13. Gila
•~•
"Emang lo mau berangkat kapan?"
"Papa belum bolehin gue berangkat."
Reno menatapnya. Keduanya tengah berbaring bersama di atas ranjang. Kata Mama, tidak boleh marah ke orang lama-lama. Itu tidak baik. Makanya Nafis memilih untuk melupakan semuanya. Walaupun yah ikhlasnya sulit sekali.
"Ini udah dua bulan. Kaki lo belum sembuh emang?" tanya Reno setelah menghitung sejak Nafis keluar rumah sakit.
Nafis menatap kakinya sendiri. Masih ada gipsnya. Dan Jerry, benar-benar menahannya di rumah. Tidak membiarkannya keluar sama sekali. Untuk sekolah, Jerry rela merogoh sakunya lebih dalam untuk mendatangkan guru ke rumah.
Home schooling.
Untuk kesehatan matanya, Nafis selalu cek rutin. Entah bersama Papa atau Reno. Tapi lebih sering bersama Papa sih. Tidak pernah sama Haikal sama sekali. Soalnya Papa gak ngebolehin. Posesif memang.
"Tangan lo sendiri gimana?" tanya Reno, lagi.
"Tangan gue mah udah sembuh," jawabnya. "Tinggal kaki doang. Mata juga udah gak ada keluhan lagi."
Reno mengangguk. Bersyukur karena Nafis sudah baik-baik saja sekarang.
"Tapi tanggung juga mau berangkat. Sekalian aja nanti kelas sebelas. Kalo gak, lo ikut UAS aja." usul Reno, "Lagian yang dateng kesini juga guru sekolah kita 'kan? Pasti bisa."
Nafis diam. Menimbang ucapan Reno yang ada benarnya juga. "Biar gue tanya Papa nanti."
Tepat setelah Nafis mengatakannya, pintu kamar terbuka. Terlihat Jevano yang datang sambil menenteng sesuatu.
"Tumben lo dateng?" Reno menatapnya tanpa repot-repot bangun untuk duduk.
"Gue di ajak Haikal."
"Terus Haikalnya di mana sekarang? Kok gak bareng?" tanya Nafis bingung.
"Gak tau lagi apa sama bokap lo itu."
Nafis membulat. Dia bangkit dan berjalan pincang keluar dari kamar.
"Papa!" teriak Nafis. Dia melihat Haikal yang berdiri berhadapan dengan sang Papa.
Jerry menoleh. Menatap ke lantai dua. Jerry tampak tidak peduli. Kembali fokus dengan kekasih anaknya ini.
"Kamu punya apa sampai berani macarin anak saya?" tanya Jerry datar.
Haikal meringis di dalam hati. Cowok itu nyengir, "Saya anak sulung, Om. Tenang aja. Nanti saya dapet warisan harta dari Ayah."
Jerry memutar bola matanya mendengar jawaban dari Haikal. "Kalian masih muda."
"Tau, Om." Haikal nyengir.
Jerry menghela napas, "Saya gak peduli kalo kamu anaknya Jonathan. Kalau kamu nyakitin anak saya, saya akan menjauhkan Nafis dari kamu."
Haikal menatapnya. Dia tersenyum, "Tenang aja, Om. Saya gak bakalan nyakitin Nafis kok. Om bisa pegang janji saya."
Jerry mengangguk saja. Mengibaskan tangannya ke depan wajah Haikal dan cowok itu langsung berlari menuju lantai dua. Jerry sendiri kembali mengurus pekerjaannya di depan ruang televisi.
"Lo di apain?" tanya Nafis. Papanya ini posesif sekali dengannya.
"Gak di apa-apain kok." jawabnya sambil tersenyum. Dia menyodorkan paper bag yang sejak tadi ia pegang, "Buat lo."
Nafis mengambilnya lalu ia buka. Senyumnya terlihaf, "Tau aja gue belum minum dancow sejak dua hari yang lalu."
"Tumben. Biasanya lo tiap hari minum."
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKSTREET ✔ [TERBIT]
Teen FictionNgakunya cuman sekedar temen sekelas, tapi di belakang saling mengungkapkan cinta. Yang pasti, bukan cuman Haikal dan Nafis.