Terbangun

978 84 9
                                    

Singto terbangun dari tidurnya. Dengan mata yang masih berkabut, Singto melihat seseorang yang sangat ia kenal. Singto mencoba untuk melihat lebih jelas. Pandangan Singto terlihat jelas. Seseorang sedang berdiri di samping ranjang. "Krist," ucap Singto pelan.

Krist tersenyum, tangannya mengelus rambut Singto. "Kenapa nangis? Mimpi buruk ya? Jangan jadi cengeng dong. Mana Singto yang dulu?"

Singto menarik Krist hingga Krist terjatuh di sampingnya. Singto memeluk Krist erat, seakan tak mau Krist pergi. "Aku mimpi kamu pergi. Aku gak mau kamu tinggalin aku. Aku mimpi, kamu pergi sama anak kita. Kalian ninggalin aku."

"Aku masih di samping kamu. Aku sama bayi masih di samping kamu." Krist mengelus punggung Singto.

Singto melepas pelukannya, menatap wajah Krist di depannya. Sedikit pucat, namun tak menghilangkan kecantikan Krist.

Krist duduk bersandar di kepala ranjang. Menatap datar ke tembok di depannya. Senyum kecil masih menghiasi wajah Krist.

Singto meletakkan kepalanya di bahu Krist. Tangan Singto menggenggam tangan Krist. "Aku masih simpan sapu tangan yang kamu kasih buat aku, waktu aku dibully. Aku kira akan terbully terus, ternyata gak. Ada kamu, tapi sejak Satria dan Rian balik, aku sadar, aku sedikit menjauh dari kamu. Hubungan kita renggang. Kamu juga seakan gak kenal sama aku. Aku kira, kita sudah jadi teman, ternyata kamu berpaling muka kalau ketemu aku. Aku sering ikutin kamu kalau pulang, aku takut kamu kenapa-kenapa."

Singto mengeratkan genggamannya. "Aku benci waktu kamu jadi adik aku. Aku gak tahu harus apa. Mau melawan dunia juga gak bisa. Aku terlalu takut, aku takut jadi bahan omongan orang, aku takut Papa sama Mama kena cibiran tetangga, dan aku takut kamu kena bully semua yang tahu. Seorang kakak memacari adiknya. Aku takut, Papa sama Mama dibilang gak becus ngurus anak, aku takut kamu dibilang penggoda kakak sendiri, dan aku takut, semua orang bilang ke kamu, kamu cuma pemuas nafsu kakak tiri kamu. Ternyata gak enak ya, dengerin kata orang."

Singto melepaskan genggamannya, lalu beralih ke perut Krist yang masih datar. "Ini bayi kapan lahir? Aku gak sabar mau buat dia nangis. Nanti rumah pasti ramai. Terus nanti kita beli baju ya buat bayi. Nanti kita beli 10, eh gak, gak. Bayi harus punya banyak baju. Sama topi juga, lucu kalau bayi pakai topi. Hm... kaos kakinya juga harus yang lucu, gambar dinosaurus... atau yang lucu deh pokoknya. Nanti aku juga mau beli ayunan buat bayi. Ah iya, nanti kita beli buku dongeng juga buat bayi." Tangan Singto mengelus perut perut Krist. "Bayi... terima kasih sudah hadir. Bertahan ya, Nak. Ayah nanti bakal buat kamu bahagia. Ayah bakal buat kamu merasa bahagia terus. Ayah janji, kamu gak bakal kekurangan kasih sayang dari keluarga kamu."

Singto menatap Krist. "Gak kayak kita, bahkan harus mengemis dahulu biar dapat kasih sayang. Bahkan, kadang-kadang suara kita gak di dengar sama mereka. Merasa terabaikan. Sepikan?" tanya Singto dengan mata berkaca-kaca.

Krist mengelus rambut Singto, tak mengeluarkan suara apapun. Krist hanya mau mendengar keluhan Singto.

Singto kembali melihat perut Krist. "Kamu jangan takut minta apapun ke Ayah. Ayah janji, bakal turutin semua yang kamu mau. Ayah cuma mau, kamu bangga punya Ayah kayak aku. Kalau aku gak becus jadi manusia, setidaknya aku becus jadi Ayah."

"Aku senang, semua hanya mimpi. Aku pernah dengar istilah, mimpi itu menakutkan, tapi jika kita terus-menerus ketakutan, mimpi itu akan jadi nyata. Tapi aku ketakutan setiap hari dengan mimpiku. Mimpi, kamu pergi sama bayi. Kamu pilih bersama bayi, daripada sama aku."

Krist memeluk tubuh Singto. "Mungkin, mimpi menakutkan, tapi mungkin saja mimpi itu kasih tahu kita, biar kita siap untuk kedepannya. Kehilangan itu pasti, gak ada yang mau kehilangan, tapi kita dipaksa ikhlas dengan kehilangan. Mungkin kalau kamu kehilangan aku sama bayi, kamu lagi diuji buat jadi manusia yang lebih baik. Bukannya putus asa. Aku sama bayi mau lihat, seberapa kuat Ayah bayi. Nanti, biar bayi bisa banggain Ayahnya di depan teman-temannya." Krist mencium rambut Singto. "Sekarang kamu tidur ya. Ingat, aku selalu ada di samping kamu. Jangan putus asa."

Singto mengangguk, masih dengan posisi bersandar, Singto memejamkan matanya. Berharap tak bangun, agar bisa dipelukan Krist.

Mama memeluk Singto dengan erat. Keringat mulai membasahi badan dan wajah Singto. Mama melihat ke arah Papa. "Pa, badan Singto makin panas. Mama gak tega dengar Singto manggil nama Krist terus. Pa, apa Mama bakal kehilangan anak lagi? Gak mungkinkan Krist ajak Singto pergi?"

Papa berusaha menenangkan Mama. "Ma, kematian itu bisa tiba-tiba, saat ini kita fokus ke mental Singto. Dia mungkin tertekan karena ditinggal anaknya sama Krist secara tiba-tiba. Mungkin, Singto menyesal, Ma. Sekarang tugas kita buat Singto terlihat tenang."

Mama mengguncang tubuh Singto. "Sayang, bangun yuk. Sudah malam, kamu gak mau makan dulu? Sayang, bangun yuk." Mama menahan air matanya.

Singto membuka matanya. "Ma, Krist mana? Kok gak ada? Tadi, Krist temanin Singto tidur. Sekarang Krist dimana Pa, Ma? Ah, sudah malam? Krist lagi makan malam ya? Anak Singto sehatkan, Ma? Makanya bayi harus makan banyak. Ma, ayo kita makan, kita temani Krist."

"Sing, sadar. Krist sudah pergi. Krist sama anak kamu sudah tenang. Mereka gak ada lagi, Sayang. Kamu harus ikhlas. Jangan buat Krist sulit ninggalin kita." Mama mengguncang tubuh Singto. "Kamu harus sadar, Krist pergi juga gara-gara kamu. Ikhlaskan Krist. Jangan kayak gini, Sing."

Singto melepaskan pelukan Mama, Singto memeluk lututnya sendiri. "Kalian bohong. Tadi, Krist peluk aku. Krist tidur sama aku. Kalian pembohong. Krist gak pergi." Terdengar suara Isakan. "Ya, semua karena aku. Semua karena aku. Aku bodoh, aku pengecut."

Singto melihat ke arah Papa dan Mama. "Kalian keluar. Kalian gak berguna. Kalian cuma mempersulit. Pergi kalian. Pergi. Jangan ganggu aku sama Krist. Pergi! Aku gak mau keluarga aku hancur karena Papa sama Mama."

Papa menarik Mama keluar dari kamar Singto. Membiarkan Singto untuk sendiri saat ini. Sesampainya di kamar Papa dan Mama, Mama mencoba melepaskan tarikan tangan Papa.

"Pa, jangan biarkan Singto kayak gini, Pa. Ayo kita bawa ke psikiater." Mama menangis.

"Kita biarkan dulu, setelah Singto tenang, bisa diajak bicara, baru kita bawa ke psikiater. Tapi, Mama harus siap dengan semua keputusan." Papa memeluk Mama.

Tak ada yang baik-baik saja untuk saat ini. Mereka semua terluka dengan keadaan ini.

🕊️🕊️🕊️🕊️🕊️

Aku Terlambat [ Singto x Krist ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang