2. Papa
•~•
Sekolah.
Sekarang, sekolah adalah hal yang Nafis benci. Tidak suka lebih tepatnya. Apalagi dia satu sekolah dengan Reno dan sialnya lagi, dia satu kelas.
Sialnya double.
Nafis meletakkan tasnya di atas meja. Mendudukkan dirinya di kursi. Cowok enam belas tahun itu melirik seisi kelas. Sudah sangat siang. Dan jam masuk kurang dari lima menit.
"Na, nyontek PR!"
"Ambil sendiri di tas."
Jevan mengambil tas milik Nafis. Menggeladahnya dan saat menemukan buku sejarah, Jevano langsung mengambilnya. Membuka lembar demi lembar.
"Gue kira lo gak bakalan berangkat."
Nafis mengernyit, "Kenapa gue gak berangkat?"
"Kan bokap lo nikah."
Nafis mendengus, "Yang nikah bokap gue bukan gue. Jadi gak ada alasan buat gue gak berangkat." jelasnya. "Lagian, itu kemaren."
Jevan terdiam. Dia menggeleng. "Gue kira lo udah baikan."
"Gue baikan."
"Bukan itu," Jevan dengan tulisannya yang mirip cacing kepanasan itu menulis dengan cepat. Tidak peduli kalau tidak bisa di baca. Itu urusan gurunya.
Nafis mengangkat bahunya tidak peduli. Jam pelajaran sejarah itu sebelum istirahat kedua. Dan Jevan sudah heboh duluan. Salah sendiri tidak mengerjakan tugas dari jauh-jauh hari.
Jevan menegakkan tubuhnya. Kepalanya mendekat kearah telinga Nafis. "Reno semalem cerita tentang lo. Dia ngerasa bersalah sama semuanya." bisiknya.
Nafis berkedip. Dia mengambil ponsel Jevan yang tergeletak di atas meja. Membukanya. Untungnya Jevan bukan anak ribet yang harus mengunci ponselnya.
"Gak sopan njir!" Jevan menatapnya tidak suka.
Nafis tidak peduli. Dia malah menerobos aplikasi chat milik Jevan. Membuka grup berisi Jevan, Reno dan Haikal. Dia tidak ikut. Jarang buka chat juga. Alhasil percuma juga dia ikut grup seperti ini.
Kedua matanya bergerak pelan. Membaca setiap kata yang Reno tulis. Dia berdecih. Meletakkan ponsel Jevan sembarangan.
"Mahal ini heh! Asal banting aja lo!" Jevan mengusap layar ponselnya yang untungnya baik-baik saja.
Nafis mendengus. "Ngerasa bersalah tapi dukung pernikahannya seratus persen." gerutunya.
"Setiap anak 'kan pengen orang tuanya bahagia."
"Bahagia dengan ngerenggut kebahagiaan orang lain. Ketawa di atas penderitaan gue sama Mama." Nafis berdecih.
Jevan menatapnya, "Jangan terlalu benci, Na."
"Gue gak bakalan benci kalau dia bukan selingkuhan Papa." balas Nafis cepat, "Gak sudi gue."
Jevan menghela napas. Kalau dia jadi Nafis, dia juga pasti akan benci juga. Mungkin dia akan adu fisik dengan Papanya. Beruntung, Nafis orang yang bisa nahan emosinya dengan baik.
"Ya mau nampik pun, kenyataannya begitu." Jevan berujar. Dia kembali menulis bertepatan dengan bel yang berbunyi.
Nafis menoleh. Menatap langit yang terlihat cerah. Tidak ada awan sama sekali. Angin berhembus pelan. Mengenai wajah Nafis. Kelasnya yang ada di lantai dua memberikan keuntungan.
"Tapi, gimana kalau perselingkuhan itu ada alasannya?" tanya Jevan membuat Nafis kembali menatapnya.
"Gue gak peduli alasannya apa. Mereka udah berani main belakang tapi dengan bodohnya Mama malah nolong dia dan berakhir meninggal. Dan bokap gue itu, malah nikah sama dia." jelas Nafis kesal, "Mau sebaik apapun alasannya, perselingkuhan tetap salah. Dan bukan jalan keluar dari rasa bosan."
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKSTREET ✔ [TERBIT]
Teen FictionNgakunya cuman sekedar temen sekelas, tapi di belakang saling mengungkapkan cinta. Yang pasti, bukan cuman Haikal dan Nafis.