Fabricia Rosalie (2)

12.1K 1.6K 132
                                    

Hari ini Cia tidak dalam suasana hati yang baik. Ia bahkan mengurung diri di apartemen pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun ke 17. Cia tidak datang ke kampus. Ia melewatkan beberapa kelas hari ini. Bahkan tidak satupun pesan dan panggilan yang masuk ke ponselnya ia hiraukan.

Cia lelah. Ia hanya ingin istirahat. Apalagi janinnya masih lemah dan dokter menyarankan untuk tidak banyak beraktivitas atau berpikir keras. Andai saja hubungannya dengan Faris diketahui teman-temannya, mungkin Cia masih bisa berbagi cerita.

Tapi Cia malu. Keempat temannya memiliki pasangan. Bahkan tiga dari mereka sudah menikah. Hanya tersisa Rissa yang baru maju ke tahap bertunangan. Sedangkan Cia dikenal dengan wanita single selama setahun ini.

Cia memejamkan mata. Ia kembali tertidur dalam balutan selimut meski matahari hampir terbi cukup tinggi. Ia akan tidur saja seharian ini. Ia akan bangun ketika merasa lapar saja.

Entah berapa lama Cia terlelap. Saat ia membuka mata perlahan, sekitarnya sudah gelap. Cia melirik jam di ponsel yang ia raih dari atas nakas. Pukul 12 malam.

"Lama banget gue tidur," gumamnya serak.

Cia bangkit. Ia belum mengisi perutnya dengan makanan dan minuman apa pun. Kini ia merasa sangat lapar. Cia mengabaikan dulu notifikasi yang memenuhi ponselnya.

Usai mengisi perut dengan makanan yang seadanya, Cia kembali ke kamar. Ia merebahkan diri lagi sambil meraih ponsel dan mengecek semua pesan serta panggilan masuk.

Ada 50 pesan dari Faris dan 30 panggilan tak terjawab dari pria itu. Cia ingat kalau siang tadi ia ada kelas dengan Faris.

"Blokir aja kali ya?" tanya Cia pada dirinya sendiri sambil memperhatikan kontak Faris.

Baru saja hendak memilih opsi blokir, ponsel di tangannya berdering. Nama Faris terpampang di sana. Cia menghela napas dan menolak panggilan itu.

Panggilan berikutnya datang dari Inez, teman dekat Cia. Kadang Cia cemburu dan iri pada Inez yang memiliki kehidupan serba mudah. Ia menikah dengan dosen populer di kampus. Bahkan kini sudah bahagia karena tengah mengandung anak pertamanya.

Cia mengabaikan panggilan Inez. Ia membuat mode hening di ponselnya sebelum melempar asal benda pipih itu. Cia menatap langit-langit kamar sambil memikirkan masa depannya. Ia harus bekerja jika ingin tetap bertahan hidup. Apalagi biaya untuk anaknya kelak tidak akan murah.

Akan lebih mudah jika Cia mendapatkan jatah warisan dari ibunya. Jika tidak? Cia bisa jatuh menggembel. Belum lagi semua fasilitasnya ditarik oleh orangtuanya.

***

"Cia!"

Cia menoleh. Ada Inez dan Rissa yang berjalan tergesa ke arahnya. Sepertinya kedua wanita itu memang sengaja menunggunya tiba.

"Gak masuk?" tanya Cia saat setengah manusia di kelas mereka tidak terlihat.

"Enggak. Pak Faris ke luar kota. Kita libur kelas dia mulai hari ini sampai bulan depan."

Cia mengernyit mendengar ucapan Rissa. "Bukannya kelas Pak Faris kemarin ya?"

"Tuker sama kelas Pak Keenan. Kemarin Pak Keenan yang masuk. Hari ini Pak Faris. Jadinya kita free. Mau ke kantin gak?" ajak Rissa.

"Boleh," kata Cia.

Cia merasa Inez sejak tadi memperhatikannya. Tapi Cia tidak menoleh pada wanita itu sedikitpun. Cia pura-pura tidak peduli meskipun ia tahu tatapan Inez tidak seperti biasanya.

Sesampainya di kantin, Rissa memilih memesan makanan mereka. Sedangkan Cia dan Inez langsung memilih tempat duduk di pojok ujung paling belakang.

"Lo ada masalah apa sama Pak Faris?"

Cia mengernyit mendengar Inez bertanya demikian. Apa wanita itu mencurigai sesuatu?

"Masalah? Sama Pak Faris? Gak ada."

"Gak mungkin gak ada, Ci. Pak Faris sampai nyari lo ke rumah gue. Dia nanyain lo sejak siang ke Mas Keenan."

"Oh, itu alasan Pak Keenan telepon gue?"

"Jelas dia kepikiran. Lo anak bimbingannya. Pak Faris sepupunya."

"Gue hamil."

Inez terdiam seketika. Beberapa saat kemudian ia tertawa. "Lo ngejek gue? Mentang-mentang gue hamil kayak gini."

"Gue hamil. Anak Faris."

Inez kembali terdiam, lalu menyandarkan punggungnya seketika. Ia mengerjap dengan bingung. Cia hamil anak Faris? Bagaimana bisa mereka—

"Gue pacaran sama Faris udah lima bulan."

Inez sontak mengusap wajahnya sambil menghembuskan napas panjang. Pantas saja. Inez mencurigai gerak-gerik Cia setiap mereka berada di jam mata kuliah Faris. Cia tampak tidak nyaman. Apalagi Inez menyadari Faris tidak berhenti menatap temannya itu.

"Tapi Pak Faris bentar lagi nikah," kata Inez yang membuat Cia terdiam dengan pikiran berkecamuk. Ia tiba-tiba kacau.

"Orangtuanya minta dia nikah secepatnya untuk bisa dapat warisan. Sama kayak kisah Fauzan sih. Tapi Pak Faris udah wajar dituntut nikah karena umurnya udah kepala tiga. Tapi, Ci, lo..."

"I'm fine. Gue bisa urus ini sendiri."

"Lo yakin? Gue yang punya suami aja masih takut. Gimana sama lo yang—"

"Itu alasan dia cuti?" sela Cia.

"Hm. Orangtunya minta dia balik ke Bali. Tapi alasan akademik tetap urusan kerjaan. Lo tahu kan kampus ini punya keluarga mereka," jelas Inez yang diangguki oleh Cia.

"Gue yang bodoh, Nez. Udah tahu akhirnya bakalan begini, tapi masih aja gue jalanin."

"Lo punya gue kalau butuh tempat cerita. Jangan dipendam sendiri. Atau Mas Keenan juga bakal bisa bantu. Setidaknya Pak Faris harus bertanggung jawab juga."

Cia menggeleng. "Dia gak percaya ini anaknya."

"WHAT?! ASSHOLE!"

"Gue bahkan gak minta dia tanggung jawab. Gue cuma bilang gue hamil dan yaps... tanggapan dia cuma bikin gue sakit hati."

"Parah. Laki gue harus tahu kelakuan sepupunya itu, Ci. Lo gak boleh larang gue cerita ini ke Mas Keenan."

"Terserah. Tapi gue bilang ini emang bukan anak dia. Gue bilang ini anak Dewa."

"WHAT?!"

"Kecilin suara lo anjir!"

Inez bergumam maaf dan melihat ke sekitar. Untung saja Rissa belum kembali dan kondisi kantin masih sepi. Sial. Inez masih belum percaya jika Faris sebrengsek itu.

"Dia marah dan hampir bikin gue kehilangan janin ini," lanjut Cia.

"Marah? For what?"

"Dia selalu marah setiap gue bawa-bawa nama Dewa."

Inez mencebikkan bibir, lalu meraih tangan Cia. "Lo gak tahu gimana hubungan mereka?"

"Adik kakak yang gak akur, kan?"

Inez menggeleng, "nope. Mereka saudara tiri. Pak Faris benci banget sama Dewa karena ibunya harus di madu. Dan alasan dia nikah juga ingin menguasai seluruh harta tanpa mau berbagi sama Dewa."

"Lo... serius?"

Inez mengangguk. "Wajar dia marah tiap kali dengar nama Dewa. Apalagi lo bilang lo hamil anak Dewa."

"Dia nyuruh gue gugurin," sahut Cia dengan pelan.

"Kalian gak saling terbuka, Ci. Menurut gue, Pak Faris udah—"

"Kalian serius banget. Bahas apaan?" Rissa datang dengan sebuah nampan di tangannya.

***




Bab selanjutnya bakal nganuh💅🏻

Lagi?
Cukup?

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang