9. Pertama Kali
•~•
"Terlalu baik?" Nafis menaikkan sebelah alisnya, "Aku diajarkan untuk tetap berbuat baik pada orang. Itu yang selalu Mama katakan. Juga..Papa."
Nafis membenarkan helm yang ia pakai, "Aku pergi."
"Heh tunggu dulu! Papa belum selesai." Jerry buru-buru menahannya.
Reno yang merasa kalau keduanya butuh privasi, memilih pergi. Membiarkan Ayah dan anak itu berbicara.
Nafis menghela napas, "Apa?" tanya Nafis tidak ramah sama sekali.
Jerry menatapnya. Dia juga tidak tau mau mengatakan apa. "Papa hanya.." ucapan Jerry tertahan.
"Hanya?" Nafis menatapnya bingung, "Papa kalo ngomong jangan setengah-setengah."
Jerry tersenyum. Dia mengusak rambut Nafis. "Tidak. Papa hanya akan bilang kalau Papa menyayangimu."
Nafis diam. Kedua matanya menyipit, "Papa ingin sesuatu dariku?" tanyanya terdengar menuduh.
"Hah? Apa? Tidak!" Jerry menggeleng, "Jangan menuduh seperti itu."
"Lagian Papa tiba-tiba bilang seperti itu," Nafis menggerutu. "Aku 'kan jadi curiga."
Jerry terkekeh, "Ya sudah, kalau Nafis bilang seperti itu, ayo tinggal sama Papa lagi."
Ekspresi wajah Nafis berubah datar, "Mimpi!" ucapnya lalu dia langsung melajukan motornya.
Jerry mengusap dadanya. Harus sabar. Ngadepin anak yang sudah ia tunggu bertahun-tahun harus sabar. Nafis anak satu-satunya. Anak kesayangannya. Kebanggaan Jerry sampai-sampai fotonya banyak terpajang di rumah. Di kantornya juga ada. Di ruang kerja yang di rumah juga ada.
Ya gimana? Anak seganteng dan sepintar Nafis--dan menyebalkan, sangat di sayangkan kalau dianggurin.
"Kayaknya gak salah gak minta maaf," gumam Jerry. Dia berbalik. Menutup pintu gerbang rumahnya, "Ah tunggu! Tadi ngapain ya keluar rumah? Tadi Hani nyuruh apa ya?"
Jerry membulat. Dia berbalik. Membuka gerbang rumahnya kembali lalu berlari menuju warung. "Beli garam!"
Maaf. Jerry udah tua. Makanya sering lupa.
•~•
"Ini malem minggu, Na. Ayo keluar."
"Gue baru balik."
"Gak papa. Lo mandi aja, terus keluar. Ayolah. Jajan. Cari street food atau apa kek."
Nafis menghela napas, "Gue capek, Haikal. Lo sendiri aja sana."
"Gak mau! Ya kali sendirian. Gue nanti dikira jomblo." Haikal menatapnya kesal, "Na, ayo. Gue sekalian mau nunjukin lo sesuatu."
Nafis menatapnya. Kedua tangannya terlipat. "Kenapa gak di sini aja?"
"Ya gak bisa!" Haikal menggerutu, "Ayo, Na."
"Tapi gue males keluar." ujar Nafis, lagi. "Lagian ngedate harus malam minggu gitu?"
"Ya 'kan biar besok sekalian libur~" Haikal mendekat. Menggoyangkan lengan Nafis, "Masa lo gak mau jajan sih? Beli martabak gitu. Atau telur gulung, mie gulung, cilor, pentol, seblak atau apa kek."
"Kenapa lo gak nongkrong aja?" tanya Nafis. Masih enggan untuk mengiyakan ajakan Haikal.
"Nongkrong?" Haikal mengernyit.
"Iya nongkrong. Lo 'kan punya temen yang selalu ngajak lo keluar itu. Apalagi ini malem minggu." jelas Nafis, "Sana lo nongkrong aja. Biar gue di rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKSTREET ✔ [TERBIT]
Teen FictionNgakunya cuman sekedar temen sekelas, tapi di belakang saling mengungkapkan cinta. Yang pasti, bukan cuman Haikal dan Nafis.