma, Krist gak mau masuk ke dalam lagi. Krist cuma mau tidur di pangkuan Mama," ucap Krist dengan tersenyum.
Mama menangis. "Kamu harus diobatin, Nak. Kamu bertahan ya. Jangan tinggalin Papa sama Mama."
Krist tersenyum agar Mama sedikit tenang. "Ma, Krist nanti bisa tidur nyenyak, gak takut kalau malam. Krist mau lihat anak Krist, Ma. Krist pengen peluk dia."
Krist menatap Papa. "Pa, terima kasih untuk semuanya. Selama ini, Papa gak pernah bedain aku sama Singto. Papa selalu berikan yang terbaik buat Krist."
"Selama ini, Krist cuma mau kasih sayang Papa sama Mama, dan Krist rasa sekarang sudah cukup. Pa, Ma, Krist gak tahu mau bilang apa lagi buat berterima kasih. Krist bersyukur bisa jadi anak Papa sama Mama."
"Tidur di pangkuan Mama nyaman banget. Krist gak mau bangun, Ma. Krist takut kalau Krist bangun, nyamannya akan memudar. Ma, terima kasih ya sudah mau menerima Krist, terima kasih sudah mau ngerawat Krist. Kalau Krist boleh minta, Krist mau banget dikehidupan selanjutnya jadi anak Papa sama Mama lagi. Krist gak pernah nyesel jadi anak Papa sama Mama."
Tangan Mama yang penuh darah menghapus air mata Krist. "Bertahan ya, Nak. Mama juga gak pernah nyesal pernah punya anak kayak Krist. Krist anak yang baik."
"Ma, Krist boleh minta pelukan Papa sama Mama untuk yang terakhir gak? Krist mau hangat di sisa hidup Krist. Selama ini Krist kedinginan, Ma."
Mama mengangguk, dan Papa ikut mengangguk. Papa dan Mama mulai memeluk tubuh Krist. Tangisan Mama masih terdengar. Samar-samar, Mama mendengar ucapan Krist.
"Pa, Ma, Krist pamit ya. Terima kasih pelukan terakhirnya. Hangat, Ma." Krist mulai memejamkan matanya. Tangisan Mama mulai terdengar menyakitkan.
Dokter hanya melihat kejadian itu, tak berani mendekat. Mama melihat dokter disanapun menghampiri dokter itu. Mama menarik tangan dokter itu. "Tolong, selamatkan anakku. Aku bisa bayar berapapun, tolong selamatkan anak aku."
"Aku mohon... Tolong selamatkan anak aku. Anak aku masih bisa ditolong. Jangan diam saja. Anakku kesakitan jika gak segera ditolong."
Dokter itu segera memeriksa denyut nadi Krist, namun denyut nadinya tak terasa lagi. "Maaf, Pak, Bu, anak Bapak sama Ibu sudah tidak bisa diselamatkan. Bapak sama Ibu bisa segera mengurus administrasi agara jenazah anak Bapak sama Ibu bisa segera di bawa pulang."
Mama menatap Krist. "Bangun sayang. Bangun. Katanya mau jadi anak yang baik buat Mama, tapi kenapa kami gak nurut sama Mama. Bangun."
Mama menggoyang-goyangkan tubuh Krist. "Bangun, Krist. Bangun... Mama bilang bangun. Buka mata kamu. Kristtt Mama gak mau dibantah, buka mata kamu Krist."
Papa memeluk tubuh Mama. "Ma, biarin Krist tenang. Jangan buat Krist makin tersiksa."
"Mama cuma suruh Krist bangun, Pa. Mama gal mau Krist tidur, Pa." Tangisan Mama terdengar memilukan.
"Ma, dengerin Papa." Papa menatap Mama dalam. "Apa kamu mau Krist tersiksa? Biarin Krist pergi, Ma. Sudah cukup kita buat Krist menderita."
Mama duduk di samping tubuh Krist. "Mama ikhlasin kamu pergi, Nak. Mama gak mau lihat kamu menderita lagi. Mama senang bisa punya anak seperti kamu. Cantik, sampai kamu menutup matapun kamu masih cantik."
"Selamat jalan anak Mama." Mama mencium kening Krist.
Papa mengelus rambut Krist. "Selamat jalan anak Papa. Tidur yang nyenyak ya. Papa tunggu dikehidupan selanjutnya, kamu jadi anak Papa lagi. Kita jadi keluarga bahagia tanpa ada kesedihan."
Para perawat segera mengangkat tubuh Krist ke atas brankar, berniat untuk memandikan jenazah. Papa masih memeluk Mama. Tak lama mereka mengikuti brankar yang membawa Krist. Air mata Mama masih terus menetes, bahkan Papapun ikut menangis.
🕊️🕊️🕊️🕊️🕊️
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Terlambat [ Singto x Krist ] ✓
FanfictionSingto yang terbiasa menjadi anak tunggal dengan tiba-tiba harus menjadi seorang kakak. Orang tua Singto membawa remaja dari panti asuhan. Singto benci ketika harus berbagi kasih sayang. Singto akan membuat adiknya tidak betah di keluarganya. Penyik...