Gila

942 82 4
                                    

Singto duduk merenung memeluk kakinya. Tubuhnya bergetar hebat, dan mengeluarkan keringat. "Krist...," teriak Singto.

"Krist... kamu kemana? Kenapa belum kasih aku makan? Kamu kemana, Krist?" Suara Singto semakin meninggi.

Krist masuk ke kamar Singto. "Makan dulu ya. Nanti kamu sakit."

Singto mengangguk dengan semangat. Singto hidup dengan dunianya sendiri. Memimpikan hidup bahagia dengan Krist.

"Bayi mana Krist? Kok gak diajak kesini?" Singto menatap Krist.

Krist duduk di samping ranjang. "Bayi tidur dong. Masih kecil itu sering tidur." Krist mulai menyuapi Singto.

"Bayi kok jarang nangis sih? Padahal aku nunggu dia nangis. Krist, Mama sudah belikan baju buat bayikan? Bagus gak? Aku pengen lihat dong. Aku pengen lihat bayi pakai baju lucu." Singto tersenyum menatap Krist.

Krist kembali menyuapi Singto. "Iya, nanti kalau bayi sudah bangun, aku bawa kesini ya. Sekarang tugas kamu, makan kenyang biar gendut kayak bayi."

Singto mengangguk dengan semangat. "Bawi pwipwinwa mwerwah wa?" tanya Singto dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Habisin dulu, baru ngomong." Krist menatap Singto malas.

Singto dengan cepat menelan makanannya. "Pipinya bayi merah gak? Aku pengen cubit. Pasti gemas si bayi. Aku gak sabar."

"Iya, habiskan dulu makanannya. Katanya mau lihat bayi." Krist kembali menyuapi Singto. "Sudah habis, aku cuci piring dulu ya."

Singto mengangguk. "Nanti kalau bayi sudah bangun, bawa kesini ya. Aku mau main sama bayi."

Krist hanya mengangguk, lalu berlalu meninggalkan Singto sendiri.

Papa dan Mama menatap Singto dengan sedih. Tangan Mama menggenggam erat nampan yang dibawanya.

Papa menepuk bahu Mama. "Kamu yang kuat, anak kita masih butuh kita. Kalau kita lemah, siapa yang bakal nyembuhin anak kita? Jangan cengeng depan anak kita ya?"

Mama masih menatap Singto yang tersenyum. "Pa, Mama gak bisa ngelihat Singto terus tertawa sendiri, bicara sendiri seperti tadi, Pa. Dia anggap Krist masih ada, padahal Krist sudah tenang sama anaknya. Kalau terus begini, Singto gak bakal bisa ikhlasin Krist, Pa."

"Papa tahu, Singto masih berat ngelepasin Krist. Tapi perlahan-lahan dia pasti bisa lupain Krist. Jangan lupa masukin obat dari psikiater itu. Setidaknya, kita bisa ngendaliin emosi Singto." Papa ikut menatap Singto yang masih di ranjangnya.

"Mama mau suapin Singto dulu, Pa." Mama pergi menuju Singto.

Sesampainya di samping ranjang, Mama menggigit bibirnya, menahan tangis agar tak keluar. "Sing," panggil Mama pelan.

Singto menatap Mama. "Eh, Mama. Kok bawa nampan? Makanan lagi ya? Aku sudah makan, Ma. Tadi di suapin sama Krist."

"Yah, Mama sudah terlanjur bawa makanan buat kamu. Kamu sekarang sukanya makanan dari Krist ya? Ya sudah deh, Mama gak masak lagi." Mama membalik tubuhnya.

"Eh, Ma. Singto mau makan lagi kok. Suapin ya, Ma. Singto kangen disuapin Mama seperti dulu. Tapi kali ini, Singto janji gak bakal lari kayak waktu Singto masih kecil dulu." Singto tersenyum.

Hampir sebulan Singto seperti itu. Bahkan, Singto seperti lupa dengan kejadian hari-hari yang telah berlalu.

Mama duduk di samping ranjang Singto. Tangan Mama bergerak dengan cepat, seolah panik.

Singto memegang tangan Mamanya. "Mama jangan cepat-cepat. Singto bisa nunggu kok." Singto tersenyum.

Mama mengangguk. "Mama takut kamu kelaparan. Mama gak mau kamu sakit."

Singto tersenyum. "Tadi aku juga sudah makan, Ma. Tadi Krist juga suapin aku, jadi gak usah terburu."

Mama melihat penampilan Singto. Kurus seperti tak terurus, walaupun Mama sudah menyuapinya setiap hari. Mama tak tahu, lari kemana semua makanan itu.

Mama menyuapi Singto dengan pelan. Mata Mama memanas. Setelah menyuapi Singto, Mama mengelus rambut Singto. "Bayi kecil Mama sekarang sudah besar ya. Papa sama Mama selalu mikirin keuangan karena gak mau kamu hidup susah, Mama gak mau anak Mama ngerasain kelaparan setiap hari. Tapi, tanpa sadar, Mama nyakitin kamu. Anak Mama sekarang sudah besar."

Singto tersenyum. "Singto sudah besar, Ma. Bahkan Singto sudah punya anak. Mama pasti sudah ketemukan sama anak Singto? Lucu gak, Ma? Singto belum sempat lihat anak Singto. Mau bangun saja, kaki Singto lemas banget. Singto nunggu Krist bawa bayi ke kamar Singto, Ma."

"Ma, bayi mirip aku atau Krist? Pasti mirip aku yakan, Ma? Eh, tapi kalau mirip Krist juga gak papa, cantik, manis." Singto tersenyum menatap Mama.

"Makan lagi ya." Mama menyuapi Singto kembali. Air mata Mama menetes.

Singto yang melihat itu segera menghapus air mata Mama. "Mama kenapa nangis? Mama ada masalah ya? Sama siapa? Sama Papa ya? Nanti Singto bantu marahin Papa."

Mama menggeleng. "Gak, Mama cuma terharu. Sekarang, Mama bisa suapin kamu. Mama bisa habiskan waktu lebih lama sama kamu. Kalau kamu mau cerita, jangan sungkan cari Mama. Mama selalu ada di samping kamu." Mama menghapus air matanya lalu tersenyum. "Mama bisa lakuin kegiatan yang dulu gak pernah kita lakuin, kita bisa kumpul, kita bisa bicara lebih dalam lagi, Mama bisa suapin kamu, Mama bisa masakin kamu setiap hari."

"Iya, keluarga kita juga nambah 2kan, Ma? Jadi keluarga kita lebih bahagia." Singto tersenyum.

Mama mengangguk. "Makanan sudah habis, sekarang kamu minum obat ya."

Singto menggelengkan kepalanya. "Gak mau, Singto gak sakit, Ma. Kenapa harus minum obat sih. Singto dari dulu gak suka obat, Ma. Mama lupa ya? Ah, iya benar. Mama gak pernah tahu, bagaimana bisa lupa. Semua tentang Singto pasti Mama gak tahu. Yang tahu pengasuh Singto. Tapi gak papa kok, Ma. Singto sudah terbiasa."

"Ini obat biar kamu kuat. Katanya kamu mau gendong bayi. Kamu saja kurus kayak gini, gimana mau gendong bayi? Bayi gendut loh, lucu, pipinya merah gemas gitu. Yakin kamu gak mau gendong bayi?"

Singto mengambil obat yang ada di tangan Mama, lalu meminumnya. "Sudahkan, Ma? Bawa bayi ke sini sekarang ya, Ma. Aku mau gendong."

"Ya sudah, Mama tinggal dulu ya, mau balikin piring, sama bawa bayi ke sini." Mama berdiri, lalu melangkah menjauh dari Singto.

Sesampai di depan pintu, dan pintu kamar Singto sudah tertutup, Mama terjatuh. Air mata Mama terus mengalir. Papa yang menunggu di depan pintu segera memeluk Mama. Mereka harus kuat untuk membuat anaknya sembuh.

🕊️🕊️🕊️🕊️🕊️

Aku Terlambat [ Singto x Krist ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang